Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umar Vaturusi harus lebih cerdik mencari modal usaha. Meski harga batu bara berangsur membaik, presiden direktur perusahaan tambang batu bara PT Buana Rizki Armia itu mengaku kesulitan mencari pinjaman Rp 14 miliar. Perbankan, menurut dia, sudah tak mau lagi mengucurkan kredit. "Bank mungkin menghindar karena kredit macet di sektor ini melonjak tinggi," kata Umar kepada Tempo pada Jumat dua pekan lalu.
Sejak pertengahan 2014, harga komoditas hasil tambang, terutama batu bara, memang terus merosot. Harga batu bara pengiriman untuk pasar ekspor per Juni lalu hanya separuh dari harga Juni 2012. Belakangan, harga batu bara sedikit membaik, tapi tetap saja kenaikannya belum signifikan. Akibatnya, banyak perusahaan batu bara rontok.
Rasio kredit seret (non-performing loan/NPL) sektor pertambangan dan bahan galian pun melejit ke angka 6,77 persen pada Juli lalu, melewati batas aman 5 persen. Di Kalimantan Timur, tempat perusahaan Umar beroperasi, menurut data Bank Indonesia Samarinda per Juli, kredit seret sektor ini bahkan mencapai 43,7 persen, setara dengan Rp 66,1 triliun. Tahun lalu, kredit seret baru 22,87 persen.
Umar mengatakan usahanya sempat vakum beberapa waktu, seperti banyak perusahaan batu bara lain. Sekarang ia akan kembali membuka lahannya dan merencanakan mengeduk "emas hitam" hingga 30 ribu ton per bulan. Sulit mendapatkan pinjaman perbankan, Umar menyiasatinya dengan meminta pembeli mengucurkan separuh dana di muka.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad mengakui perbankan cenderung menghindari pengucuran kredit ke sektor tambang dan penggalian. Hingga tahun depan harga komoditas tambang diperkirakan belum pulih seperti sebelumnya. "Makanya semua menghindar ke situ," kata Muliaman kepada Tempo.
Sektor pertambangan hanyalah satu dari sekian sektor yang menghadapi persoalan kredit seret. Beberapa sektor lain, seperti manufaktur, properti, dan perdagangan, juga menghadapi persoalan yang sama. Rasio kredit seret sepanjang delapan bulan pertama tahun ini sudah naik 52 basis point, dari 2,7 persen pada Januari menjadi 3,22 persen pada Agustus. "Masih dalam batas normal," kata Muliaman.
Laju pertumbuhan kredit macet (kolektibilitas 5) masih sangat tinggi. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan pertumbuhan kredit macet ini hampir 40 persen. Melihat data saat ini, tren pertumbuhan kredit dengan kolektibilitas terburuk ini masih sangat tinggi. Bandingkan dengan pertumbuhan kredit lancar (kolektibilitas 1) yang hanya 6,5 persen.
Menurut Muliaman, mitigasi risiko sudah dilakukan bank dengan menambah pencadangan kerugian. Sejumlah bank juga telah melakukan restrukturisasi agar kredit kurang lancar (kolektibilitas 3) dan diragukan (kolektibilitas 4) tidak memburuk menjadi kredit macet. Meski NPL rata-rata masih wajar, Muliaman berharap kenaikan NPL tak sampai berimbas ke modal bank. "Kalau modal terpukul juga, ya, kami akan minta pemilik menambah modal," ujarnya.
Situasi perbankan saat ini memang masih belum menggembirakan kendati perekonomian secara umum sudah membaik. Pertumbuhan kredit, sebagai salah satu pendorong perekonomian, pada Januari-Agustus 2016 masih lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 6,7 persen berbanding 10,8 persen. Pertumbuhan dana pihak ketiga—sebagai sumber penyaluran kredit—juga tumbuh lebih rendah, 8,5 persen berbanding 12,6 persen.
Namun Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara yakin tahun depan akan lebih baik. Mirza mengatakan perekonomian Indonesia tengah mengalami pemulihan. Ia optimistis tahun depan pertumbuhan ekonomi akan membaik, demikian pula pertumbuhan kredit. "Tahun 2017 adalah periode berlanjutnya recovery. BI memprediksi 5,1-5,5 persen, Bank Dunia 5,3 persen," katanya.
Tahun lalu, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,79 persen, terendah dalam enam tahun terakhir. Menurut Mirza, situasi perekonomian dalam negeri saat ini jauh lebih tenang. Kurs rupiah sudah semakin membaik sehingga importir mulai membuat rencana-rencana belanja. Kurs stabil menyusul selesainya gonjang-ganjing kenaikan bunga acuan Amerika Serikat (The Fed) pada akhir 2015. Sampai semester kedua tahun ini, ekonomi Indonesia tumbuh 5,04 persen.
Sejumlah bankir memprediksi perekonomian tahun depan lebih baik dibanding 2016. Menurut Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia Zulkifli Zaini, tanda-tanda itu sudah tampak di semester kedua tahun ini. Misalnya, terlihat dari konsumsi masyarakat yang membaik dan belanja infrastruktur yang mulai berjalan. "Tahun ini ekonomi mungkin tumbuh 5 persen PDB. Tahun depan bisa naik 5,1-5,2 persen," kata Zulkifli kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.
Meski perekonomian tumbuh membaik, mantan Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk itu yakin tidak akan terjadi loncatan signifikan. Penyebabnya, perekonomian global saat ini hanya berjalan dengan "satu mesin", yaitu Amerika Serikat. Eropa masih belum stabil, sementara Cina condong melanjutkan kebijakan "normal growth" di bawah satu digit.
Zulkifli mengatakan kunci pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan ada di konsumsi domestik, terutama belanja masyarakat dan realisasi proyek-proyek infrastruktur. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk menjaga tingkat inflasi. "Paket-paket kebijakan ekonomi sudah akan terasa efeknya," ujarnya.
Direktur Utama Citibank Indonesia Batara Sianturi mengatakan perbankan global lebih optimistis menatap Indonesia pada 2017. Namun sektor riil hingga akhir Juni 2016 masih menunggu. Dalam catatannya, ada sejumlah hal yang akan menjadi penentu pergerakan sektor riil, antara lain hasil pemilihan umum Presiden Amerika Serikat, tren penurunan suku bunga domestik, dan hasil akhir amnesti pajak. "Tapi tergantung sektor riil," kata Batara.
Batara berharap sinyal positif sejumlah faktor tersebut akan membuat sektor riil menggeliat. Kalau sektor riil menggeliat, tentunya mereka akan pergi ke bank mencari dana segar untuk belanja modal ataupun belanja operasionalnya. Kalau amnesti pajak ini sukses, sektor riil akan bergerak lebih cepat. "Tapi, sampai September, kami belum lihat ada kenaikan kredit," ujarnya. Batara memprediksi pertumbuhan kredit hanya 7-9 persen tahun ini.
Zulkifli melihat pertumbuhan kredit masih sangat terbatas sebagai akibat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang juga terbatas. Angka rasio kredit terhadap pinjaman bank sudah mencapai 90,18 persen. Artinya, ruang untuk meningkatkan kucuran kredit makin terbatas. Karena itu, bank harus memupuk dana pihak ketiga sebaik-baiknya untuk membiayai debitor ataupun calon debitornya. "Repatriasi amnesti pajak (periode I) bagus. Tapi, untuk peningkatan lebih besar, kita butuh lebih banyak likuiditas," kata Zulkifli.
Direktur Corporate Banking PT Bank Mandiri Tbk Royke Tumillar berharap realisasi belanja pemerintah lebih cepat. Belanja pemerintah yang mengucur untuk pendanaan proyek ataupun belanja rutin akan masuk ke bank sebagai DPK, yang kemudian diputar lagi oleh bank. "Jangan ditahan belanjanya, nanti likuiditas bank megap-megap," kata Royke, Kamis dua pekan lalu. Pada triwulan kedua 2016, pertumbuhan konsumsi pemerintah yang mencapai 6,28 persen menjadi pendorong utama perekonomian, selain konsumsi rumah tangga.
Bank Mandiri berharap aliran dana masuk dari repatriasi modal (amnesti pajak) bisa lebih besar. Amnesti pajak diyakininya akan memompa likuiditas bank. Jika likuiditas melimpah, persaingan bank berebut dana lebih longgar. Efeknya, biaya dana (cost of fund) lebih murah dan akhirnya bunga bank bisa ditekan lebih rendah. Ia memprediksi bunga kredit bisa turun ke level 7 persen pada 2017. "Tahun depan kami optimistis kredit tumbuh 12 persen," kata Royke.
Bank Indonesia juga terus mendorong perbankan menurunkan suku bunga. Dalam beberapa bulan terakhir, bank sentral agresif menurunkan suku bunga acuan dan mengganti BI Rate dengan 7-Day Reverse Repo Rate. Dengan perubahan ini, BI berharap perbankan lebih cepat merespons kenaikan atau penurunan suku bunga. Pekan lalu, rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia kembali memangkas 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis point menjadi 4,75 persen. Ini merupakan angka terendah sejak 2005.
Bank Indonesia juga mendorong kucuran kredit antara lain dengan menurunkan pembayaran uang muka. Sejak awal September, Bank Indonesia menurunkan uang muka kredit properti dari 20 persen menjadi 15 persen. Sejalan dengan kebijakan BI, Otoritas Jasa Keuangan pada awal tahun juga berkali-kali memberikan sinyal meminta perbankan menurunkan suku bunga kredit sampai single digit. Diharapkan, pada akhir tahun ini, suku bunga kredit sudah di bawah 10 persen.
Royke menambahkan, tren bunga rendah dan kebijakan pemerintah menurunkan tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan akan menggerakkan sektor konsumer, terutama properti dan otomotif. Bank Mandiri menyatakan akan lebih agresif di sektor konsumer, terutama pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR). Tapi untuk otomotif, kata Royke, Mandiri agak selektif dan memilih melimpahkannya ke anak usahanya, PT Mandiri Tunas Finance. "Dengan bunga rendah, orang pasti belanja. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai bubble," ujarnya.
Sektor kesehatan, seperti pembiayaan pembangunan rumah sakit dan pabrik obat/farmasi, juga menunjukkan tren bagus. Sektor pariwisata pun booming. Selain itu, sektor minyak dan gas serta sektor perkebunan yang dimiliki perusahaan-perusahaan besar masih menjadi andalan pertumbuhan kredit Bank Mandiri. Meski begitu, Mandiri lebih berhati-hati dalam urusan isu kelestarian lingkungan. "Minyak tetap, enggak mungkin enggak. Tapi kami jaga betul masalah green banking ini. Pembiayaan yang tak ramah lingkungan pasti kami tolak," ucapnya.
Bank BNI, kata direktur utamanya, Achmad Baiquni, akan banyak menargetkan pembiayaan proyek infrastruktur pemerintah. Selain itu, BNI akan mengoptimalkan perluasan jejaring pasar dengan menambah sentra pembiayaan di daerah. Sementara selama ini BNI hanya ada di kota-kota besar, sekarang BNI juga akan membidik potensi daerah. "Kami perkirakan pertumbuhan kredit bisa 15-16 persen sampai akhir tahun," ujarnya.
Senada dengan optimisme para bankir, Presiden Direktur PT Visi Media Asia Tbk Anindya Bakrie mengatakan pelaku bisnis saat ini lebih memilih menggarap sektor domestik. Penyebabnya, kata dia, dua pertiga produk domestik bruto Indonesia disumbang dari konsumsi domestik. Sementara itu, sumbangan dari perdagangan internasional terbatas. Apalagi, menurut dia, permintaan ekspor melambat karena perekonomian Cina melambat, demikian pula Eropa yang tak kunjung pulih.
Tahun depan agaknya akan banyak bergantung pada laju roda ekonomi triwulan terakhir 2016. Jika tren perlambatan dana pihak ketiga dan kucuran kredit masih berlanjut pada sisa tiga bulan tahun ini, akan sulit mengharapkan perbankan tahun depan lebih baik. Bukan tidak mungkin, para bankir memilih melakukan konsolidasi untuk menekan tingginya kredit seret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo