Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELAKANGAN ini Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Timur, Choirul Anam, sering pusing. Ia tak saja harus menangani dinamika kaum nahdliyin menjelang pemilu presiden, tapi juga mengurusi masalah uang palsu yang makin banyak beredar di wilayahnya. "Agak repot juga harus ikut mengurus hal-hal kayak begini," katanya separuh mengeluh.
Yang dimaksud Cak Anam adalah peristiwa Rabu malam pekan lalu di kawasan alun-alun Bangil, Pasuruan. Waktu itu sebuah mobil Kijang biru berjalan lambat sambil membagikan stiker pasangan calon presiden Wiranto-Salahuddin Wahid. "Ada uang di dalamnya," katanya mengulangi kata-kata si pemberi stiker.
Kelar membagi-bagikan stiker, mobil itu melaju cepat ke arah Probolinggo. Sejenak kemudian kegaduhan muncul: uang Rp 20 ribu yang diselipkan itu ternyata palsu. "Untungnya masyarakat lumayan dewasa dan kritis, sehingga mereka langsung melapor ke polisi," katanya. Ia yakin, trik itu dilakukan oleh pihak lain untuk mendiskreditkan Wiranto.
Peristiwa di Bangil ini menambah panjang daftar kasus uang palsu yang terungkap belakangan. "Momen pemilu ini sangat riskan, dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk meningkatkan eskalasi kegiatan mereka dalam mengedarkan uang palsu ke masyarakat," kata Sri Arsita Mutiara, Chief Information Officer Combating Counterfeit and Financial Crime (CCFC), kepada Yandhrie Arvian dari Tempo News Room.
Menurut dia, hingga kuartal pertama 2004, jumlah uang palsu yang beredar sekitar Rp 1,2 miliar, lebih besar dari periode yang sama tahun 2003, yang berjumlah Rp 1,1 miliar. "Jika diakumulasi hingga pemilihan presiden Juli mendatang, bisa mencapai Rp 2 miliar," katanya.
CCFC mendesak Bank Indonesia (BI) segera melakukan penarikan uang beredar paling lambat setelah pemilihan presiden dan wakil presiden putaran pertama. Hal itu dimaksudkan untuk memotong mata rantai produksi dan distribusi peredaran uang palsu. Namun Deputi Gubernur Senior BI, Anwar Nasution, tak setuju pada usul itu. "Jumlahnya masih kecil sekali, jadi belum sampai mempengaruhi sistem keuangan," katanya.
Melonjaknya jumlah uang palsu setiap kali ada peristiwa politik besar dilihat Direktur Eksekutif Imparsial, Munir, seperti sudah menjadi keniscayaan. "Prinsipnya, uang palsu muncul karena terkait dengan kebijakan money politics yang dijalankan partai," katanya.
Pada Pemilu 1999, hal seperti ini juga terjadi. Bahkan, menurut dia, setiap kali pemilu di masa Orde Baru selalu diikuti dengan banyaknya peredaran uang palsu. Namun Munir tak bisa menunjukkan partai politik yang bermain di belakang ini, lantaran begitu miripnya uang palsu yang beredar dengan uang asli keluaran BI, kecuali nomor serinya yang tidak terdaftar.
Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Lucky Jani, menyatakan pihaknya belum memiliki data autentik tentang partai politik yang membagi-bagikan uang palsu. Yang ia ketahui adalah perihal beberapa partai pemenang Pemilu 1999 yang mengerahkan massa bayaran dalam kampanye.
Menjelang pemilu legislatif lalu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid, mensinyalir adanya partai yang terang-terangan membagikan uang palsu untuk kebutuhan kampanye. "Ini pelecehan terhadap rakyat dan demokrasi," katanya. Sama seperti Munir, Hidayat pun tak menunjuk hidung partai hitam itu karena sulitnya pembuktian.
Akmal Nasery Basral, Sudrajat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo