SAMBIL sebentar melupakan perbandingan antara panjang jalan
dengan penambahan jumlah kendaraan orang berpaling ke soal
bagaimana memarkir kendeaaan. Sebab panjang jalan yang memang
tak panjang itu menjadi makin terasa sempit oleh kenderaan yang
diparkir malang-melintang. Lihat saja. Jalan Gunung Sahari ke
arah Senen cukup senggang. Tapi jika malam hari, pada saat
bubaran bioskop Ramayana, dua jalur di muka bioskop
itu--sepanjang lebih 100 meter--sudah terisi mobil parkir. Apa
boleh buat. Lebih-lebih lagi di malam.Minggu, arus kendaraan
dari Bina Ria akan macet di sana. Ini akibat luapan pemarkiran
mobil yang tak tertampung di halaman parkir bioskop yang memang
sempitnya bukan main. Begitu pula arus lalulintas dari arah
Pintu Besar Selatan dan Pinangsia menuju jalan Hayam Wuruk,
terutama pada jam sibuk selalu macet di muka pusat pertokoan
Glodok Baru. Jalan cukup lebar, cuma sebagian sudah terisi mobil
berhenti. Di pusat perdagangan yang sibuk ini tak ada
kemungkinan memarkir kenderaan, selain melintang 90% di jalanan.
Pusat perdagangan di Pasar Pagi, yang jalannya cuma muat dua
mobil, separoh sudah tak berarti jalan lagi. Begitu juga
kenderaan para penonton bioskop Jayakarta, Jalan Hayam Wuruk,
terpaksa diparkir tiga lapis paralel dengan jalan di sana. Belum
lagi di muka sekolah yang murid-muridnya banyak memakai
kendaraan pribadi untuk antar jemput--seperti sekolah Cikini dan
SMA IV & VII di depan stasiun Gambir.
Akan hal ini Bambang Widjanarko, Direktur Utama PT Parkir Jaya,
berkesimpulan: 90% kenderaan diparkir di sisi jalan. Artinya
cuma sekian persen saja yang tertampung di halaman (taman)
parkir khusus. Dan "pada prinsipnya semua kenderaan yang
berhenti dan parkir di tepi jalan mengganggu kelancaran
lalulintas", tulis Bambang Widjanarko ketika memberikan bahan
pada Musyawarah Antar Kotapraja di Surabaya awal tahun lalu.
Maka pada jalan-jalan tertentu dipasanglah tanda larangan
berhenti & parkir. Sepanjang Kramat Raya, terutama di muka
toko-toko onderdil mobil, menjadi daerah bebas parkir (artinya:
dilarang parkir). Jalan itu kini longgar. Tapi ke mana perginya
mobil-mobil pembelanja onderdil? Terpaksa jalan-jalan sempit
yang masuk dari Kramat Raya bertambah sempit oleh mobil yang
parkir di sana. "Mana bising lagi", keluh seorang penghuni rumah
di jalan sempit itu. Memindahkan kemacetan dari jalan raya ke
lorong-lorong sekitarnya? Betul. Tapi karena jalan sempit itu
tidak begitu penting artinya bagi kelancaran lalulintas pada
umumnya, "jadi pemindahan parkir itu tidak mengganggu--tidak
terlalu mengganggu seperti sebelumnya", kata Putera Astaman,
Kepala Polisi Lalulintas Jakarta.
Tapi tidak dapat terus-terusan begitu. Apalagi jika cara
pemarkirannya melintang 45% atau malah 90%. Paling tidak,
sebelum menetapkan bebas parkir samasekali pada jalan tertentu,
"parkir di sisi jalan harus sejajar dengan jalan", ujar
Partomuan Harahap, Kepala DLLAJR DKI. Ini agar tidak menyita
terlalu banyak jalan untuk jalur lalulintas hidup. Walaupun bagi
juru parkir ini mungkin berarti kerugian. Sebab penghasilan
mereka jadi berkurang. Tak apa.
Mengusulkan bagaimana caranya melancarkan lalulintas, terutama
yang disebabkan oleh cara parkir yang semrawut, berbagai fihak
sependapat: memperbanyak tanda larangan parkir di jalan
tertentu. Lalu untuk menampungnya, baik Pemerintah DKI maupun
instansi lainnya, berpendapat, baik untuk memulai membuat tempat
parkir khusus. Di samping sisi jalan tertentu yang masih mungkin
untuk parkir sejajar, juga perlu tempat parkir khusus: gedung
parkir dan taman parkir.
Tahun 1973 Gubernur Ali Sadikin telah mengutus seregu peneliti,
yang dipimpin oleh Bambang Widjanarko, untuk mencari pengetahuan
tentang seluk beluk parkir di Singapura. Salah satu hasilnya,
Bambang Widjanarko mengusulkan agar di Jakarta ini dibuat
tempat-tempat parkir khusus. Di Singapura, katanya, yang menurut
penelitian waktu itu jumlah kenderaannya tidak sampai 300 ribu
buah, telah banyak fasilitas parkirnya. Dengan modal sekitar 2,5
juta dolar (1964), pemerintah telah mempunyai gedung parkir
delapan tingkat. Lalulintas lancar dan ternyata ada keuntungan
lain: dari gedung ini pemerintah memperoleh keuntungan lebih
dari Rp 1 milyar setahun. Pengusaha swasta boleh ikut bekerja.
Tahun itu ada 57 tempat parkir milik swasta. Parkir di sisi
jalan banyak dilarang. Kalaupun di daerah tertentu yang mungkin
pemarkir dibebani biaya parkir jam-jaman yang mahal. Pemilik
toko besar, hotel, perkantoran dan bioskop, diwajibkan membangun
tempat parkir sendiri. Pengusaha bioskop misalnya, harus
menyediakan tempat parkir satu mobil untuk empat tempat duduk
penonton yang tersedia. Semua ini di Singapura. Di kota singa
ini juga sejak 1 tahun belakangan ditetapkan ketentuan: pada
jam-jam sibuk mobil-mobil pribadi harus mengangkut 4 orang
penumpang, tak boleh si tauke enak-enak sendirian. Tapi selain
ketat mengatur jalur-jalur taksi -- yang tak boleh parkir itu --
Singapura dengan rajinnya menambah jumlah bis kota.
Di Jakarta model begitu telah ada tapi masih jauh dari cukup.
Misalnya Proyek Senen, Bioskop Jakarta dan beberapa gedung
perkantoran. Tapi tempat padat seperti disebutkan di atas--
Jalan Hayam Wuruk, Glodok atau Pasar Baru -- "sedang difikirkan
untuk dibuat tempat parkir khusus", kata Syariful Alam Kepala
Humas DKI. Itu baru rencana, "belum sampai difikirkan bagaimana
pelaksanaannya nanti". Cuma Putera Astaman berpesan: "Kalau di
Pasar Baru, misalnya sudah dibuat tempat parkir khusus, harus
dipaksakan kepada masyarakat agar tidak memarkir kendaraannya
sekitar radius 1 kilometer. Kalau tidak, itu akan merugikan
pengelola tempat parkir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini