Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yang Mati Meninggalkan Beban

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adat orang Toraja menggariskan penghormatan setinggi-tingginya kepada leluhur—berapa pun ongkosnya. Upacara kematian seorang rambu solo', anggota kasta emas (bangsawan), misalnya, bisa menghabiskan dana ratusan juta rupiah untuk menyembelih paling tidak 24 ekor kerbau. Di kalangan kasta besi dan kayu (menengah), upacara dilakukan dengan menyembelih 6-12 kerbau, dan dalam kasta rumput (rendah) beberapa ekor babi betina dikorbankan. "Anak keturunan berkewajiban memperlakukan leluhurnya dengan baik. Dengan begitu, sang leluhur juga akan melimpahkan rezeki dan menjaga keturunannya dengan baik pula," kata Prof. Dr. Marrang S. Paranoan, budayawan Toraja dari Universitas Hasanuddin. Menyelenggarakan ritual kematian selangit—bisa mencapai Rp 1 miliar—merupakan kebanggaan yang tinggi bagi orang Toraja. Tetapi itu juga sekaligus menimbulkan utang besar, yang membebani hingga beberapa keturunan. Tengok saja David Layuk, 53 tahun, yang mengaku tak betah tinggal di kampung halamannya sendiri di Madandan, Toraja Bagian Tengah. Dia harus sering merogok koceknya dalam-dalam—tak sebanding dengan gajinya sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Makele, Tana Toraja. Buat upacara kematian keluarga terdekat, David harus menyumbang setidaknya satu ekor kerbau. Untuk kerabat jauh, ia mesti menyumbang satu ekor babi. Dan itu terjadi hampir setiap bulan. Padahal, harga kerbau minimal Rp 10 juta per ekor, dan babi Rp 1 juta per ekor. "Utang babi saya di Pasar Hewan Bolu, Rantepao, sudah menumpuk," katanya berkeluh kesah saat ditemui TEMPO awal Juni lalu. "Saya tidak sanggup membayarnya. Pengeluaran untuk pesta-pesta adat tersebut lebih besar dari biaya untuk keluarga saya sendiri." Masih banyak David-David yang lain, sehingga tampak ada beban yang terus-menerus menggayuti masyarakat Toraja umumnya. Itulah yang membuat Toraja sulit berkembang karena selalu dalam lingkaran beban. Kesulitan ekonomi itu masih diperparah oleh soal judi sabung ayam terselubung yang sering menyertai upacara kematian. "Toraja kini menjadi wilayah judi sabung ayam di Sulawesi Selatan," tutur Tanete Adrianus Pong Masak, sosiolog Universitas Katolik Atmajaya Jakarta asal Toraja. "Sebuah pesta rambu solo' tanpa sabung ayam bukanlah upacara kematian yang sempurna." Sejatinya, wilayah Toraja, yang berpenduduk 381 ribu jiwa (sensus 1995), bukanlah bumi yang makmur penuh kekayaan alam. Hasil pertanian hanyalah kopi, kentang, kacang-kacangan, dan cengkeh. Panen padi umumnya sekali setahun, menyesuaikan dengan musim. Lainnya berupa peternakan babi. Pada subsektor industri yang dihubungkan dengan industri pariwisata, ekspor lebih berkembang di Toraja. Potensi industri kecil atau kerajinan rakyat menunjukkan 2.646 unit usaha (Badan Pusat Statistik 1995). Karena memiliki keunikan yang khas, tak aneh jika industri pariwisata bertahun-tahun menjadi primadona Toraja. Badan Pusat Statistik mencatat periode Juli 2000 lalu wisatawan mancanegara yang masuk ke Sulawesi melalui Bandara Hasanuddin di Makassar meningkat 64,4 persen dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Mayoritas menuju Tana Toraja. Sebagai perbandingan, Bali, yang merupakan daerah tujuan wisata utama di Indonesia, hanya naik 16,62 persen. Bila musim turis tiba, sepanjang April-September, toko suvenir selalu diserbu turis. Sebuah toko suvenir bisa mengantongi keuntungan Rp 15 juta dalam sepekan. Sayangnya, toko-toko tersebut juga menjual secara ilegal barang dari makam yang selama ini dikeramatkan. Bisnis jarahan makam keramat akhirnya menjadi ironi pergeseran masyarakat Toraja. Hal itu diakui Tanete. "Ada nilai-nilai tradisional sudah mulai lapuk. Juga ekses dari bisnis pariwisata Toraja yang mengakibatkan komersialisasi adat-istiadat," katanya. Menurut Tanete, perlu dicari suatu alternatif memajukan Tana Toraja lewat potensi ekonomi lain, seperti potensi pertambangan yang kaya di daerah itu. Tanpa pengembangan ekonomi yang lebih baik, pencurian mayat mungkin tidak bisa dihentikan. Mahalnya menyelenggarakan upacara penguburan hanya akan menjadi ironi ketika orang merusak kekeramatan leluhur justru karena kemiskinan yang ditinggalkan si mati. Dwi Arjanto dan Tomi Lebang (Toraja)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus