Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJAJAKAN seni kontemporer, di Beograd, ternyata bukan barang baru. Sebelumnya sudah ada rombongan musik jazz Indonesia yang datang ke sana, bersama Trie Utami. Mereka bahkan sudah berkeliling memperkenalkan wajah lain Indonesia. Toh saya masih mencoba menghibur diri: saya datang bukan atas biaya negara, melainkan dibiayai, berikut anak-istri saya, oleh negara yang masih tergolong miskin itu. Tapi kembali saya terpaksa bengong.
Ternyata panitia, tanpa saya ketahui, sudah menghubungi Kedutaan Besar RI dan berhasil memperoleh sponsor satu tiket pulang-pergi. Hilang kebanggaan saya mengamen, karena masih terkait dengan biaya negara, meskipun hanya satu tiket. Namun, kehadiran duta besar dengan beberapa stafnya pada malam pertunjukan membuat saya lega.
Sebenarnya, kalau boleh berterus-terang, saya juga hanya menjual tradisi, tetapi dengan bungkus berbeda. Sebab, bagaimanapun, walau namanya teater modern, pertunjukan yang kami proses tetap saja membawa rasa lain. Sesuatu yang jelas asing dan misterius, sebagaimana yang dinyatakan oleh Urosh. Untuk meyakinkan mereka bahwa itu juga dapat mereka manfaatkan sebagai idiom, mesti diberikan referensi lengkap latar belakangnya. Dan itu tidak mungkin tanpa menjelaskan tradisi yang melahirkannya.
Draginja Mileusnic, salah seorang pemain yang cantik mungil, mengatakan apa yang kami lakukan di dalam latihan tidak umum untuk orang teater di Beograd, karena kami semuanya mengaburkan batas bekerja dan berekspresi. "Usaha untuk membuat properti dan kemudian menghormatinya, tak peduli itu sangat sederhana; sikap menghargai terhadap layar dan beban tanggung jawab menjaga keselamatan pemain lain, hingga membuat setiap pemain merasa dirinya aman di keriuhan pertunjukan, adalah sesuatu yang menarik," kata Draginja.
Buat saya tak cukup hanya menarik, saya ingin semua pemain mencobanya dengan sepenuh hati. Untuk mencapai target itu, mereka mesti diyakinkan. Di dalam latihan, saya sedikit-sedikit menunjukkan beberapa pemikiranuntuk membedakannya dengan bentukyang berasal dari seni tradisi. Misalnya lukisan Bali yang multifokus, yang mirip sebagai "tanpa fokus". Konsentrasi tidak lagi hanya diartikan sebagai pemusatan pandangan ke satu titik. Sebab, kalau itu dilakukan, akan terjadi banyak kecelakaan dalam pementasan yang penuh dengan gerak, lari-lari dalam tempo bergegas itu. Konsentrasi adalah penukikan ke satu titik sambil tetap awas pada seluruh titik di sekitarnya.
Istri saya sempat melatih para pemain melangkah menurut jurus-jurus gerak tari Jawa yang gemulai. Tapi itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak para pemain menari, apalagi menjadi Jawa. Hanya mengganggu sedikit warna balet yang muncul spontan dalam gerakan-gerakan mereka ketika mencoba memanfaatkan bahasa tubuh. Hasilnya adalah gerakan nanggung yang tak jelas buminya. Dalam keadaan tanpa berbumi itu gerakan menjadi tak terpola sehingga para pemain terhindar dari menari.
Kebetulan topeng yang saya bawa dari Jakarta (dibuat oleh pemain Teater Mandiri) dibungkus dengan kertas koran. Tak terduga-duga Draginja membacanya, bukan untuk mengetahui isinya, melainkan menikmati bunyinya. Peristiwa itu kemudian dilanjutkan oleh Vlada, yang sempat saya minta memimpin doa dalam bahasa Serbia sehabis latihan. Tak dinyana, ia ganti mendaulat saya berdoa dalam bahasa Indonesia. Alasannya, ia ingin mendengar bunyinya. Dengan senang hati saya lakukan. "Mula-mula terdengar sebagai tegur-sapa biasa kepada teman," katanya. "Tetapi kemudian menjadi khusyuk seperti berbicara kepada sang Pencipta, dan sangat intens."
Peristiwa itu tampak tidak penting. Tetapi kemudian secara berseloroh semuanya menyindir-nyindir akan lebih afdol kalau komunikasi budaya kami sekali-sekali diikuti dengan menikmati bersama masakan Indonesia. Saya tercengang. Kalau sedang melakukan kolaborasi di luar negeri, saya memang selalu minta istri saya memasak makanan Indonesia, paling tidak satu kali, untuk seluruh pendukung. Awalnya, saya tidak sadar bahwa proses bisa bertambah efektif kalau dilakukan lewat makanan. Tapi, setelah beberapa kali kejadian, saya menjadikannya sebagai tradisi.
Dengan menodong dapur ibu-ibu Indonesiahanya ada sekitar 50 orang Indonesia waktu itu di Beogradbumbu masak dikumpulkan. Satu keluarga sedang bersiap hendak kembali ke Tanah Air karena masa tugas sudah selesai. Mereka masih punya sisa-sisa bumbu, sehingga pesta makanan Indonesia itu mudah dilaksanakan. Seluruh pendukung pertunjukan kemudian duduk di lantai pentas dan mengganyang mi, nasi goreng, serta sayuran menu Indonesia.
Semuanya begitu lahap, tanda mereka haus pada rasa yang baru, sehingga "jualan" tandas. Bahkan, karena belum puas, mereka mendesak agar diselenggarakan sekali lagi, kalau perlu dengan sumbangan biaya dari mereka. Dan memang akhirnya kami laksanakan sekali lagi menjelang pertunjukan.
Makan bersama yang biasa dilakukan sebagai semacam selamatan untuk mengawali atau mengakhiri sebuah proses begitu lumrah dalam teater tradisi. Kalau ditempatkan sebagai keharusan, apalagi dengan persyaratan tertentu, mungkin hanya akan menjadi seremoni mahal. Tetapi, kalau nilai kebersamaannya yang diangkat, sementara bentuknya diserahkan kepada situasi yang adasebagaimana dijelaskan oleh konsep desa, kala, patra (tempat, waktu, keadaan) di Balimakan bersama itu menjadi persiapan untuk mengentak bersama, menjadi bagian dari latihan.
Mladen pernah tercengang ketika mengejar saya dengan pertanyaan yang muncul di benaknya sesudah membaca buku Charlie Chaplin tentang Bali. Menurut Chaplin, orang Bali tidak mengenal kata terima kasih dan maaf. Lalu, ia bertanya setengah menggugat, apa itu betul. Saya jawab: itu betul. Tapi itu terjadi karena, bagi tradisi Bali, maaf dan terima kasih itu tidak diucapkan, tetapi dilakukan.
Memberi bukanlah pula sesuatu yang istimewa sehingga harus dibayar dengan terima kasih. Memberi adalah kewajiban setiap orang kepada orang lain. Dan yang lebih penting, dalam satu kelompok yang padu, hak seseorang tidak dipertahankan oleh yang punya, tetapi dijaga oleh orang lain. Dengan cara seperti itu, memanjat layar dan sebagainya di panggung tidak usah takut jatuh, karena yang lain selalu akan menjaga keselamatan yang bersangkutan, tanpa diminta.
Mladen tersenyum mendengar itu. Ia menganggap itu sesuatu yang baru dan ingin diketahuinya lebih lanjut. Di situ saya mendapat peluang masuk ke dalam hati mereka, bukan lewat bentuk, bukan dengan menjadikan mereka Jawa, Bali, atau Indonesia terlebih dahulu. Mereka tetap warga teater Beograd, hanya ceritanya yang berbeda.
Perlahan-lahan kebijakan-kebijakan dalam seni tradisi Indonesia, khususnya Bali yang paling saya kenal, saya jual. Saya ajak mereka melihat, pada dasarnya pikiran yang dikandung oleh kekayaan tradisi itu adalah pembebasan. Membebaskan manusia dari berbagai keterbatasannya. Untuk memindahkan lokasi adegan, misalnya, teater tradisi tidak akan mengubah set. Cukup dengan berputar seperti dalam lenong. Sekarang itu banyak dipakai sebagai gaya di dalam teater modern.
Saya menghindari pendekatan tradisi lewat bentuk-bentuknya, sehingga pola gerak atau corak kostum, misalnya, tidak membatasi. Dengan begitu, tradisi tidak terhidangkan sebagai menu yang angker, tetapi sebagai semacam makanan ringan dalam bungkus plastik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo