Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NYARIS tak terdengar sepanjang tahun lalu, kini momok uang palsu kembali gentayangan. Adalah Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Anwar Nasution, yang memperingatkan soal ancaman peningkatan jumlah uang palsu. Jumat dua pekan lalu, Anwar mengungkapkan niat BI menerbitkan pecahan baru Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu. "Pecahan itu yang paling banyak dipalsu," katanya.
Dari data yang terungkap, terlihat kecenderungan peningkatan sangat signifikan. Jumlah uang palsu yang beredar dalam lima bulan pertama tahun 2004 sudah melampaui jumlah yang beredar sepanjang tahun silam (lihat infografik). Bahkan, selama dua bulan pertama tahun ini, kenaikan peredaran uang palsu mencapai lebih dari 360 persen, yakni dari Rp 117 juta menjadi lebih dari Rp 539 juta.
Adysanto Wicaksono, koordinator staf di Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal), mengaitkan kenaikan peredaran uang palsu dengan masa kampanye dan pemilihan umum. "Ini momen strategis," tuturnya. Pada saat seperti sekarang, "produsen" uang palsu memang menemukan pasar yang luas untuk mengedarkan produk mereka dengan menebeng berbagai keramaian yang banyak digelar selama masa kampanye pemilihan umum.
Pendapat Adysanto disetujui Sri Arsita Mutiara, Chief Information Officer Combating Counterfeit and Financial Crime (CCFC). Sri memperkirakan uang palsu yang beredar menjelang pemilihan presiden ini mencapai Rp 2 miliar. Sebagai perbandingan, pada Pemilu 1999, uang palsu yang beredar sampai Rp 6 miliar. Untuk memutus mata rantai produksi dan distribusi uang palsu, CCFC memberi solusi menarik uang beredar yang banyak dipalsu. "Paling lambat setelah pemilihan presiden tahap pertama," ujar Sri.
Tetapi, kemungkinan besar BI tidak akan langsung mengikuti anjuran Sri. Maklumlah, penarikan uang bukan perkara mudah. Untuk menerbitkan pecahan baru, BI biasanya membutuhkan waktu sekitar dua tahun. "Kita harus menghitung dulu jumlah uang yang keluar dengan uang yang masuk," tutur Difi Johansyah, Kepala Bagian Pelaksanaan Pengadaan Uang Direktorat Pengedaran Uang BI.
Tanpa hitung-hitungan yang pas, Difi takut keseimbangan moneter malah terganggu. Karena itu, Difi memperkirakan BI tidak akan menerbitkan dua pecahan baru tersebut secara bersamaan pada tahun ini. Jika diukur dari rasio uang palsu yang beredar terhadap keseluruhan uang beredar, masalah uang palsu memang jauh dari mengkhawatirkan.
Saat ini di Indonesia hanya ada enam lembar uang palsu di antara sejuta uang yang beredar, jauh di bawah rasio yang mengkhawatirkan, 100 : 1 juta. Lagi pula, kondisi sekarang ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1997, ketika uang palsu sempat merajalela?jangan lupa, pada tahun itu juga ada pemilihan umum.
Turun drastisnya jumlah uang palsu tak lepas dari sosialisasi yang dilakukan BI kepada mereka yang rentan terhadap uang palsu ini, dari teller bank hingga pedagang pasar. Dalam beberapa bulan terakhir, BI rajin keluar-masuk pasar menyosialisasikan pengenalan uang palsu.
Jurus preventif itu tergolong manjur. Buktinya, kebanyakan kasus uang palsu justru terbongkar karena korban mengenali uang palsu yang mereka terima. Yang paling sering terjadi adalah, si pengedar tertangkap ketika berusaha berbelanja kebutuhan sehari-hari dengan uang palsu, seperti yang terjadi di Nganjuk, Jawa Timur, pertengahan bulan ini.
Ada juga yang kepergok secara lebih memalukan, seperti Juhari. Pria belasan tahun yang sehari-hari mengasong ini dibekuk polisi gara-gara membayar wanita penghibur di daerah Penjaringan dengan uang palsu. Tempat-tempat yang rawan disusupi uang palsu, seperti pompa bensin atau loket tol, juga terlihat siaga.
"Dalam sebulan, paling kami hanya menerima sekali saja," kata Septerianto Sanaf, Kepala Divisi Pengumpulan Tol PT Jasa Marga, tentang seberapa sering pengguna tol membayar dengan uang palsu. Di sebagian besar pompa bensin, para penjaganya malah sudah terbiasa meraba setiap uang yang diterima dari konsumen. "Makanya, pompa bensin itu sangat jarang kesusupan uang palsu," tutur Difi.
Uang palsu yang tergolong kelas ecek-ecek dan diedarkan dengan cara konvensional memang gampang dipegat karena bahannya yang halus dan licin serta warnanya yang pudar. Lalu, mengapa pula BI harus mengganti pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu? Bukankah kedua pecahan ini tergolong uang yang punya pagar pengaman terbanyak?
Pecahan Rp 100 ribu, misalnya, dibuat dari bahan polimer (sejenis plastik) yang memerlukan bahan pewarna khusus. Selain itu, uang seratus ribu memiliki "jendela" pengaman berbentuk bunga, yang tak bisa dibuat di atas sembarang plastik. Uang yang diorder ke Note Printing Australia itu?satu-satunya pecahan yang dibuat di luar Peruri?malah pernah diklaim tak bisa dipalsu.
Pecahan Rp 50 ribu, yang bergambar W.R. Supratman, juga penuh detail pengaman. Ada teks lagu Indonesia Raya dalam ukuran supermini di sisi muka. Dan yang paling sukar ditembus adalah logo BI yang memiliki background warna seperti bunglon. Jika digerakkan, warna itu bisa berubah menjadi hijau, cokelat, bahkan biru keabu-abuan.
"Umur peredaran sebuah pecahan uang biasanya lima tahun," ujar Difi. Dengan membatasi waktu edar, BI berharap uang tiruan para kriminal tak dapat mencapai tingkat kemiripan yang tinggi. Ia menampik spekulasi bahwa mati mudanya kedua pecahan itu terkait dengan keberadaan versi "aspal". Maksudnya, uang itu dibuat dari kertas asli dan dicetak dengan plat asli, namun tak diakui secara resmi sehingga diberi nomor seri yang sama. "Kalau ada yang bisa membuktikan, saya berani bayar seratus kali lipat," Difi menantang.
Sekadar mengingatkan, pada kurun 1997-2000 cerita tentang keberadaan dan asal-muasal uang-asli-tapi-palsu itu memang berseliweran. Ketika itu kondisi moneter dan politik Indonesia lagi runyam. Berembuslah berbagai cerita tentang uang "aspal".
Ada yang menyebut uang aspal itu dicetak untuk membiayai operasi militer di Timor Timur menjelang referendum. Khusus pecahan Rp 100 ribu, ada yang mengatakan hasil cetakan dari Australia tak semuanya masuk ke brankas BI.
Belakangan ini yang ramai digunjingkan sebagai uang aspal adalah uang IDR (ada juga yang menyebutnya "uang merah"). Kedua istilah itu mengacu ke pecahan Rp 100 ribu. Tudingan uang aspal ini dituai karena ada sekelompok orang yang menjajakan uang Rp 100 ribuan untuk ditukar dengan dolar.
Menjual rupiah untuk dibelikan dolar memang bukan cerita aneh dalam rezim devisa bebas. Yang mengejutkan adalah kursnya. Uang ini dijajakan supermurah, 50 persen sampai 70 persen dari kurs yang berlaku di pasar. Adysanto mengaku telah mendengar legenda uang IDR ini sejak dua tahun silam.
Modus yang diingat Adysanto adalah perantara menawarkan uang dagangannya dalam bentuk VCD. Difi juga pernah mendengar cerita serupa. Meski keduanya pernah berusaha bertransaksi, tak satu pun yang terlaksana. "Saya pikir itu penipuan," kata Difi. "Ada yang pernah melapor, uang yang asli itu cuma ada di lapis atas," Adysanto menukas. "Di bawahnya bukan uang, melainkan beras atau barang lain."
Penipuan itu bisa terjadi karena uang yang ditransaksikan berada dalam peti?bisa satu sampai belasan. Maklumlah, si penawar biasanya menawarkan jual-beli uang IDR dalam hitungan miliar. Satu peti uang kira-kira bernilai Rp 12 miliar. Cerita tentang uang IDR ini meluncur juga dari dua sumber TEMPO yang meminta namanya tak dikutip.
Cerita mereka pada dasarnya sama. Mereka mendapat tawaran dari seorang perantara yang ingin membeli dolar. Seorang di antaranya, sebut saja Andi, mengingat perantara yang menghubunginya berasal dari keluarga terpandang. Ketika memperkenalkan diri, wanita separuh baya itu?kita sebut saja Uci?mengaku sebagai istri pensiunan pejabat eselon satu, sekaligus adik seorang purnawirawan bintang empat.
Dengan "status" Uci yang mentereng, Andi tak ragu menyambangi hotel bintang lima di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, awal tahun ini. Di satu kamar hotel itu Andi dipersilakan mengecek keaslian rupiah yang akan dipertukarkan. Apa yang dibawa Uci membuat mata Andi terbelalak: satu peti penuh uang pecahan Rp 100 ribu. Ketika itu Uci mengajukan transaksi senilai Rp 150 miliar.
Dalam kamar yang sejuk itu, Andi tiba-tiba merasa gerah. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kalau pecahan Rp 100 ribu itu asli dan tak akan ditolak bank, seperti yang dijamin Uci, mengapa mereka tak langsung menjualnya ke bank? Karena takut bermasalah, Andi membatalkan transaksi itu.
Tapi ia sempat mendapatkan beberapa lembar uang Rp 100 ribu. "Saya bilang mau dites dulu," katanya. Sampel itu dibayar Andi juga dengan rupiah. Pekan lalu, Andi berbaik hati meminjamkan selembar uang Rp 100 ribu yang diperolehnya dari Uci kepada TEMPO. Ternyata, Uci tak sembarang ngecap.
Difi dan anak buahnya mengakui, uang Rp 100 ribu itu asli. Hanya, memang berbeda dengan pecahan Rp 100 ribu lainnya. Di bagian tengah sebelah muka, tertera kata-kata SPECIMENT, I.N.A-IDR, MELBOURNE AUSTRALIA. Kata-kata yang tersusun dalam tiga baris itu ditulis dengan jenis tinta yang hanya bisa dibaca jika disorot lampu ultraviolet. Dari tulisan itulah istilah uang IDR muncul.
Difi hanya menduga, tulisan tersembunyi itu berasal dari keisengan pemilik uang sebelumnya. "Mungkin dia hanya sekadar mau memberi tanda," kata Difi. Keisengan itu jelas sangat mahal. Tinta yang tak kasatmata dan hanya bisa dilihat dengan ultraviolet jelas bukan tinta sembarangan. Apalagi, seperti diakui Difi, penulisan pesan itu dilakukan tanpa merusak bentuk uang sehingga uang tetap dianggap sah.
Kendati demikian, pada kenyataannya toh banyak yang menolak menerima uang jenis ini. Tak mengherankan jika banyak kalangan yang menawarkannya diam-diam plus diskon. Susahnya, uang IDR ini masih gentayangan hingga kini. Andi mengungkapkan, penawaran banyak dilakukan setelah amendemen Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, September tahun lalu.
"Dua bulan lalu masih ada yang menawarkan uang ini," kata Andi. Melihat transaksi yang ditawarkan Uci, agaknya jumlah uang IDR cukup besar. Sialnya lagi, uang jenis ini lebih sulit dideteksi, dan peredarannya pun diam-diam. Jika jumlah uang IDR ini tergolong besar, tampaknya niat BI menarik pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu memang sudah tepat.
Thomas Hadiwinata, Multazam dan Danto (TNR), Y. Tomi Aryanto
Modus Pemalsuan
Bagaimana cara mereka membuat cetakan uang?
Peralatan para pemalsu
Tingkat kemiripan*
Cara mengenali uang palsu Dilihat Diraba Diterawang |
Kontes Palsu Sepanjang Masa
Pemalsu uang tak ubahnya musuh abadi bank sentral di negara mana pun. Keduanya nyaris tak pernah tidur barang sejenak. Kejahatan pemalsuan uang ini muncul tak lama berselang dengan dikenalnya uang sebagai alat tukar. Setiap kali bank sentral memperbarui uang yang diedarkan di masyarakat untuk menghindari pemalsuan, setiap kali pula para pemalsu uang beraksi membuat tiruannya. Teknologi dilawan dengan teknologi, kecepatan diadu dengan kecepatan. Adu pintar ini sepertinya tidak akan pernah berakhir.
Ambil contoh uang pecahan Rp 100 ribu di Indonesia yang berbahan baku plastik (polimer). Saat uang ini diterbitkan pertama kali pada November 1999 sebagai pecahan uang kertas bernilai paling tinggi, Bank Indonesia menganggapnya mustahil dipalsukan karena sulitnya mencari cat yang dapat melekat di plastik. Apalagi plastik uang itu juga dihiasi jendela transparan berbentuk bunga. Klaim itu terpatahkan hanya dalam tempo kurang dari empat tahun. Bahkan tingkat kemiripan pecahan Rp 100 ribu palsu kini yang tertinggi.
Uang pecahan Rp 50 ribu bergambar W.R. Supratman juga tak lolos dari jamahan para pemalsu. Dikeluarkan pertama kali pada Juni 1999, uang buatan Perum Percetakan Uang RI ini memiliki pengaman terbanyak dibandingkan dengan pecahan uang kertas rupiah lainnya. Salah satunya adalah efek warna yang dapat berubah-ubah pada logo BI di kanan bawah bagian muka. Namun ternyata pagar-pagar itu bisa diterobos juga. Seperti halnya pecahan Rp 50 ribu sebelumnya (bergambar Soeharto), pecahan Rp 50 ribu yang beredar sekarang itu merupakan uang favorit para pemalsu.
Peredaran Uang Palsu
Tahun | Jumlah Uang Palsu (Lembar) |
---|---|
1994 | 4.903 |
1995 | 13.050 |
1996 | 17.948 |
1997 | 238.838 |
1998 | 117.665 |
1999 | 215.950 |
2000 | 322.108 |
2001 | >99.028 |
2002 | 370.112 |
2003 | 24.655 |
2004 | 24.933 |
*Sampai bulan Mei
Rasio Jumlah Uang Palsu terhadap Jumlah Uang Beredar
Waktu | Rasio | Keterangan |
---|---|---|
1997 | 114 : 1.000.000 | Tertinggi |
1999 | 75 : 1.000.000 | Â |
2003* | 7 : 10.000.000 | Terendah |
2004** | 6 : 1.000.000 | Â |
*Posisi Maret
**Posisi Mei
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo