Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menembus kemacetan lalu lintas ...

Masalah kemacetan lalu lintas di jakarta, disebabkan ketidak seimbangan antara pertambahan sarana jalan dengan jumlah kendaraan bermotor. berbagai alternatif dicoba untuk mengurangi kemacetan. (kt)

12 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMILIKI kendaraan pribadi masih merupakan alat jual tampang utama di negeri ini. Keberhasilan seorang pengusaha kerap dilihat dari sedan merk apa yang dia pakai dan berapa banyak. Di tengah anjuran berhemat-hemat, seorang pejabat pemerintah terkadang merasa kurang berwibawa kalau di garase rumahnya tak menumpuk 2 atau 3 buah mobil pribadi: untuk berleha-leha, untuk anak-anak dan untuk sang nyonya pergi arisan. Apa boleh buat. Tapi semakin ruwetnya lalulintas di Jakarta tak hanya karena terbatasnya biaya untuk menambah jalur jalan. Juga lantaran semakin bertambahnya jumlah kendaraan pribadi wrga ibukota ini. Dari para pengusaha perakitan mobil tak malu-malu menyodorkan angka: bahwa dari produksi mereka hingga akhir tahun 1974, mobil sedan rmasih merupakan barang dagangan yang paling banyak ditelan pasaran. Dari pihak lain, produksi kendaraan umum yang bernama bis -- dengan kendaraan mana diharapkan mobil-mobil pribadi melapangkan kesesakan jalan di Jakarta -masih memunculkan angka-angka kecil. Para pengusaha perakitan mobil umumnya setuju memperbanyak produksi dan pemakaian bis kota. Tapi menurut mereka menambah jumlah bis kota harus dibarengi pula dengan penambahan jalur jalan. Yang masih mereka khawatirkan adalah bisnis bis kota belum begitu mantap, terutama tentang tarif dan biaya operasi. Selain itu, mengurangi produksi mobil penumpang (sedan) tak begitu saja dapat memecahkan kemacetan lalulintas di Jakarta. Masalahnya, kata seorang usahawan mobil, tidak semua jalan dapat dilalui bis kota. Lebih dari itu para penumpang yang duduk dalam bis belum merasa dirinya aman begitu saja. Supir bis kota suka berlari seenaknya, di samping harus menjaga diri dari desakan penumpang yang bagaikan tak pernah cukup itu. Berbagai akal nampaknya selalu dicari. Mulai dari mengotak-atik rambu-rambu lalulintas sampai dengan menambah jalur-jalur jalan baru. Namun Hukum Malthus tampaknya muncul dalam perkara ini: jumlah kendaraan berkembang bagaikan deret ukur, sementara sarana jalan seperti deret hitung. Menurut catatan Kepolisian Komdak Metro Jaya di tahun lalu, terbilang 488.719 buah kendaraan bermotor memadati lalulintas -- Jakarta di atas jalan yang cuma 1.593 km. Setiap tahun jumlah itu bertambah 12%-14% sementara penambahan jaringan jalan hanya 4,2%. Angka ini belum terhitung- kendaraan milik ABRI -- yang konon tak boleh diumumkan secara terang-terangan -- dan CD. Dari jumlah tadi mobil pribadi (sedan) terhitung 152.536 buah, dengan pertambahan sekitar 20.000 buah pertahun. Dengan angka ini tak salah kalau jumlah kendaraan pribadi itu merupakan biang utama kemacetan lalulintas di Jakarta. Bahkan dari hasil penelitian menunjukkan: lebih separo dari 4.769. 045 perjalanan dalam sehari-semalam di Jakarta dilakukan dengan menggunakan alat bukan angkutan umum, yaitu kendaraan pribadi. Bisakah Jakarta menghentikan atau mengurangi jumlah mobil-mobil pribadi itu? Tampaknya masih sulit. Sebab Gubernur Ali Sadikin bersama DPRD DKI pernah menaikkan tarif SWP3D untuk menggencet para pemilik kendaraan pribadi agar tak tertarik dengan mobil serupa itu. Ternyata langkah ini tak berhasil. Angka pertambahannya menanjak terus dari tahun ke tahun. Menurut Soekotjo, Wakil Ketua Badan Pertimbangan Lalulintas DKI yang bersama Selle, seorang ahli dari Jerman Barat melakukan survey terhadap lalulintas di Ibukota ini: bagaimana pun pajak ditinggikan, toh akhirnya orang masih ingin membeli mobil. Sebab pajak cuma dipungut sekali setahun dan orang bisa menabung, kata Soekotjo. "Tak salah kan kalau orang membeli atau memiliki mobil", ucapnya. Karena itu ia kurang setuju dengan fikiran untuk mengurangi apalagi menyetop pemilikan mobil pribadi. Namun ia berpendapat bahwa kendaraan jenis inilah yang memegang andil utama dalam kemacetan-kemacetan di jalan-jalan raya Jakarta. Yang perlu dicari, bagaimana cara membikin orang berfikir 2-3 kali sebelum mengeluarkan mobilnya dari garasi, lanjut Soekotjo. Menurut dia, boleh dicontoh Eropa atau AS: menaikkan harga bensin dan mewajibkan pemilik kendaraan untuk mengasuransikan kendaraannya. Kedua cara ini, katanya, harus berlaku secara nasional dan dibarengi dengan menggiatkan dieselisasi kendaraan angkutan umum agar terhindar dari beban kenaikan harga bensin. Tapi Soekotjo mengakui kelemahan cara ini. Solo dan Jakarta berbeda ucapnya. Kota di Jawa Tengah itu belum mengalami masalah lalulintas seperti halnya Jakarta. Walaupun demikian, dengan adanya Badan Pertimbangan Lalulintas di DKI -- yang hanya satu-satunya di negara kawasan ASEAN -- pemikiran ke arah pemecahan lebih lanjut sudah dimulai. Setidak-tidaknya dalam bentuk konsep dasar. Sementara menunggu konsep sebenarnya, dari pihak Pemerintah Pusat sudah terlihat keinginan untuk membatasi jumlah kendaraan pribadi itu. "Pemerintah mengarahkan lebih banyak produksi kendaraan komersiil (truk, bis dan pick up) dari pada mobil sedan", ucap ir. Soehartojo, Dirjen Industri Logam dan Mesin dari Departemen Perindustrian. Ucapan ini secara merangkak mulai menampakkan kenyataan, setidak-tidaknya demikianlah di atas kertas: dari seluruh hasil perakitan tahun 1975 yang berjumlah 78.873 buah, ada 45.022 di antaranya dari jenis komersiil, sementara sisanya terdiri dari sedan, jeep dan sejenisnya. Pemerintah belum puas, tambah Soehartojo, karena itu: pemerintah merangsangnya dengan keringanan bea msuk bagi CKD komersiil -- 20% untuk CKD komersiD dan 50.% untuk CKD sedan. Sekurang-kurangnya itulah harapan, jika sekiranya nafsu penduduk Ibukota ini dapat juga dikurangi untuk memiliki mobil sendiri. Namun pasti bahwa dalam waktu yang dekat ini kekusutan lalulintas belum berujung juga. Sebab dari pihak lain misalnya: Jalan H. Rangkayo Rasuna Said alias Jalan Kuningan semula memang direncanakan untuk mengatasi kepadatan lalulintas di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Thamrin ternyata belum memberi hasil sebagai diharapkan. Selain Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Thamrin tetap berjubel, ternyata kemacetan beralih ke kawasan Menteng. Ini diakui Partomuan Harahap, Kepala DLLAJR DKI Jakarta: pada jam-jam sibuk daerah Menteng (Jakarta Pusat) dimasuki 16.111 buah kendaraan bermotor setiap jamnya. Dari jumlah ini, menurut Partomuan, 11.140 buah di antaranya keluar lagi, sementara sisanya tetap tinggal di kawasan itu. Hasil penelitian team survey lalulintas jalan raya pimpinan Selle dan Soekotjo menunjukkan: jalan Jenderal Sudirman merupakan jalan terpadat lalulintasnya. Diketahui: antara jam 05.00 pagi sampai jam 22.00 terjadi 62.480 trip menuju arah utara, dan 36.000 menuju arah selatan (Kebayoran Baru).Keadaan seperti inilah yang menimbulkan kemacetan-kemacetan di jalan utama berikutnya, Jalan Thamrin. Ternyata kemacetan yang akan dicegah jalan Rasuna Said yang terbentang dari jalan Gatot Subroto di selatan sampai Imam Bonjol di utaranya itu, malah berpindah ke kawasan Menteng, terutama di sekitar Jalan Imam Bonjol/Jalan Diponegoro dan berlanjut di jalan sekitar patung Pak Tani/Merdeka Timur. Sementara lancarnya lalulintas di Jalan Sudirman/Thamrin bukan karena adanya jalan Kuningan tadi. Tapi karena dihilangkannya beberapa bundaran. Tentu saja orang pun menilai bahwa pengaturan lalu-lintas sekarang ini hanya memindahkan kemacetan-kemacetan. Betulkah? Seninya Di sini "Yang jelas kita sudah punya jalan baru", uar Letkol Polisi Putera Astaman, Kepala Polisi Lalulintas Komdak Metro Jaya. "Untuk mendidik kebiasaan masyarakat menggunakan sesuatu jalan baru, memang diperlukan sedikit paksaan pada awal mulanya". Menurut Astaman, "jika orang sudah merasakan keuntungan menggunakan jalan baru, tanpa paksaan pun ia akan memakai jalan itu". Dan Mayor Polisi Koesnan Arief, Kepala Bagian Operasi Polantas memperkuat Astaman. "Orang perlu dipaksa untuk mengambil sesuatu arah, agar kelancaran lalu-lintas terjamin". Kedua pejabat Polantas tersebut agaknya ingin meyakinkan bahwa pindahnya kemacetan-kemacetan lalulintas itu karena masih belum sukanya para pemakai kendaraan bermotor menggunakan jalan baru itu. Atau mereka belum mau menggubris petunjuk-petunjuk Polantas. Keadaan seperti itu biasanya disebut, "kurangnya disiplin pemakai kendaraan". Boleh jadi begitu. Tapi bukankah hal itu akibat pengaturan lalulintas yang bersifat coba-coba? "Tidak", bantah Putera Astaman. "Pengaturan lalulintas di Jakarta bukannya bersifat coba-coba". Namun, ia mengakui juga bahwa fihak Polantas belum memiliki pola untuk pengaturan jangka panjang. Itu berarti, "jangan heran kalau setiap saat saudara akan melihat perobahan-perobahan di Jalan Thamrin atau di mana pun", seperti dikatakan Syariful Alaml juru bicara DKI itu.Menurut Astaman, pola pengaturan itu menunggu hasil riset oleh ahli-ahli Jerman Barat. Yang dilakukan sekarang ini adalah memecahkan persoalan-persoalan aktuil yang timbul. "Seninya di sini. Sulitnya mengatur dengan situasi keterbatasan macam-macam", kata Astaman, yang tampaknya menghibur diri. Adapun hasil riset ahli-ahli Jerman Barat yang dimaksud Astaman, tentunya hasil team study pimpinan Selle-Soekotjo tadi. Team ini sudah hampir 2 tahun lalu menyelesaikan penelitiannya. Sebuah buku tebal penuh peta-peta dan tabel-tabel, rapi nangkring di meja Soekotjo di kantornya di jalan Jenderal Sudirman tak jauh dari Senayan itu. Tapi dengan riset yang dilakukan selama 2 tahun sampai Juli 1974 itu, menurut Soekotjo, "baru permulaan langkah saja". Karena, "setelah study ini masih harus dilakukan study-study lanjutannya". Berarti masih harus ditunggu pengaturan lalulintas yang rapi berdasarkan sualu pola seperti dimaksud Putera Astaman MESKI hegitu, menurut Soekotjo perombakan-perombakan jalan Thamrin, "sesuai dengan idea yang dikemukakan team riset". Ia menunjuk bundaran-bundaran itu. "Sehab bundaran-bundaran akan mengurangi kapasitas jumlah kenderaan yang lewat", ujar Soekotjo yang pekan-pekan terakhir.Mei lalu amat sibuk melakukan negosiasi dengan team LN perihal angkutan Umum. "Perombakan itu sesuai dengan jalan fikiran bahwa lalu-lintas sama dengan air. Ia tak boleh banyak menemui hambatan atau jalan buntu. Harus mengalir, harus jalan terus". enurut Soekotjo, merombak jalan Thamrin, jalan Perapatan (sekitar patung Pah Tani) merupakan "usaha maksimal yang bisa dilakukan DKI buat melancarkan lalulintas". Ia menolak anggapan bahwa terjadinya kemacetan di kawasan Menteng, sebagai pindahan dari Thamrin. Sebab menurut Soekotjo, "Jalan Raya Kuningan belum selesai seluruhnya", tanpa menyebutkan apa-apa saja yang belum selesai itu. Juga kemacetan-kemacetan di Jalan Medan Merdeka Timur, terutama jalur timurnya. Meski menurut teorinya, dengan adanya perobahan di jalan Perapatan, sekitar patung Pak Tani, kemacetan tak perlu terjadi. Tapi justru kemacetan makin menjadi-jadi di sana. Hari Senin minggu lalu misalnya, kenderaan sedikitnya 6 deret, antri mulai perempatan itu sampai muka Gereja Emmanuel depan stasiun Gambir. Meski dengan adanya larangan parkir di sepanjang tepi jalur jalan sempit tersebut, kelaziman macet dan semrawutnya lalulintas pada saat-saat masuk dan pulang sekolah, sudah agak berkurang. Itupun kalau ditongkrongi oleh sedikitnya 3 orang Polantas, seperti terlihat Rabu pagi minggu lalu. Dan Soekotjo cuma melontarkan komentar: "Di daerah sekitar patung Pak Tani itu tak ada pertambahan kapasitas" . Lantas orang itupun bertanya-tanya apa gerangan biang sebabnya. Secara serempak jawaban akan keluar sejak dari Gubernur Ali Sadikin sampai Partomuan Harahap dan Syariful Alam: terbatasnya biaya untuk membangun sarana jalan. Dan semua akan saling berebut menyebutkan hal-hal berikut disertai angka-angka jumlah kenderaan bermotor yang besar, pertambahan jumlah tersebut yang tinggi setiap tahunnya, dibanding keadaan yang tak seimbang dengan pertambahan sarana jalan yang bisa disediakan. Dan Soekotjo yang tentunya tak bermaksud membela DKI, menyebut. "apa yang dilakukan DKI adalah maksimal". Ia dengan mudah mengemukakan angka-angka lumayan mencengangkan bab biaya yang dibutuhkan buat sarana jalan di DKI itu. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya bersama Selle, "betapa pun besarnya investasi untuk jalan raya, tak akan mengejar pertambahan kendaraan itu. Apalagi dalam prakteknya memang sangat terbatas". Sampai tahun 2000, menurut Sekotjo, Jakarta membutuhkan investasi untuk bidang lalulintas sebesar US$ 2900 juta. Tak usah dulu bicara buat jangka waktu begitu jauh. Tapi ambil saja untuk periode 1975- 1980. Tak kurang dari US$ 593 juta diperlukan DKI Berarti per tahunnya US$ 119 juta atau Rp 49 milyar. Melihat angka-angka yang membikin nanar mata itu, ke mana lagi DKI berpaling kalau bukan ke pusat. Tapi ternyata bagaimanapun cara DKI menggedor pusat tak pernah merasa enggan untuk memberinya walaupun sedikit saja. Tahun 1973 misalnya sewaktu meresmikan pelebaran jalan Gunung Sahari dalam rangka Pelita, Ali Sadikin sudah meneriakkan tuntutan bantuan pusat sebesar Rp 27,5 milyar. Bahkan dengan disertai gertakan segala. "Kalau pemerintah pusat tak membantu normalisasi dan up grading jalan di Jakarta dalam Pelita II, pengaruhnya akan fatal (TEMPO,28 April 1973). Toh apa yang diberikan pusat amat irit sekali. Selama Pelita atau sejak 1969/1970 sampai dengan 1976/1977 untuk membangun jalan dan jembatan, DKI telah mengeluarkan uang sekitar Rp.60 Milyar. Dari jumlah uang tersebut sekitar Rp 27 milyar dikeluarkan dari kocek DKI sendiri lewat APBD-nya, selitar Rp 16 milyar lebih dari Badan Pelaksana Pembangunan Proyek MHT (Bappem) dalam rangka perbaikan kampung, sedang bantuan pusat lewat APBN PUTL dan Inpres Dati II masing-masing sekitar Rp 11 milyar dan Rp 5 milyar. Bahkan untuk jalan Kuningan yang baru selesai itu, pusat cuma bisa menomboknya sedikit kurang dari separuhnya, yakni Rp 2,03 milyar. Itu pun disertai komentar Menteri Sutami, "suka atau tidak, Jakarta adalah ibukota negara kita yang harus dibenahi sebaik mungkin". Bagi Ali Sadikin bukan soal suka dan tidak suka. Yang penting bagaimana ia memecahkan persoalan tumpukan kenderaan bermotor yang besar di atas jalan raya yang kerdil. Tampaknya pemerintah pusat sudah menyadari besarnya biaya yang diperlukan DKI untuk membangun sarana jalan. Hingga Ketua Bappenas Prof. Widjojo Nitisastro telah menyetujui pengadaan toll road (pajak jalan) di jalan-jalan tertentu di Jakarta sebagai usaha pengumpulan dana untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan buat pembangunan jalan yang jumlahnya besar itu. Namun demikian, hantu kekhawatiran semakin buruk dan ruwetnya lalulintas di DKI Jakarta, tetap mengancam. Hingga serempak dengan semua usaha itu, Gubernur Ali Sadikin dengan seluruh aparatnya di bidang lalulintas terus mengotak-atik usaha-usaha yang selama ini telah dijalankan. Pembersihan beca misalnya, nyaris sukses besar. Dari sekitar 150.000 beca ketika proklamasi DBB (daerah bebas beca) 1 Desember 1971 dimulai, kini tinggal 12.930 saja lagi. Hingga jelas akan meringankan tugas Polantas yang jumlahnya cuma 1.417 orang itu (termasuk Tenggerang). Dan penyingkiran oplet-oplet tua. Juga usaha penertiban parkir (lihat box). Dengan adanya PT Parkir Jaya, menurut Astaman dan Soekotjo sudah merupakan langkah baik, namun masih belum terasa membantu melancarkan lalulintas. "Prinsip perparkiran adalah melancarkan lalulintas", ujar Soekotjo. Bukan sebaliknya, malah menyita jalan-jalan, hingga memacetkan lalulintas. Karena itu perusahaan parkir mesti lebih gesit mencari pihak swasta yang bersedia membangun tempat parkir khusus. Sebab aneh, bila itu PT tak berhasil mendapatkannya, padahal kabarnya usaha bidang ini cukup menguntungkan. Meningkatkan jumlah angkutan umum, tampaknya sudah harus melirik kembali ke arah kereta listrik atau disel. Menurut ir. Soetarno, Kepala Eksploitasi Barat PJKA, "mengharapkan kereta api sebagai tulang punggung angkutan umum yang mesti menampung 5% jumlah penumpang di Jakarta, merupakan separo khayal". Tapi toh mesti digarap. Atau membangun subway atau kereta bawah tanah dan monorail yang terletak di atas jalan raya menurut Soetarno, membutuhkan investasi ratusan milyar. Tapi tampaknya DKI berketetapan hati untuk melaksanakan rencananya ini. Kabarnya September nanti akan jadi kenyataan. Ketimbang mengandalkan bis kota yang bila ditambah jumlahnya jadi 4000 buah pun, akan tetap membuat macet lalulintas bahkan makin menjadi-jadi. Karena Jakarta memang tak bakal mampu menyediakan sarana jalannya. Namun ini tetap perlu sambil menerawang memimpikan membangun fly-over, sistim blok dan sel jalan-jalan dan bagaimana mencari biaya buat menambah jalan. Siapa tahu, suatu waktu jadi kenyataan. Meski sekarang masih macet: sabar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus