Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menembus Batas Masa Lalu

Proses berteater menolong menembus batas negara, mengenal mereka sebagai manusia. Mereka orang-orang Serbia yang tersekap dan kini menghirup udara bebas.

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semalam kekacauan kembali terjadi," tulis Mladen, pemain yang berasal dari Montenegro, setelah saya sampai di Jakarta. "Kedua lampu depan yang kumainkan bersama Igor padam tiba-tiba, sehingga Sonja yang berada di depan layar jadi panik. Untung Urosh sigap menyalakan lampu di belakang layar dan aku menemukan lampu senter untuk menerangi Sonja. Semua bergerak mencoba mengatasi keadaan sampai semuanya teratasi. Tapi kemudian tak terduga lampu di penonton menyala. Kami semua kaget, untung semua tetap dalam konsentrasi, lalu merespons yang terjadi. Segalanya disesuaikan dengan apa yang ada sehingga penonton merasa itu bagian dari peristiwa."

Surat itu membuat saya seperti belum kembali dari Beograd. Jiwa saya masih di situ bersama mereka dalam cucuran keringat, bagaikan prajurit dalam pertempuran, bertempur di atas panggung, mengatasi semua keadaan. Hanya untuk mengusung sekitar satu seperempat jam peristiwa, yang mengantarkan penonton pada sebuah dunia imajiner yang diharapkan akan ikut menarik transformasi di sebuah negeri yang ingin menembus batas masa lalunya.

Kembali saya merasa pemuda yang bertubuh kecil itu menghampiri, seperti sering ia lakukan di saat-saat latihan. Wajahnya lancip seperti punya darah Arab. Bahasa Inggrisnya sangat sopan dan tertata. Ia termasuk salah satu yang paling tekun mengikuti latihan. Anak-bini ditinggalkannya di Montenegro karena ingin mendapatkan pengalaman baru. Ketika gladi resik, ia menghampiri saya di balkon dan bertanya serius sekali. "Apa yang harus dilakukan untuk mengubah semua kekurangan menjadi kelebihan? Apa yang harus diupayakan untuk mengubah semua kesalahan menjadi benar?"

Saya tak tahu bagaimana menjawabnya, karena semua itu hanya bagus dalam kata-kata sebagai sebuah persoalan. Saya hanya bilang waktu itu, tak ada yang harus dilakukan, karena menyadari saja sudah cukup. Ia bengong oleh jawaban saya dan saya pun merasa kecewa tak bisa memberinya kepuasan. Tetapi suratnya itu sudah menjelaskan ia telah menemukan jawabannya sendiri. Saya sungguh gembira, seperti petani melihat cabang yang ditancapkan untuk pagar ternyata tumbuh, bahkan sudah berdaun.

Semua itu mengobati perasaan gagal saya yang muncul di bandar udara ketika meninggalkan Beograd. Di luar dugaan, Djordje dan istrinya, Lana, muncul ditemani oleh Igor dan Vlada. Itu di luar skenario saya yang ingin menghilang tanpa ada yang tahu. Kedua pemuda itu termasuk peserta-peserta terbaik yang sangat banyak membantu keberhasilan proses. Igor, seorang pemuda ganteng yang pernah belajar ilmu bela diri Jepang, sangat tertarik pada latihan pernapasan yang kemudian dikembangkan menjadi terapi penyembuhan. Saya melakukan itu hanya untuk guyonan, tapi ia menanggapinya sungguh-sungguh dan berhasil memulihkan beberapa pemain yang cedera. Sebagai imbalannya, ia mengajari saya beberapa kata sapa seperti: doberdan. Perasaannya begitu halus. Ia memasukkan gelang ke tangan saya sambil berbisik: "Supaya Anda tak pernah lupa kepadaku."

Sementara itu, Vlada, yang tak bisa diam dan selalu berusaha membuat lelucon bahkan pada saat-saat yang tak diperlukan, menjadi pelawak yang membuat suasana selalu ceria. Orang besar tinggi, atletis dan cakap. Saya memberinya julukan Scoobidoo. Saya minta dia untuk tidak memotong cambangnya supaya mendapatkan sosok bervariasi, karena muka yang lain semuanya mulus. Ia sangat tersiksa oleh cambang yang membuat tampangnya seperti Kapten Hadhock dalam komik Tintin.

Sebenarnya saya ingin membelokkan agar ia keluar dari penyakitnya yang selalu ingin melucu, karena itu membuat potensinya yang besar jadi mubazir. Tampaknya usaha saya perlahan-lahan berhasil. Tetapi tiba-tiba ia muncul di bandara dengan membawa wajah klimis, sementara pertunjukan masih berlangsung. Seluruh keberhasilan saya rontok. Ia sudah berontak dan keluar dari genggaman saya sebagai sutradara. Waktu itu saya kecewa sekali. Untuk menghibur diri, saya terima itu sebagai konsekuensi apa yang sudah saya katakan kepada mereka. Tugas saya sudah selesai. Pertunjukan sudah jalan sendiri dan bebas berkembang.

Vlada pernah mengantar saya belanja ke supermarket dengan mobilnya sambil menceritakan siapa dirinya. Kehidupannya unik. Ia ditinggal oleh keluarganya yang merantau ke Amerika dan kini sudah bekerja di situ. Istrinya yang baru saja dinikahinya beberapa bulan, juga menyusul mertuanya itu ke Amerika untuk melanjutkan pelajaran, dan kini sudah lulus dan dapat green card.

Amerika yang dianggap sebagai musuh kejam yang dibenci, ternyata juga sekaligus negeri impian dan masa depan. Saya mendengar sopir Mbak Yomi Lestari, staf kedutaan itu, juga berencana untuk merantau ke Amerika. Orangnya bujangan, tinggi besar dan masih tinggal bersama keluarganya. Dia terlalu gagah sebagai sopir, namun saya sungguh hormat kepadanya, karena ia tak pernah memposisikan dirinya lain. Ia sopan sekali, sehingga ketika belakangan saya tahu ia seorang sarjana matematika, saya jadi malu hati, karena bagaimana mungkin ahli matematika bisa serendah hati itu. Sama dengan seorang tukang kebun salah seorang staf kedutaan yang juga suami seorang dokter. Banyak intelektual di Beograd tapi tak ada pekerjaan. Negeri itu memang sedang berusaha bangkit lagi menembus nasibnya.

Agak sama dengan Vlada, Urosh yang kemudian di e-mail menyebut dirinya John Johnson, baru selesai menjalani wajib militer yang dikenakan pada semua pemuda. Berbeda dengan Vlada, Urosh pendiam, sangat sopan, paling sopan di antara semua pemain. Disiplinnya sangat tinggi. Sementara tak seorang pun yang punya perhatian memegang lampu, ia dengan tekun memainkan lampu di belakang layar, sehingga menemukan rahasianya dan kemudian mengejutkan dengan improvisasi dan ide-idenya. Urosh satu-satunya yang saya hadiahi T-shirt karena prestasinya menonjol.

"Yang paling saya sukai, adalah bahwa tim kami sudah melakukan langkah baru dalam teater dan bahkan dalam hidup kami yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Tim kami sudah membuat adegan dengan bayangan di layar, musik memberi mereka emosi dan saya dengan cahaya menghubungkan semuanya menjadi sebuah peristiwa yang pernah terbayangkan sebelumnya," tulis Urosh dalam e-mail.

"Tapi kalau juga harus mencari apa yang tidak kusukai, ada juga. Itu adalah kenyataan bahwa aku tak pernah melihat Anda marah, pada saat harusnya marah. Apa mungkin itu filosofi Timur? Sesuatu yang tak kami kenal, yang hanya bisa dibaca di dalam buku atau hanya terjadi di dalam film-film seni dan pertunjukan teater seperti yang sudah kita buat itu? Terus terang, bagiku semua itu begitu asing dan penuh dengan misteri."

Nevena yang datang ke apartemen saya ketika saya hendak berangkat ke bandara bercerita: "Setiap hari semuanya mulai berhitung, karena setiap hari mulai berkurang. Mereka seperti anak-anak yang takut kehilangan permainan dan perempuan-perempuan mulai menangis," kata Nevena

Pada hari pementasan yang terakhir, Sonja Zivanovic mengirim e-mail: " Hari ini aku duduk di bibir panggung sendirian, hanya ditemani seberkas cahaya kecil, sebelum pertunjukan dimulai. Kurasakan suasana yang magis, aku teringat kembali di awal ketika kita masuki panggung ini, ketika Anda bilang begitu besar tenaga yang tersimpan di dalam ruangan ini, tinggal bagaimana kita harus merasakan dan menggunakannya. Aku tidak tahu seberapa berhasil aku sudah melakukan itu. Yang bisa kukatakan sekarang hanya, betapa bedanya perasaanku kini setelah mengikuti proses ini. Sepertinya aku tumbuh menjadi besar sekali dan memasuki galaksi yang baru. Ini saat yang penting dalam hidupku, karena aku merasakan keindahan yang bercampur dengan air mata haru. Aku tak sabar menanti pukul yang sembilan untuk menuntaskan malam yang terakhir ini!"

Tak seketika saya tangkap perasaan yang ada di balik surat-surat itu. Baru setelah beberapa bulan berlalu, ketika saya membacanya kembali, rasa itu menghampiri perlahan-lahan.

Seakan-akan proses teater menolong menembus batas negara, saya tidak lagi sebagai orang Indonesia bertemu dengan Serbia, tetapi sebagai manusia. Mereka tak ada hubungannya dengan peristiwa berdarah di Bosnia yang diceritakan oleh sejarah sebagai pembantaian yang melanggar kemanusiaan. Mereka tak terkait dengan peristiwa itu. Mereka adalah orang-orang yang tersekap dan kini ingin menghirup udara yang segar sebagai manusia bebas.

Teater telah membuat kami saling menyapa setelah satu setengah bulan bersama-sama melakukan meditasi lewat cucuran keringat dan frustrasi. Proses telah menghapus batas di dalam hati kami. Dengan puitis, Sonja menulis:

"Yesterday, some time after performance, I was passing alone through the empty hall, and suddenly I had a strong feeling, strange but beautiful, that I will see you sitting in a green room in back of the stage. Maybe you were thinking of war at that moment...."

"Dan pagi ini aku terjaga, kutemukan 4 buah senyuman. Satu untukku, yang tiga kukirimkan buat Anda dan keluarga."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus