Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Gunung-Gunung ke Eropa

Bagaimana transaksi jual-beli mumi dan benda kubur Toraja dilakukan?

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sambil memegang bungkusan kain berisi penganan sirih, nenek berusia lebih dari 100 tahun itu memandang tamu-tamunya dengan tatapan curiga. "Inda la mi daka' (kalian mencari siapa)?" katanya dalam logat Toraja yang kental. Ia berdiri di depan pintu rumah panggung di Dusun Dende, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tubuhnya yang bungkuk menyebabkan dia harus mendongak jika ingin menatap orang-orang di hadapannya. Ketika mengetahui maksud kedatangan TEMPO sore itu, sang nenek tersenyum. Ia merogoh gantungan kunci yang disimpannya dalam kotak sirih, lalu berjalan menuju kamar utama. Kamar itu tak luas, hanya sekitar 9 meter persegi. Di dalamnya ada dipan sederhana dengan kasur beralas seprai merah muda, lemari kayu, sebuah meja dan kursi. Sinar matahari sore masuk dari jendela kaca nako yang tak ditutupi tirai. Angin Tana Toraja semilir menyebarkan bau tetumbuhan. Nenek yang biasa dipanggil Tasik Bua' itu membungkuk seraya menyibakkan seprai yang menjuntai hingga lantai. Dari bawah dipan ia mengeluarkan sebuah kotak kayu. Ia berdiri sebentar, lalu membawa kotak kayu itu ke luar kamar. Di dalam kotak tua itulah sang nenek menyimpan benda kuno yang sempat membuat heboh Dusun Dende. Sebuah mumi yang diperkirakan usianya 400 tahun. Mayat yang telah mengeras itu berukuran mini: panjangnya hanya 70 sentimeter dan beratnya 900 gram. Kulitnya berwarna kuning kehitam-hitaman. Sebagian rambutnya utuh, sebagian lainnya terkelupas bersama kulit kepala. Dari mulutnya yang tak terkatup rapat tersembul dua gigi yang kusam dimakan waktu. Dari jauh mumi itu lebih mirip boneka. Tangannya yang masih sempurna menjulur ke bawah dengan kuku jari sepanjang dua sentimeter. Mumi itu mengenakan pakaian yang terbuat dari serat daun nanas. Kakinya memakai kaus yang salah satunya telah berlubang. Di antara dua lengannya terselip beberapa uang kertas seribu rupiah. "Anak-anak desa memanggil mumi itu Susan, seperti boneka Ria Enes yang sering muncul di televisi," kata Sattu Pindan, salah seorang cicit Tasik Bua'. Tapi mengapa Susan sampai berada di rumah itu? Kisah ini berawal setahun lalu. Ketika itu Susan masih tinggal di kuburan batu di tebing Gunung Tallang Sura', di pinggir Desa Dende. Bersama mumi itu terkubur ratusan mayat warga Kampung Dende lainnya yang telah wafat berabad-abad silam. Tapi malapetaka bagi Susan datang ketika suatu hari se-orang ketua adat Dende meninggal dan dikubur di tempat yang sama. Tiga warga desa yang bertugas menguburkan mayat sang ketua adat tergiur untuk menjarah Susan. Malam hari setelah prosesi pemakaman usai, ketiganya memanjat dinding tebing kuburan itu. Rencananya, mayat purba itu akan dilego di pasar barang antik di Rantepao. Tapi keluarga Tanan—salah seorang dari komplotan pencuri itu—ketakutan ketika Susan diinapkan di rumah mereka. "Semula saya kira itu daging pembagian dari pesta," kata Dauppulu', istri Tanan. Mumi Susan lalu diserahkan ke Kepala Desa Dende. "Kami takut kualat," kata Dauppulu lagi. Tanan beserta dua pencuri lainnya digelandang ke balai desa dan diadili di sana. Namun, akhirnya mereka dimaafkan bahkan tidak dilaporkan ke polisi. "Mereka dianggap masih keluarga sendiri," kata Hatsen Bangri', Kepala Desa Dende. Karena potensi pencurian yang tinggi, kini mumi Susan disimpan di rumah nenek Tasik Bua'. Tiap malam sedikitnya empat pemuda desa bergantian menjaga Susan. Soalnya, meski dianggap aman, ada saja orang yang merayu penduduk desa agar mumi itu dilego. "Ada kolektor yang menawar hingga Rp 2,5 miliar," kata Hatsen lagi. Kisah pembongkaran makam kuno Toraja cenderung selalu melibatkan orang dalam. Kalau tidak sebagai pelaku, keluarga dekat biasanya berfungsi sebagai informan. Soalnya, tak semua orang tahu ada mumi dalam sebuah makam. Tanan, misalnya, adalah penjaga makam Gunung Tallang Sura'. Di desa itu hanya dia yang tahu keberadaan Susan. Tanan bahkan mengerti dengan persis kebiasaan "gaib" yang kerap dilakukan Susan. Mumi itu, misalnya, kerap mengetuk pintu makam untuk mengabarkan bahwa ia masih ada di dalam gua batu tersebut. Selain itu, meski ratusan mayat baru disusun bertumpuk, Susan selalu pindah dan berada dalam posisi teratas. Mumi lain di Pa'buaran, Makale, Toraja, yang raib pada 1989 lalu juga dicuri penduduk kampung. Mumi berusia lebih dari 100 tahun itu adalah milik keluarga Yohanis Pallay. Sedianya, mumi itu akan dijual ke turis asing, tapi dapat digagalkan polisi. Pengadilan Negeri Makale memutuskan pencurinya, seorang pengembala kerbau, hukuman penjara selain juga dihukum secara adat. Pada 1994, pencuri mumi lainnya di Desa Sillanan Mengkendek, Tana Toraja, dan di Mamasa, juga dilakukan oleh penduduk kampung. Seperti umumnya penduduk desa di daerah terpencil lainnya, penduduk desa di Toraja biasanya memiliki hubungan kerabat. Pencurian di Sillanan dilakukan oleh delapan orang penjarah yang dipimpin J.R. Tandirerung, seorang guru sekolah dasar. Mumi ini rencananya akan dijual ke seorang penadah di Makassar. Tapi, sebelum terjual, Tandirerung dan seorang rekannya keburu tertangkap. Besarnya potensi pencurian mayat di Toraja dipicu oleh banyaknya permintaan akan mumi dan benda makam kuno Toraja. Menurut Rukka Lindung, seorang pemilik toko suvenir di Toraja, sebuah tau-tau (patung kuno yang biasa diletakkan di makam tua) bisa laku hingga Rp 50 juta. Mumi asli bisa dilego hingga miliaran rupiah. Tak ada harga patokan pasti. Semua tergantung negosiasi antara calon pembeli dan calo yang menghubungkannya dengan penjual komoditi langka tersebut. "Kalau punya mumi, calon pembeli berani membayar berapa saja," kata Rukka. Dari bekerja sebagai pialang benda-benda kubur, Rukka mengaku bisa mengumpulkan Rp 60 juta per bulan. Peran calo memang sentral dalam bisnis ini. Mereka biasanya adalah pemilik toko suvenir atau pemandu wisata yang kerap membawa turis ke pelosok-pelosok Toraja. Selain mencarikan barang jualan, para calo itu pula yang terkadang "mengekspor" barang terlarang itu ke luar negeri. Menurut Candra Tulungallo, seorang bekas penadah tau-tau Toraja yang pernah ditahan empat bulan karena perbuatannya, konsumen barang kuburan biasanya datang dari beberapa negara Eropa, Arab, dan Brunei. Tanete Pong Masak, sosiolog dari Universitas Atmajaya, Jakarta, mengaku pernah bertemu dengan kolektor mumi di Prancis saat Tanete belajar di negera itu. "Rumahnya penuh dengan timbunan barang antik, termasuk mumi Toraja. Dia punya hubungan dengan museum dan penjual barang antik internasional," katanya kepada Dwi Arjanto dari TEMPO. Bagaimana barang-barang purbakala itu bisa diterbangkan ke luar negeri? Menurut Candra, umumnya mumi dikeluarkan dari Toraja ke Makassar melalui jalan darat, untuk kemudian dikeluarkan dari Sulawesi melalui jalur laut. Cara ini dianggap lebih aman ketimbang melalui pesawat udara, yang lebih ketat pemeriksaannya. "Jalurnya Toraja-Makassar-Denpasar," kata Candra. Beberapa lainnya juga dibawa ke Jakarta, Yogyakarta, atau Semarang. Di Semarang itulah, 26 Mei tahun lalu, petugas Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjungmas memergoki upaya penyelundupan 33 benda cagar budaya—empat di antaranya adalah tau-tau haram asal Toraja. Benda kubur itu diselipkan di antara 132 benda seni lainnya. Saat ini tau-tau Toraja itu disimpan di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Yogyakarta. Belum jelas apa yang akan dilakuan pemerintah dengan tau-tau selundupan itu. Tapi aparat bukan tak punya tersangka. Dokumen yang tersimpan di SPSP menyebut nama Asikin, seorang penjual benda seni asal Yogyakarta, sebagai pelaku. Asikin, 60 tahun, adalah pemilik toko seni Antique & Art di Patehan Lor, Alun-Alun Selatan, Yogyakarta. Selama ini ia memang kerap mengekspor benda seni ke luar negeri. Kepada TEMPO, ia mengaku bahwa tahun lalu ia memang berniat mengirim dua kontainer barang dagangan ke Spanyol dan Swiss. Dalam kontainer itulah terselip tau-tau Toraja. Tapi Asikin membantah telah menjual benda cagar budaya. Menurut dia, tau-tau yang hendak dijualnya ke Eropa bukan barang asli, melainkan patung imitasi yang dibuat perajin kayu di studionya. "Orang-orang saya memang ahli. Barang baru bisa terlihat kuno," katanya. Tapi keterangan Asikin ini disangkal Drs. Gunadi, Kepala Purbakala Sulawesi Selatan. Dari bukti-bukti yang ditemukannya, Gunadi yakin tau-tau Asikin itu asli. Siapa yang benar? Tak jelas. Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang bisa menjerat penjual barang langka itu sejauh ini mensyaratkan surat keputusan resmi dari pemerintah untuk memastikan apakah sebuah benda seni merupakan benda cagar budaya atau tidak. Tanpa itu, petugas tak bisa main hantam. Tau-tau Asikin, misalnya, mesti diperiksa dulu untuk memastikan keasliannya. Setelah yakin benda itu bukan imitasi, SPSP masih harus meminta surat pengesahan ke pemerintah pusat. Ini semua membutuhkan waktu lama. Dengan proses hukum yang melingkar-lingkar tersebut, jerat kepada penjualan benda kubur Toraja tampaknya memang sulit untuk efektif. Dan sementara pembuktian empirik itu dilakukan, penjual tau-tau bisa saja kabur. Karena itulah hingga kini penjualan benda kubur kuno belum bisa sepenuhnya dihentikan—entah sampai kapan. Mungkin hingga kubur-kubur batu di Toraja kehabisan penghuni. Arif Zulkifli, Tomi Lebang (Toraja), L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus