Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beograd, pada Suatu Meditasi

Barat tak lagi berposisi sebagai satu-satunya kiblat bagi teater masa kini. Teater Timur yang hadir sebagai pengalaman spiritual juga memiliki sejarah dan masa depannya sendiri. Kedua pilar teater itu sedang berinteraksi dengan mesra, tetapi sesungguhnya juga panas. Multikultural menjadi isu besar dalam dunia pertunjukan—melahirkan kolaborasi di mana-mana. Dapatkah kedua belah pihak sama-sama menjadi pemenang? Membawa serta pertanyaan itu, Putu Wijaya berangkat ke Beograd beberapa waktu lalu. Di sana, budayawan ini menyutradarai pertunjukan yang didukung pemain setempat untuk membuka Festival Teater Beograd 2004. Dan Putu menemukan: kolaborasi selalu dibarengi rasa pedih karena itu sesungguhnya tak kurang dari meditasi. Berikut ini, laporannya:

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga tahun Beograd berada di benak saya dalam bayang-bayang yang romantis. Meski saya belum pernah berkunjung ke Eropa Timur, film-film dan karya sastranya telah mempesona saya karena berbeda nuansa dengan Eropa Barat dan Amerika. Saya bersiap-siap melihat pesona bangunan-bangunan tua, petani-petani dengan ladang lebar, tradisi yang masih kental, dan kehangatan hubungan antarmanusia. Tetapi sementara itu tak sedikit rasa cemas, mengingat negara itu baru saja selesai perang.

Yomi Lestari, staf Kedutaan Besar Indonesia di Beograd, menenangkan saya lewat e-mail dengan kabar bahwa negeri itu sudah aman. Memang masih ada beberapa bangunan rusak sisa-sisa perang, tetapi kehidupan berjalan normal. Makanan tak sulit lagi. Penduduknya ramah-tamah. Wanitanya cantik-cantik. Sementara itu, udara tak bisa ditebak karena tiba-tiba bisa mendadak drop lagi seperti musim dingin yang belum mau pergi. Taksi dan transportasi umum di dalam kota berjalan lancar.

Pada Juni lalu, di bawah matahari musim panas, Beograd yang lama berada di dalam benak akhirnya saya sambangi juga. Inilah ibu negeri Serbia-Montenegro, yang dulu dikenal sebagai Serbia Herzegovina. Djordje Marjanovich telah menanti saya di bandara. Djordje adalah seorang sutradara yang pernah bekerja di Teater Nasional Beograd. Dia mengundang saya ke Beograd dan meminta saya menyutradarai satu pementasan untuk membuka BELEF—festival tahunan Kota Beograd.

Rundingan tentang pementasan itu telah kami mulai di Jepang pada tahun 2000. Ketika itu Djordje turut bermain dalam pementasan Teater Mandiri, yang saya pimpin. Kami membawakan naskah The Coffin Is Too Big for the Hole karya Kuo Pau Kun. Pementasan yang memanipulasi teknologi rendah dan hampir seluruhnya visual itu menurut hematnya dapat "meracuni" kehidupan teater di negaranya yang dia anggap membosankan.

Pada awalnya, The Coffin dijadwalkan tampil dalam Festival BITEF 2001—Festival Internasional Teater Beograd, yang terbilang bergengsi di Eropa. Tetapi batal karena di waktu itu Serbia-Montenegro baru saja selesai diobrak-abrik serangan pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO. Dari bandara yang kecil tapi bersih, Djordje membawa saya ke jantung Beograd. Kami naik mobil tua kecil buatan Prancis tapi amat gesit. Bayangan saya tentang negeri itu mulai kandas.

Apa yang saya lihat jauh berbeda dengan apa yang saya mimpikan. Masih ada hamparan ladang luas dengan langit yang bersih di jalan tol. Tetapi, memasuki Beograd, kota itu tak tampak berbeda dengan kota-kota yang sedang bangkit. Di mana-mana dibangun gedung. Kurang pepohonan. Baru setelah menyeberang sungai, kami memasuki kota lama yang membuat saya mulai merasa lamat-lamat mencium udara Eropa Timur yang molek.

Awalnya, saya hendak ditempatkan di hotel bersejarah kebanggaan Beograd, tempat dulu Presiden Sukarno menginap ketika bertemu dengan Tito. Tetapi, karena anak dan istri saya akan segera bergabung, saya menyarankan agar diberi apartemen saja. Dengan begitu, kami bisa memasak sendiri sehingga menghemat biaya. Apartemen itu terletak di pusat kota, sekitar 10 menit jalan kaki dari gedung pertunjukan. Bangunan yang kecokelatan itu tampak seperti pohon tua yang kulitnya mulai terkelupas. Tempat parkirnya diteduhi pepohonan yang rindang. Di halaman tampak beberapa orang tua menjaga anaknya bermain ayunan, terasa seperti memasuki daerah miskin.

Milik seorang penari, suasana apartemen itu cukup nyaman. Ada dapur, ruang keluarga, televisi kabel, dan tempat tidur yang lebar. "Kalau kamu tidak capek, kita bisa ke kantor festival sekarang karena kamu harus punya duit buat belanja. Sekalian singgah ke gedung teater sambil mencari warnet untuk memasang sambungan Internet ke komputermu," kata Djordje. Saya tak keberatan, karena sudah banyak tidur dalam pesawat. Lagi pula, menurut waktu Indonesia, itu saat baru bangun pagi. Saya juga ingin segera menyentuh kota yang akan menjadi tempat bekerja saya selama satu setengah bulan.

Di Gedung Teater Atelje 212, tempat kami nanti membuat pertunjukan, sedang ada bongkar-pasang set untuk pertunjukan terakhir musim dingin. Setelah itu mereka akan libur panjang, sehingga kami bisa berlatih dengan bebas di panggung menunggu musik pertunjukan berikutnya. Bagi saya, itu sebuah kemewahan mengingat di Jakarta biasa hanya ada satu-dua hari kesempatan berlatih di panggung. Saya segera meneliti semua kemungkinan panggung yang bisa dimanfaatkan.

"Aku sengaja memilih teater ini buat pertunjukan kita dan bukannya Teater Nasional, karena teater ini cantik, strategis, dan memiliki reputasi bagus dalam sejarah pementasan," kata Djordje. Gedung teater yang terbilang baru itu memang menyenangkan. Panggungnya luas, dengan langit-langit yang tinggi dan bisa menampung sekitar 300 penonton. Di gudang, ada banyak peralatan bekas yang menurut ukuran teater standar tak berguna lagi tapi buat saya justru menjadi sumber inspirasi.

Di antaranya segulungan kain putih yang segera membuat saya merasa aman karena itu bisa dipakai untuk kostum dan membalut properti kalau nanti ada hambatan biaya. Di luar gedung, seorang lelaki menyapa. Djordje memperkenalkan orang itu sebagai aktor senior yang bersedia bergabung dalam kolaborasi kami. Dia ingin mengalami sesuatu yang lain dalam proses. "Tapi aku tetap harus mewawancarainya lagi. Sebab, ia pasti belum bisa membayangkan akan dituntut melompat, berguling, dan sebagainya, bukan memainkan karakter," kata Djordje.

Sambil berjalan ke arah Republik Square, Djordje menuturkan bahwa banyak yang tertarik melamar untuk pementasan kami. Tetapi, ketika mendengar tentang apa yang akan kami lakukan, peserta yang rata-rata lulusan akademi teater banyak yang tak lagi berminat. Mereka sudah terdidik untuk pertunjukan yang memiliki cerita dan peran yang akan mereka mainkan, sebagaimana yang mereka pelajari di akademi. Bermain di belakang layar seperti wayang kulit, sebagaimana yang saya rencanakan, apalagi bekerja sendiri membuat properti, tabu bagi kehidupan seorang aktor.

"Ini dulu negeri sosialis dengan teater semuanya milik negara," kata Djordje. Setiap gedung teater di kota itu memiliki pegawai-pegawai dan pemain-pemain sendiri. Main tidak main, mereka digaji tetap setiap bulan. Teater Nasional, misalnya, sampai memiliki 900 karyawan. Banyak dari mereka yang hanya menjalankan tugasnya. Waktu senggang dihabiskan dengan mabuk. Ada juga yang punya toko kecil dan menikmati fasilitasnya sebagai pegawai negeri. Menurut Djordje, kehidupan teater di sana tak bergerak. Kreativitas sudah macet. "Itu sebabnya aku perlu mengajak generasi muda untuk melihat kehidupan lain. Mereka memerlukan pengalaman internasional," ujarnya.

Di Republik Square, persimpangan di tengah kota yang dikelilingi oleh kafé-kafé, kami bertemu dengan salah seorang pemain yang akan ikut bergabung. Orangnya bule sekali, tinggi dan besar. Namanya Uros. Ketika menjabat tangannya, saya merasakan ada tenaga dan semangat yang tinggi. Ia melihat saya seperti benda misterius dari Timur. Mungkin Djordje telah mempropagandakan saya secara berlebihan. Tak saya duga, pada akhir kolaborasi nanti, saya akan menetapkan Uros Johnson itu sebagai peserta kolaborasi yang terbaik, karena dedikasi, prestasi, maupun kepribadiannya.

Teater kecil yang hendak kami longok terkunci. Kami langsung berjalan ke bangunan jangkung tempat kantor festival. "Itu dia gedungnya. Tepat di depan pintunya beberapa waktu lalu, perdana menteri kami ditembak mati," kata Djordje sambil menuding ke bawah. Ia menunjukkan puncak beberapa gedung yang hancur akibat serbuan bom udara pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO. Saya lebih tertarik pada pemandangan spektakuler laut, sungai, dan lahan hijau membentang. Itu membuat saya tak perlu teringat pada perang yang belum lama melanda negeri itu dan dibicarakan oleh seluruh dunia.

"Di situ mengalir Sungai Danube. Dan di sana ada benteng peninggalan Turki. Negara itu pernah menduduki negara ini sampai 400 tahun," kata Djordje. Negeri itu menyimpan pembauran budaya Turki, Prusia, dan Rusia.

Saya jadi mengerti mengapa wanita-wanita yang saya papas di jalanan seperti cantik semuanya. Perpaduan ras selalu melahirkan kecantikan. Kulit mereka tak terlalu putih, dadanya penuh, dan pinggangnya kecil. Ada nuansa Arab serta ekspresi yang bersahabat terhadap orang asing.

Djordje kemudian mengajak saya makan siang di kafé pinggir jalan, tempat ia biasa mengobrol dengan kawan-kawannya. "Apa yang kamu harapkan akan saya lakukan di sini?" tanya saya sambil mengunyah. Djordje lalu berceritera tentang apa yang terjadi di negerinya di masa lalu; rakyat merasa disiksa oleh pemerintah yang korup dan sewenang-wenang. Ketika NATO melakukan pengeboman, rakyat panik. Untuk melawan ketakutan itu, malah ada yang berpesta untuk melupakan dentuman bom yang menghajar kota.

"Kami masih menyimpan kenangan-kenangan yang mencekam dari perang. Dan kita di sini sebenarnya tak ingin lagi berbicara tentang perang, namun mengenangnya sebagai memori untuk tidak mengulangnya kembali," ujarnya. Menurut dia, anak-anak muda di sana perlu dibangkitkan kembali melalui alternatif baru tentang dunia lain yang berbeda dengan masa lalu. "Banyak di antara mereka yang tak pernah tahu apa yang ada di luar. Dan teater barangkali bisa berbuat banyak," Djordje menyampaikan harapannya kepada saya.

Tradisi teater di Beograd sudah berjalan di jalur yang sama sejak bertahun-tahun. Para aktor telah memperoleh kemapanan dan mungkin akan merasa terancam oleh usaha mengembangkan teater tanpa berkiblat pada aktor. Itu sebabnya dia mengharapkan, tontonan visual yang akan kami selenggarakan dapat menjadi referensi baru. "Saya harap produksi kita nanti dapat membuat pembaharuan dalam iklim teater di Beograd," katanya.

Rencana saya semula adalah bekerja seleluasa mungkin, membaurkan dan mempertukarkan pengalaman—tempat proses menjadi bagian yang amat penting dalam seluruh kolaborasi. Saya banyak bertanya, karena tak ingin melakukan kesalahan konyol secara politis. Dalam latihan, misalnya, ketika muncul imaji tentang peristiwa perobohan Twin Tower di New York, misalnya, Djordje cepat-cepat mengajak saya berunding. Dengan halus dia mengatakan, di Beograd juga ada menara simbol kota yang sudah diratakan bom ke tanah. Jadi, kenapa harus jauh-jauh meminjam nestapa dari New York?

Teater memang tidak bisa dipisahkan dengan politik, tapi saya sedang ngamen tentang teater sebagai pengalaman spiritual. Lewat pintu masuk itu, saya pernah berhasil menyutradarai pemain yang terdidik menurut estetika teater Barat di Universitas Madison, Wesleyan, Towson, dan Hunter College. Saya yakin akan dapat mengulanginya di Beograd, kendati ada kesulitan bahasa karena kami sama-sama asing dengan bahasa Inggris.

Esoknya, pada hari pertama latihan, saya bertemu dengan lima wanita, delapan pria, dan seorang pemain senior. Mereka rata-rata lulusan akademi. "Darkwood Dub", kelompok musik rock yang akan mengiringi pementasan kami, juga hadir. Mereka punya nama di Beograd dan sudah sering bekerja sama dengan Djordje. Saya membuka pertemuan dengan mengulangi apa yang selalu manjur sebagai pengantar dalam melakukan kolaborasi, bahwa saya datang tidak untuk mengajar, tetapi mengajak semuanya untuk melakukan sesuatu yang lain, yang tidak biasa mereka lakukan. Tidak untuk membuktikan itu lebih baik, tetapi hanya untuk menyerap pengalaman bersama.

Saya katakan terus terang saya tidak memerlukan aktor karena tidak ada cerita dan karakter. Yang ada hanya layar, itulah aktor tunggalnya. Target juga tak saya ketahui. Apa yang tercapai di dalam proses, itulah yang kemudian jadi target. Tak ada yang bereaksi, entah karena masalah bahasa, atau karena mereka sedang tegang menunggu apa yang akan terjadi. Saya manfaatkan saja dengan kejutan, meminta semuanya menyapu dan mengepel panggung. Mereka tambah bengong. Salah seorang mencoba menyiasati, tidakkah hal itu sudah dilakukan oleh petugas? Saya kontan menjawab ya, tapi nyatanya panggung masih kotor.

Tak ada yang berani membantah. Semuanya kemudian menyingsingkan lengan baju. Menyapu, mengepel beramai-ramai sehingga lantai yang tadinya muram jadi berkilat. Salah seorang kemudian mencolek lantai dan duduk dengan nikmat sambil memberi komentar, memang jadi lebih nyaman. Belakangan, dalam konferensi pers, peristiwa mengepel panggung yang berkembang jadi tradisi latihan itu dibicarakan sebagai sebuah teror bagi semua pemain.

Selanjutnya saya menghabiskan seluruh waktu latihan untuk mendengarkan satu per satu apa yang dikatakan oleh pemain tentang dirinya. Saya minta mereka menunjukkan kelebihan dan kekurangannya secara blak-blakan. Umpama Sonya, perempuan yang tingginya 1,80 meter dengan rambut hitam ikal. Dia mengaku sudah bosan sekali dengan keadaan yang begitu-begitu saja di Beograd. "Kota ini seperti mati. Saya ingin pergi ke luar negeri dan mencari pengalaman lain, bekerja dengan orang-orang teater di sana," katanya.

Lebih dari dua jam monolog-monolog itu berlangsung. Beberapa orang sudah mulai gelisah. Dari duduk tegak dan tenang, kemudian mereka mulai melonjorkan kaki, bahkan ada yang kemudian berbaring. Saya berusaha keras menggiring mereka supaya terus memperhatikan siapa saja yang bicara. Setelah rampung, saya sampaikan penghargaan kepada semuanya.

"Biasanya orang hanya berlatih keras untuk berbicara, tetapi tidak pernah berlatih memusatkan perhatian ketika ada yang bicara, padahal itu amat penting untuk membina sebuah tim," kata saya. "Menutup mulut tetapi membuka pikiran bukan sesuatu yang mudah," saya melanjutkan. Mereka semua tersenyum.

Belakangan saya ketahui rata-rata penduduk Beograd gemar berbicara. Tak jarang dua orang yang sedang pasang omong bisa barengan bersuara dengan sama-sama kencang. Mengakhiri latihan, saya berikan mereka teknik pernapasan dan mengajaknya mulai bergerak dengan rasa. Dialog dilakukan lewat tubuh tanpa bersentuhan. Mereka tidak hanya berdiri, tetapi juga berguling, jungkir balik mengikuti semua kemungkinan tubuh. Saya kira itu sebabnya kemudian pemain senior itu tak muncul lagi pada hari latihan berikutnya. Alasannya, nilai kontrak tak sesuai dengan permintaannya. Tetapi saya kira ia tidak bersedia jumpalitan karena itu bukan akting.

Nevena, yang dikontrak sebagai seksi repot, melaporkan bahwa semuanya senang sekali dengan latihan sekaligus bekerja itu. Tak ada yang terlambat datang. Panggung langsung dipel oleh siapa saja yang datang awal. Ritual latihan itu berkelanjutan sampai kami pindah berlatih ke Atelje 212, 10 hari kemudian. Bahkan Djordje, yang tadinya hanya mengawasi, akhirnya larut dan terjun ikut bermain.

Layar besar dipasang. Para pemusik mengiringi kami setiap latihan. Semuanya sudah mulai mahir menciptakan bayangan, memainkan lampu secara manual, dukung-mendukung bagaikan pemain bola, membuat peristiwa dan menciptakan adegan-adegan dengan tempo yang tinggi. Tetapi, celakanya kemudian, perlahan-lahan semuanya menjadi mekanis, hafal, sehingga pertunjukan kehilangan darah. Mereka mulai banyak bercanda, menghabiskan waktu dengan mengobrol.

Karena merasa sudah tahu, mereka menghambat proses. Saya terpaksa merangsang mereka dengan berbagai cara. Kadang berteriak-teriak dan memberikan contoh, karena diperlukan tenaga dan konsentrasi yang terus-menerus untuk pertunjukan jenis itu. Meskipun mereka tak tampak, gerakan mereka yang dilanjutkan oleh layar menjelaskan kepada penonton apakah mereka setengah hati atau total.

Makin lama berlatih, makin banyak saya menahan rasa jengkel karena proses berjalan alot. Saya pernah menyangka, pengalaman kolaborasi terdahulu akan memudahkan yang berikutnya. Ternyata itu salah. Setiap peristiwa harus selalu dihadapi sebagai sesuatu yang baru dari titik nol. Kalau tidak, akan frustrasi. Karena bukan hanya satu pihak, semua ikut frustrasi dalam kolaborasi total, sebagaimana pernah saya alami di Madison.

Bayangkan bagaimana tidak sumpek. Selama satu setengah bulan di Beograd, tiap hari kami berlatih. Saya menghibur diri dengan mengatakan, saya rugi besar tak sempat melihat sosok Beograd seluruhnya, tapi saya sudah masuk ke hati para pemain itu untuk bersapaan dengan rasa mereka. Pada malam pertama, 23 Juli, pertunjukan kami yang berjudul RAT (War and Memories) tak semua berjalan mulus. Tapi penonton yang memadati ruangan—termasuk Duta Besar Indonesia, Cina, dan Jepang—tak ada yang tahu beberapa kesalahan terjadi.

Para pemain berhasil menyulap: apa pun yang kemudian terjadi di atas pentas, itulah yang kita inginkan. Dengan justru dipertontonkan, kesalahan berubah menjadi benar. Para pemain pun takjub pada misteri teater itu. Semuanya mulai menyadari apa yang secara tak sadar mereka bina dalam latihan. Semuanya bahagia setelah hari pertama berlalu. Saya sendiri terharu ketika petugas cantik yang biasa menyapu gedung memberikan selamat dengan tulus, walau dalam bahasa yang tak saya mengerti.

Lalu, terjadilah peristiwa yang tak pernah saya duga. Djordje tiba-tiba muncul dengan kawannya membawa film dan gambar-gambar yang ingin dikolaborasikannya dengan pementasan. Ia seperti tak bisa menahan kehadirannya sebagai seorang sutradara. Saya amat tersinggung, karena itu tidak dibicarakan sebelumnya. Dengan tegas saya katakan pertunjukan itu konsepnya teknologi rendah. Kalau dicampur dengan teknologi tinggi, banyak yang akan hilang.

Saya terlalu marah atau mungkin terlalu lelah. Sejak itu, saya tak pernah hadir lagi. Para pemain mencari saya. Dan saya katakan kepada mereka bahwa tugas saya sudah selesai. Pertunjukan sudah jadi, biarlah bertumbuh dengan sendirinya tanpa saya lagi. Pertunjukan masih berlangsung terus ketika saya kembali ke Jakarta pada 27 Juli. Saya mendengar setiap hari penonton bertambah dan pertunjukan makin matang. "Malam terakhir adalah puncaknya. Tetapi semuanya sudah berakhir," tulis seorang pemain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus