MEMILIKI kendaraan pribadi masih merupakan alat jual tampang
utama di negeri ini. Keberhasilan seorang pengusaha kerap
dilihat dari sedan merk apa yang dia pakai dan berapa banyak. Di
tengah anjuran berhemat-hemat, seorang pejabat pemerintah
terkadang merasa kurang berwibawa kalau di garase rumahnya tak
menumpuk 2 atau 3 buah mobil pribadi: untuk berleha-leha, untuk
anak-anak dan untuk sang nyonya pergi arisan. Apa boleh buat.
Tapi semakin ruwetnya lalulintas di Jakarta tak hanya karena
terbatasnya biaya untuk menambah jalur jalan. Juga lantaran
semakin bertambahnya jumlah kendaraan pribadi wrga ibukota ini.
Dari para pengusaha perakitan mobil tak malu-malu menyodorkan
angka: bahwa dari produksi mereka hingga akhir tahun 1974, mobil
sedan rmasih merupakan barang dagangan yang paling banyak
ditelan pasaran. Dari pihak lain, produksi kendaraan umum yang
bernama bis -- dengan kendaraan mana diharapkan mobil-mobil
pribadi melapangkan kesesakan jalan di Jakarta -masih
memunculkan angka-angka kecil.
Para pengusaha perakitan mobil umumnya setuju memperbanyak
produksi dan pemakaian bis kota. Tapi menurut mereka menambah
jumlah bis kota harus dibarengi pula dengan penambahan jalur
jalan. Yang masih mereka khawatirkan adalah bisnis bis kota
belum begitu mantap, terutama tentang tarif dan biaya operasi.
Selain itu, mengurangi produksi mobil penumpang (sedan) tak
begitu saja dapat memecahkan kemacetan lalulintas di Jakarta.
Masalahnya, kata seorang usahawan mobil, tidak semua jalan dapat
dilalui bis kota. Lebih dari itu para penumpang yang duduk dalam
bis belum merasa dirinya aman begitu saja. Supir bis kota suka
berlari seenaknya, di samping harus menjaga diri dari desakan
penumpang yang bagaikan tak pernah cukup itu.
Berbagai akal nampaknya selalu dicari. Mulai dari mengotak-atik
rambu-rambu lalulintas sampai dengan menambah jalur-jalur jalan
baru. Namun Hukum Malthus tampaknya muncul dalam perkara ini:
jumlah kendaraan berkembang bagaikan deret ukur, sementara
sarana jalan seperti deret hitung. Menurut catatan Kepolisian
Komdak Metro Jaya di tahun lalu, terbilang 488.719 buah
kendaraan bermotor memadati lalulintas -- Jakarta di atas jalan
yang cuma 1.593 km. Setiap tahun jumlah itu bertambah 12%-14%
sementara penambahan jaringan jalan hanya 4,2%. Angka ini belum
terhitung- kendaraan milik ABRI -- yang konon tak boleh
diumumkan secara terang-terangan -- dan CD. Dari jumlah tadi
mobil pribadi (sedan) terhitung 152.536 buah, dengan pertambahan
sekitar 20.000 buah pertahun. Dengan angka ini tak salah kalau
jumlah kendaraan pribadi itu merupakan biang utama kemacetan
lalulintas di Jakarta. Bahkan dari hasil penelitian menunjukkan:
lebih separo dari 4.769. 045 perjalanan dalam sehari-semalam di
Jakarta dilakukan dengan menggunakan alat bukan angkutan umum,
yaitu kendaraan pribadi.
Bisakah Jakarta menghentikan atau mengurangi jumlah mobil-mobil
pribadi itu? Tampaknya masih sulit. Sebab Gubernur Ali Sadikin
bersama DPRD DKI pernah menaikkan tarif SWP3D untuk menggencet
para pemilik kendaraan pribadi agar tak tertarik dengan mobil
serupa itu. Ternyata langkah ini tak berhasil. Angka
pertambahannya menanjak terus dari tahun ke tahun. Menurut
Soekotjo, Wakil Ketua Badan Pertimbangan Lalulintas DKI yang
bersama Selle, seorang ahli dari Jerman Barat melakukan survey
terhadap lalulintas di Ibukota ini: bagaimana pun pajak
ditinggikan, toh akhirnya orang masih ingin membeli mobil. Sebab
pajak cuma dipungut sekali setahun dan orang bisa menabung, kata
Soekotjo. "Tak salah kan kalau orang membeli atau memiliki
mobil", ucapnya. Karena itu ia kurang setuju dengan fikiran
untuk mengurangi apalagi menyetop pemilikan mobil pribadi. Namun
ia berpendapat bahwa kendaraan jenis inilah yang memegang andil
utama dalam kemacetan-kemacetan di jalan-jalan raya Jakarta.
Yang perlu dicari, bagaimana cara membikin orang berfikir 2-3
kali sebelum mengeluarkan mobilnya dari garasi, lanjut Soekotjo.
Menurut dia, boleh dicontoh Eropa atau AS: menaikkan harga
bensin dan mewajibkan pemilik kendaraan untuk mengasuransikan
kendaraannya. Kedua cara ini, katanya, harus berlaku secara
nasional dan dibarengi dengan menggiatkan dieselisasi kendaraan
angkutan umum agar terhindar dari beban kenaikan harga bensin.
Tapi Soekotjo mengakui kelemahan cara ini. Solo dan Jakarta
berbeda ucapnya. Kota di Jawa Tengah itu belum mengalami masalah
lalulintas seperti halnya Jakarta. Walaupun demikian, dengan
adanya Badan Pertimbangan Lalulintas di DKI -- yang hanya
satu-satunya di negara kawasan ASEAN -- pemikiran ke arah
pemecahan lebih lanjut sudah dimulai. Setidak-tidaknya dalam
bentuk konsep dasar.
Sementara menunggu konsep sebenarnya, dari pihak Pemerintah
Pusat sudah terlihat keinginan untuk membatasi jumlah kendaraan
pribadi itu. "Pemerintah mengarahkan lebih banyak produksi
kendaraan komersiil (truk, bis dan pick up) dari pada mobil
sedan", ucap ir. Soehartojo, Dirjen Industri Logam dan Mesin
dari Departemen Perindustrian. Ucapan ini secara merangkak mulai
menampakkan kenyataan, setidak-tidaknya demikianlah di atas
kertas: dari seluruh hasil perakitan tahun 1975 yang berjumlah
78.873 buah, ada 45.022 di antaranya dari jenis komersiil,
sementara sisanya terdiri dari sedan, jeep dan sejenisnya.
Pemerintah belum puas, tambah Soehartojo, karena itu: pemerintah
merangsangnya dengan keringanan bea msuk bagi CKD komersiil --
20% untuk CKD komersiD dan 50.% untuk CKD sedan.
Sekurang-kurangnya itulah harapan, jika sekiranya nafsu penduduk
Ibukota ini dapat juga dikurangi untuk memiliki mobil sendiri.
Namun pasti bahwa dalam waktu yang dekat ini kekusutan
lalulintas belum berujung juga. Sebab dari pihak lain misalnya:
Jalan H. Rangkayo Rasuna Said alias Jalan Kuningan semula memang
direncanakan untuk mengatasi kepadatan lalulintas di Jalan
Jenderal Sudirman dan Jalan Thamrin ternyata belum memberi hasil
sebagai diharapkan. Selain Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan
Thamrin tetap berjubel, ternyata kemacetan beralih ke kawasan
Menteng. Ini diakui Partomuan Harahap, Kepala DLLAJR DKI
Jakarta: pada jam-jam sibuk daerah Menteng (Jakarta Pusat)
dimasuki 16.111 buah kendaraan bermotor setiap jamnya. Dari
jumlah ini, menurut Partomuan, 11.140 buah di antaranya keluar
lagi, sementara sisanya tetap tinggal di kawasan itu.
Hasil penelitian team survey lalulintas jalan raya pimpinan
Selle dan Soekotjo menunjukkan: jalan Jenderal Sudirman
merupakan jalan terpadat lalulintasnya. Diketahui: antara jam
05.00 pagi sampai jam 22.00 terjadi 62.480 trip menuju arah
utara, dan 36.000 menuju arah selatan (Kebayoran Baru).Keadaan
seperti inilah yang menimbulkan kemacetan-kemacetan di jalan
utama berikutnya, Jalan Thamrin. Ternyata kemacetan yang akan
dicegah jalan Rasuna Said yang terbentang dari jalan Gatot
Subroto di selatan sampai Imam Bonjol di utaranya itu, malah
berpindah ke kawasan Menteng, terutama di sekitar Jalan Imam
Bonjol/Jalan Diponegoro dan berlanjut di jalan sekitar patung
Pak Tani/Merdeka Timur. Sementara lancarnya lalulintas di Jalan
Sudirman/Thamrin bukan karena adanya jalan Kuningan tadi. Tapi
karena dihilangkannya beberapa bundaran. Tentu saja orang pun
menilai bahwa pengaturan lalu-lintas sekarang ini hanya
memindahkan kemacetan-kemacetan. Betulkah?
Seninya Di sini
"Yang jelas kita sudah punya jalan baru", uar Letkol Polisi
Putera Astaman, Kepala Polisi Lalulintas Komdak Metro Jaya.
"Untuk mendidik kebiasaan masyarakat menggunakan sesuatu jalan
baru, memang diperlukan sedikit paksaan pada awal mulanya".
Menurut Astaman, "jika orang sudah merasakan keuntungan
menggunakan jalan baru, tanpa paksaan pun ia akan memakai jalan
itu". Dan Mayor Polisi Koesnan Arief, Kepala Bagian Operasi
Polantas memperkuat Astaman. "Orang perlu dipaksa untuk
mengambil sesuatu arah, agar kelancaran lalu-lintas terjamin".
Kedua pejabat Polantas tersebut agaknya ingin meyakinkan bahwa
pindahnya kemacetan-kemacetan lalulintas itu karena masih belum
sukanya para pemakai kendaraan bermotor menggunakan jalan baru
itu. Atau mereka belum mau menggubris petunjuk-petunjuk
Polantas. Keadaan seperti itu biasanya disebut, "kurangnya
disiplin pemakai kendaraan". Boleh jadi begitu. Tapi bukankah
hal itu akibat pengaturan lalulintas yang bersifat coba-coba?
"Tidak", bantah Putera Astaman. "Pengaturan lalulintas di
Jakarta bukannya bersifat coba-coba". Namun, ia mengakui juga
bahwa fihak Polantas belum memiliki pola untuk pengaturan jangka
panjang. Itu berarti, "jangan heran kalau setiap saat saudara
akan melihat perobahan-perobahan di Jalan Thamrin atau di mana
pun", seperti dikatakan Syariful Alaml juru bicara DKI
itu.Menurut Astaman, pola pengaturan itu menunggu hasil riset
oleh ahli-ahli Jerman Barat. Yang dilakukan sekarang ini adalah
memecahkan persoalan-persoalan aktuil yang timbul. "Seninya di
sini. Sulitnya mengatur dengan situasi keterbatasan
macam-macam", kata Astaman, yang tampaknya menghibur diri.
Adapun hasil riset ahli-ahli Jerman Barat yang dimaksud Astaman,
tentunya hasil team study pimpinan Selle-Soekotjo tadi. Team ini
sudah hampir 2 tahun lalu menyelesaikan penelitiannya. Sebuah
buku tebal penuh peta-peta dan tabel-tabel, rapi nangkring di
meja Soekotjo di kantornya di jalan Jenderal Sudirman tak jauh
dari Senayan itu. Tapi dengan riset yang dilakukan selama 2
tahun sampai Juli 1974 itu, menurut Soekotjo, "baru permulaan
langkah saja". Karena, "setelah study ini masih harus dilakukan
study-study lanjutannya". Berarti masih harus ditunggu
pengaturan lalulintas yang rapi berdasarkan sualu pola seperti
dimaksud Putera Astaman
MESKI hegitu, menurut Soekotjo perombakan-perombakan jalan
Thamrin, "sesuai dengan idea yang dikemukakan team riset". Ia
menunjuk bundaran-bundaran itu. "Sehab bundaran-bundaran akan
mengurangi kapasitas jumlah kenderaan yang lewat", ujar Soekotjo
yang pekan-pekan terakhir.Mei lalu amat sibuk melakukan
negosiasi dengan team LN perihal angkutan Umum. "Perombakan
itu sesuai dengan jalan fikiran bahwa lalu-lintas sama dengan
air. Ia tak boleh banyak menemui hambatan atau jalan buntu.
Harus mengalir, harus jalan terus". enurut Soekotjo, merombak
jalan Thamrin, jalan Perapatan (sekitar patung Pah Tani)
merupakan "usaha maksimal yang bisa dilakukan DKI buat
melancarkan lalulintas". Ia menolak anggapan bahwa terjadinya
kemacetan di kawasan Menteng, sebagai pindahan dari Thamrin.
Sebab menurut Soekotjo, "Jalan Raya Kuningan belum selesai
seluruhnya", tanpa menyebutkan apa-apa saja yang belum selesai
itu.
Juga kemacetan-kemacetan di Jalan Medan Merdeka Timur, terutama
jalur timurnya. Meski menurut teorinya, dengan adanya perobahan
di jalan Perapatan, sekitar patung Pak Tani, kemacetan tak perlu
terjadi. Tapi justru kemacetan makin menjadi-jadi di sana. Hari
Senin minggu lalu misalnya, kenderaan sedikitnya 6 deret, antri
mulai perempatan itu sampai muka Gereja Emmanuel depan stasiun
Gambir. Meski dengan adanya larangan parkir di sepanjang tepi
jalur jalan sempit tersebut, kelaziman macet dan semrawutnya
lalulintas pada saat-saat masuk dan pulang sekolah, sudah agak
berkurang. Itupun kalau ditongkrongi oleh sedikitnya 3 orang
Polantas, seperti terlihat Rabu pagi minggu lalu. Dan Soekotjo
cuma melontarkan komentar: "Di daerah sekitar patung Pak Tani
itu tak ada pertambahan kapasitas" .
Lantas orang itupun bertanya-tanya apa gerangan biang sebabnya.
Secara serempak jawaban akan keluar sejak dari Gubernur Ali
Sadikin sampai Partomuan Harahap dan Syariful Alam: terbatasnya
biaya untuk membangun sarana jalan. Dan semua akan saling
berebut menyebutkan hal-hal berikut disertai angka-angka jumlah
kenderaan bermotor yang besar, pertambahan jumlah tersebut yang
tinggi setiap tahunnya, dibanding keadaan yang tak seimbang
dengan pertambahan sarana jalan yang bisa disediakan.
Dan Soekotjo yang tentunya tak bermaksud membela DKI, menyebut.
"apa yang dilakukan DKI adalah maksimal". Ia dengan mudah
mengemukakan angka-angka lumayan mencengangkan bab biaya yang
dibutuhkan buat sarana jalan di DKI itu. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukannya bersama Selle, "betapa pun besarnya
investasi untuk jalan raya, tak akan mengejar pertambahan
kendaraan itu. Apalagi dalam prakteknya memang sangat terbatas".
Sampai tahun 2000, menurut Sekotjo, Jakarta membutuhkan
investasi untuk bidang lalulintas sebesar US$ 2900 juta. Tak
usah dulu bicara buat jangka waktu begitu jauh. Tapi ambil saja
untuk periode 1975- 1980. Tak kurang dari US$ 593 juta
diperlukan DKI Berarti per tahunnya US$ 119 juta atau Rp 49
milyar.
Melihat angka-angka yang membikin nanar mata itu, ke mana lagi
DKI berpaling kalau bukan ke pusat. Tapi ternyata bagaimanapun
cara DKI menggedor pusat tak pernah merasa enggan untuk
memberinya walaupun sedikit saja. Tahun 1973 misalnya sewaktu
meresmikan pelebaran jalan Gunung Sahari dalam rangka Pelita,
Ali Sadikin sudah meneriakkan tuntutan bantuan pusat sebesar Rp
27,5 milyar. Bahkan dengan disertai gertakan segala. "Kalau
pemerintah pusat tak membantu normalisasi dan up grading jalan
di Jakarta dalam Pelita II, pengaruhnya akan fatal (TEMPO,28
April 1973). Toh apa yang diberikan pusat amat irit sekali.
Selama Pelita atau sejak 1969/1970 sampai dengan 1976/1977
untuk membangun jalan dan jembatan, DKI telah mengeluarkan
uang sekitar Rp.60 Milyar. Dari jumlah uang tersebut sekitar
Rp 27 milyar dikeluarkan dari kocek DKI sendiri lewat
APBD-nya, selitar Rp 16 milyar lebih dari Badan Pelaksana
Pembangunan Proyek MHT (Bappem) dalam rangka perbaikan kampung,
sedang bantuan pusat lewat APBN PUTL dan Inpres Dati II
masing-masing sekitar Rp 11 milyar dan Rp 5 milyar. Bahkan untuk
jalan Kuningan yang baru selesai itu, pusat cuma bisa
menomboknya sedikit kurang dari separuhnya, yakni Rp 2,03
milyar. Itu pun disertai komentar Menteri Sutami, "suka atau
tidak, Jakarta adalah ibukota negara kita yang harus dibenahi
sebaik mungkin". Bagi Ali Sadikin bukan soal suka dan tidak
suka. Yang penting bagaimana ia memecahkan persoalan tumpukan
kenderaan bermotor yang besar di atas jalan raya yang kerdil.
Tampaknya pemerintah pusat sudah menyadari besarnya biaya yang
diperlukan DKI untuk membangun sarana jalan. Hingga Ketua
Bappenas Prof. Widjojo Nitisastro telah menyetujui pengadaan
toll road (pajak jalan) di jalan-jalan tertentu di Jakarta
sebagai usaha pengumpulan dana untuk mengembalikan biaya yang
telah dikeluarkan buat pembangunan jalan yang jumlahnya besar
itu.
Namun demikian, hantu kekhawatiran semakin buruk dan ruwetnya
lalulintas di DKI Jakarta, tetap mengancam. Hingga serempak
dengan semua usaha itu, Gubernur Ali Sadikin dengan seluruh
aparatnya di bidang lalulintas terus mengotak-atik usaha-usaha
yang selama ini telah dijalankan. Pembersihan beca misalnya,
nyaris sukses besar. Dari sekitar 150.000 beca ketika proklamasi
DBB (daerah bebas beca) 1 Desember 1971 dimulai, kini tinggal
12.930 saja lagi. Hingga jelas akan meringankan tugas Polantas
yang jumlahnya cuma 1.417 orang itu (termasuk Tenggerang). Dan
penyingkiran oplet-oplet tua.
Juga usaha penertiban parkir (lihat box). Dengan adanya PT
Parkir Jaya, menurut Astaman dan Soekotjo sudah merupakan
langkah baik, namun masih belum terasa membantu melancarkan
lalulintas. "Prinsip perparkiran adalah melancarkan lalulintas",
ujar Soekotjo. Bukan sebaliknya, malah menyita jalan-jalan,
hingga memacetkan lalulintas. Karena itu perusahaan parkir mesti
lebih gesit mencari pihak swasta yang bersedia membangun tempat
parkir khusus. Sebab aneh, bila itu PT tak berhasil
mendapatkannya, padahal kabarnya usaha bidang ini cukup
menguntungkan.
Meningkatkan jumlah angkutan umum, tampaknya sudah harus melirik
kembali ke arah kereta listrik atau disel. Menurut ir. Soetarno,
Kepala Eksploitasi Barat PJKA, "mengharapkan kereta api sebagai
tulang punggung angkutan umum yang mesti menampung 5% jumlah
penumpang di Jakarta, merupakan separo khayal". Tapi toh mesti
digarap. Atau membangun subway atau kereta bawah tanah dan
monorail yang terletak di atas jalan raya menurut Soetarno,
membutuhkan investasi ratusan milyar. Tapi tampaknya DKI
berketetapan hati untuk melaksanakan rencananya ini. Kabarnya
September nanti akan jadi kenyataan. Ketimbang mengandalkan bis
kota yang bila ditambah jumlahnya jadi 4000 buah pun, akan tetap
membuat macet lalulintas bahkan makin menjadi-jadi. Karena
Jakarta memang tak bakal mampu menyediakan sarana jalannya.
Namun ini tetap perlu sambil menerawang memimpikan membangun
fly-over, sistim blok dan sel jalan-jalan dan bagaimana mencari
biaya buat menambah jalan. Siapa tahu, suatu waktu jadi
kenyataan. Meski sekarang masih macet: sabar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini