Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencuri Mayat dari Nirwana

Pencurian mumi dan perangkat makam kuno Toraja kian marak. Barang-barang cagar budaya itu kini bebas dijual di toko-toko cenderamata di Toraja. Jaringan penjualannya tersebar ke Makassar, Bali, dan Yogyakarta—bahkan diselundupkan ke luar negeri. Akhir Mei tahun silam, pabean Semarang berhasil menggagalkan pengiriman 33 benda purbakala ke Eropa—di antaranya patung-patung dari kuburan kuno Toraja. Pencurian mumi dan patung-patung kuno itu mencerminkan labirin persoalan yang saling berkait: runtuhnya wibawa adat, jalan pintas keluar dari kemiskinan, serta tak bekerjanya hukum negara.

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebuah toko cenderamata di Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pria setengah baya itu memperkenalkan diri: namanya Rukka Lindung, usianya 50 tahun. Dalam tokonya yang pengap, penjual bendabenda seni itu memajang berbagai suvenir khas Toraja. Ada pintu gua-gua kuburan tua, patung yang biasa dipajang di beranda kubur-kubur kuno (tau-tau), kain serta sesembahan kematian lainnya. Benda-benda berwarna hitam dan kelabu serta berbau apak yang menyengat hidung ini mengalirkan suasana mistis di toko itu—sekaligus menjadi daya tarik. Siapa berminat, silakan mampir. Semua barang di toko Rukka Lindung berikut sederet kedai suvenir lain di Rantepao memang disediakan bagi para turis yang berminat pada benda-benda yang berhubungan dengan kematian—ciri khas wisata Tana Toraja. Terletak di kawasan utara Sulawesi Selatan, Kabupaten Tana Toraja bisa dicapai dalam tujuh jam perjalanan dari Makassar. Daerah itu memang menjadikan kubur dan prosesi kematian sebagai daya tarik wisata, selama ini. Sebahagian dari daya tarik itu dipajang oleh Rukka dan kawan-kawannya di dalam toko-toko sepanjang jalan utama yang membelah Rantepao. "Semua itu replika atau tiruan," kata Rukka sambil menunjuk barang dagangannya. Penjaja cenderamata memang hanya boleh menjual barang replika. Benda yang asli menetap di makam-makam kuno. Kandean dulang atau piring kayu yang bertangkai adalah salah satu contoh. Selain bernilai budaya tinggi, benda-benda kubur asli yang berumur ratusan tahun dilarang diperjualbelikan. Pemerintah mengategorikannya sebagai benda cagar budaya. Tapi betulkah tanda mata di kubur asli tak bisa diperjualbelikan di Toraja? Nanti dulu. "Ayo ikut saya ke lantai atas," kata Rukka. Melewati tangga kayu ke lantai dua, ia berbelok ke kanan dan masuk ke sebuah ruang lain berukuran sembilan meter persegi. Dalam keremangan cahaya, tampak beberapa benda kubur berukuran besar dan berwarna gelap. Ada sekitar 20 pintu makam kuno dan dua kepala peti mayat (erong) berbentuk kepala kerbau diletakkan di atas sebuah rak kayu. Beberapa di antaranya telah berlubang dimakan rayap. Semuanya asli. "Pintu makam ini dicuri seseorang di daerah Sanggalangi, Toraja, dan dijual kepada saya seharga Rp 2 juta," kata Rukka. Dua kepala erong lainnya ia beli sebulan silam. Sang pencuri menawarkan lima kepala erong seharga Rp 1,75 juta. "Pencurinya menggergaji sekaligus lima kepala kerbau dari peti mati," katanya. Salah satu erong sudah dijual Rukka kepada seorang kolektor Prancis seharga Rp 1,4 juta. Jika utuh beserta peti matinya, erong itu bisa lebih mahal. "Seorang kolektor Amerika pernah memesan peti utuh dan menawarkan harga US$ 1 juta (setara Rp 10 miliar pada kurs Rp 10 ribu)," kata Rukka lagi. Di Toraja, kesakralan benda-benda kubur dan penghargaan terhadap kematian pupus perlahan-lahan. Penjualan barang-barang curian dari makam-makam purba sudah lazim (lihat Dari Gunung-gunung ke Eropa). Toko Rukka hanya salah satu contoh tempat penampungan barang curian tersebut. Selasa 3 April lalu, misalnya, liang batu di kampung Tondon di Makale, Toraja, dibobol pencuri. Dari beranda liang, si penjarah menggondol salah satu dari belasan tau-tau kuno dan menurunkannya dengan menggunakan tali plastik. Untung, sebelum tau-tau ini dilarikan, warga sekitar menemukannya tergeletak di tengah rerumputan. Rupanya, si pencuri menyimpannya di situ dan akan mengambilnya lagi jika keadaan sudah aman. Tersangkanya seorang anak muda dari Kota Makale. Tapi ia keburu kabur sebelum bisa ditangkap polisi. "Sasaran terbanyak pencurian adalah makam-makam tua di Kecamatan Rantepao, Sangalla, dan Mengkendek," kata Inspektur Satu Ruben Tato, Kepala Satuan Serse Polres Tana Toraja. Tak cuma tau-tau. Mumi—mayat yang dikeringkan dan berusia ratusan tahun—pun kini dicuri dan diperjualbelikan. Tahun silam, sebuah mumi berusia 400 tahun hilang dari makam kuno di tebing curam Gunung Tallangsura' di Desa Dende'. Pencurinya tertangkap sebelum ia sempat melego jarahannya. Mumi berukuran 70 sentimeter itu kini diamankan di rumah seorang tetua adat di sana. Tak ada angka pasti berapa banyak mumi dan benda kuburan kuno sudah berpindah tangan. Tapi, dari cerita Rukka, terlihat jelas bagaimana penjualan barang haram itu telah dilakukan hingga ke Eropa. Pada 26 Mei tahun lalu, bea dan cukai Semarang, misalnya, berhasil menggagalkan penyelundupan 33 benda purbakala (empat di antaranya tau-tau) ke Eropa. Benda-benda itu kini disimpan di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Yogyakarta. Mengapa hal ini bisa terjadi, sementara dalam kepercayaan Toraja pencurian mayat adalah penghinaan terhadap leluhur—juga berarti kematian? Sosiolog asal Toraja, Tanete Adrianus Pong Masak, menjelaskan fenomena itu dalam wawancara dengan TEMPO: "Masyarakat Toraja memang tengah dilanda krisis luar biasa. Nilai-nilai tradisionalnya sudah mulai hancur. Orang sudah tidak percaya lagi pada tradisi dan seolah-olah segalanya bisa diperjualbelikan." Tanete mencontohkan, mumi yang kini banyak diperdagangkan secara gelap adalah sesuatu yang amat dihormati dalam masyarakat Toraja. Adat Toraja selama ini memang dikenal mengagungkan mayat. Prosesi penguburan jenazah bisa lebih semarak dari resepsi perkawinan. Biaya pesta penguburan bagi seorang berkasta tinggi bisa mencapai Rp 1 miliar (lihat Yang Mati Meninggalkan Beban). Dana sebesar itu dipakai untuk membeli kerbau, babi, membangun pemondokan untuk pesta dan pernak-pernik keriaan lainnya. Jika uang belum cukup, jenazah bisa disimpan dulu selama satu-dua tahun sebelum dikubur. "Masyarakat Toraja terobsesi pada maut. Kematian bagi mereka adalah pencapaian kehidupan yang abadi. Ritual penguburan dipahami sebagai ritus penebusan dosa dan pembersihan dari rasa takut," Tanete menjelaskan. Itu sebabnya dalam budaya Toraja dikenal pemeo "hidup manusia adalah untuk mati". Artinya, setelah mati, manusia akan menuju kehidupan yang kekal di nirwana (puya). Untuk mencapai puya itulah seseorang yang mati harus membawa bekal harta sebanyak-banyaknya. Nyawa orang yang meninggal juga akan diantar ke surga melalui pesta kematian yang semarak. Selain itu, sebelum dimakamkan, jasad yang mati dianggap masih sakit. Memestakan penguburan mayat dianggap sebagai merayakan kesembuhan mayat tersebut. Kuburan kuno dalam dinding dingin cadas juga diyakini sebagai representasi surga. Semakin banyak benda yang dibawa sang mayat, semakin bahagia hidupnya di alam baka. Keluarga-keluarga kaya biasanya menyertakan emas dan perhiasan dalam kubur leluhur mereka. Sebuah kubur batu biasanya disiapkan hingga berbulan-bulan. Setelah siap, di beranda kubur diletakkan tau-tau sebagai sarana mengingat jenazah. Harta di dalam kubur itulah yang kemudian memikat para pencoleng. Dalam banyak kasus, pencurian kerap melibatkan keluarga mayat. Di Desa Dende', misalnya, si pencuri bekerja sama dengan keluarga dekat sekaligus penjaga makam. Tanpa bantuan "orang dalam", pencurian benda kubur (terutama mumi) amat sulit dilakukan. Mumi-mumi berusia tua terletak di bagian atas gua dan relatif tersembunyi. Jika tak ada yang memberi tahu, sulit bagi pencuri menemukan mumi yang tersembunyi di antara ratusan mayat-mayat lain. Tidak semua kubur batu juga menyimpan mumi. Sebagian besar mayat hancur akibat gerusan cuaca dan jasad renik perusak. Hanya mayat-mayat tertentu yang bisa bertahan lama. Itulah sebabnya mumi yang utuh umumnya dipercaya memiliki daya magis tertentu (lihat 'To Kassala' bagi Para Penjarah). Tapi, menurut Candra Tulungallo, 39 tahun, pencari barang antik yang pernah dihukum empat bulan karena menadah tau-tau curian, peran keluarga hanyalah sebagai informan (lihat: Ada Mumi Berharga Rp 1 Miliar). Mereka tak berani mencuri sendiri karena takut kualat. Sebagai informan, pendapatan mereka tidak banyak. Paling banter mereka mendapat Rp 2 juta jika misi pencuriannya sukses. Padahal, jika bisa dilego, harga tau-tau atau mumi bisa selangit. Menurut Rukka, tau-tau asli bisa laku hingga Rp 50 juta. Beberapa kolektor luar negeri yang mencari mumi atau tau-tau biasa menitipkan uang Rp 1 juta-2 juta sebagai panjar. Artinya, itu adalah uang hilang, karena belum ada jaminan barang yang diminta benar-benar tersedia. Bisnis mumi atau tau-tau di Toraja memang menggiurkan. Satu toko suvenir di Rantepao rata-rata bisa mengantongi Rp 60 juta per bulan. Jika turis sedang ramai (biasanya pada bulan April-September), pendapatan bisa melonjak berkali-kali lipat. Di negeri-negeri asing, mumi atau tau-tau dijadikan pajangan atau digunakan sebagai obyek penelitian. Tapi keuntungan besar amat bergantung pada pasokan barang. Banyak pedagang nekat memalsukan dagangannya—sembari berharap konsumen tertipu—karena tak mudah mendapatkan mumi atau tau-tau asli. Di sinilah calon pembeli harus pandai-pandai mengendus barang incarannya. Soalnya, dengan teknik tertentu, barang palsu dan asli sulit dibedakan. Teknik pemalsuannya juga tak sulit. Sebuah tau-tau palsu, misalnya, dibuat dari pokok kayu yang diukir mirip patung yang asli, lalu dibakar hingga menghitam dan diamplas hingga halus. Patung kayu itu lalu disiram air secara rutin selama sebulan hingga berjamur. Bercak jamur akan membuat patung-patung palsu tersebut tampak tua. Adapun mumi itu dibuat dari boneka yang dibungkus dengan kulit ayam yang dibalik sehingga menyerupai kulit manusia. Boneka itu lalu diberi ornamen seperti rambut, kuku, dan baju. "Tapi umumnya pembeli tahu mana mumi asli dan palsu," kata Rukka. Meski marak, pemalsuan tau-tau dan mumi itu tak meredakan besarnya pencurian tau-tau dan mumi asli. Polisi Tana Toraja sendiri tampaknya sudah kewalahan dengan aksi ini. Soalnya, pada beberapa kasus, pencurian mayat tidak dilaporkan ke polisi karena telah diselesaikan di tingkat keluarga. "Sejauh ini baru dua kasus pencurian mumi yang sampai ke pengadilan. Selebihnya tidak jelas penyelesaiannya," kata David Layuk, Kepala Kejaksaan Negeri Makale. Selain itu, perangkat hukum yang bisa memberantas penjualan barang-barang tersebut ke luar Toraja juga tak kuat. Menurut Dendi Eka Hartanto, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Yogyakarta—kota yang kerap jadi daerah transit mumi Toraja—selama ini undang-undang yang bisa dipakai untuk menjerat penjualan barang-barang kuno asal Toraja itu adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Persoalannya, undang-undang tersebut menetapkan bahwa larangan jual-beli hanya bisa dilakukan jika sudah ada surat keterangan (SK) yang memastikan bahwa benda-benda itu masuk kategori cagar budaya. "Jika belum, harus dilakukan penelitian dulu sebelum SPSP mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menerbitkan SK tersebut. Jadi, prosesnya lama sekali," kata Dendi. Nah, tidak semua benda asal Toraja punya SK penguat seperti ini. Perangkat hukum negara yang lemah ini masih ditambah lagi dengan tak berjalannya mekanisme hukum adat di Toraja sendiri. Menurut Tanete, dulu pencuri mayat bisa dihukum mati secara adat dengan cara ditenggelamkan di sungai. Entah mengapa, saat ini hukuman itu tidak pernah lagi diberlakukan. Sementara itu, godaan bagi warga Toraja untuk mencuri mayat juga tak berkurang. Kemiskinan yang mengimpit penduduk menjadikan pencurian mayat jadi solusi untuk memperoleh uang. "Pesta kematian yang berbiaya tinggi juga menimbulkan utang bagi keluarga. Ini menjadi beban hingga beberapa turunan," kata Tanete. Pencurian mayat di Tana Toraja kini ibarat persoalan yang berpusing dalam labirin tanpa ujung. Bahkan di puya—nirwana tempat segala kehidupan akan berakhir dengan bahagia—mayat-mayat kuno Toraja kian sulit menemukan ketenangan. Arif Zulkifli, Tomi Lebang (Toraja), Dwi Arjanto (Jakarta), L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus