Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengais Daging di Komisi Tulang

Uji kepatutan dan kelayakan di parlemen jadi ladang menambang uang haram. Rasuah telah jadi hal yang jamak.

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG politikus senior Senayan meledek kawannya, politikus muda. Sang senior—sudah malang melintang di Dewan Perwakilan Rakyat sejak 1999—menyebut saat ini Komisi Pengawasan Keuangan tinggal kulit ber­balut tulang. ”Daging” milik badan yang dulu bernama Komisi Ke­uangan dan Perbankan itu sudah habis ”disan­tap” anggota Dewan periode 1999-2004.

Saat ini, kata dia, tak ada lagi penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sesi bagi-bagi fulus menjelang uji kepatutan pejabat perbankan juga tak segencar dulu—takut dipergoki Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Teman-teman sekarang sibuk mengais-ngais daging,” kata si senior tertawa.

Suap di kalangan Dewan memang te­lanjur dianggap lazim. Ada uang, ada barang. Ada pemberi, ada penerima. Seorang petinggi perbankan mengaku pernah terkejut karena ada anggota Dewan yang terang-terangan meminta uang untuk melicinkan jalan agar dia menjadi petinggi Bank Indonesia. ”Saya menolak. Ini merusak kredibilitas saya dan bank sentral,” ujarnya.

Dalam bursa Gubernur Bank Indonesia Maret 2008, aroma suap juga tercium. Anggota Dewan disebut-sebut tak hanya meminta rasuah untuk mengegolkan calon tertentu, tapi juga menerima suap untuk menggagalkan calon yang lain.

Ketika itu pemerintah mengajukan dua calon untuk menggantikan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah yang sudah habis masa jabatannya pada 31 Mei 2008. Keduanya adalah Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo dan Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset Raden Pardede. Keduanya ditolak Dewan. Dalam pemungutan suara yang diikuti 50 dari 51 anggota Komisi Ke­uangan dan Perbankan, 29 orang menolak kedua calon, 21 orang memilih Agus Martowardojo, serta tak seorang pun memilih Raden Pardede. Pemerintah akhirnya mengajukan calon lain, yakni Budiono, yang kala itu adalah Menteri Koordinator Perekonomian, yang kemudian terpilih menjadi petinggi bank sentral.

Sumber Tempo yang dekat dengan Agus menyebutkan, sejak awal ada sinyal permintaan agar Agus ”mencipratkan” fulus supaya ia mulus ke kursi Gubernur Bank Indonesia. ”Mereka (anggota Dewan) mengirim pesan agar Agus main mata dengan para cukong supaya menyiram uang ke Senayan,” kata sumber itu. Agus menolak.

Di lain pihak, ada kelompok lain di Bank Indonesia yang memang tak ingin Agus melaju ke kursi bank sentral. Penyebabnya sederhana: si penggagal yang merasa lebih senior daripada Agus tak ingin punya atasan ”anak kemarin sore”. Fulus kabarnya disiram untuk proyek penggagalan ini. Tak jelas berapa jumlahnya.

Dituding, anggota Dewan balik menuding. Kala itu beredar pesan pendek yang menyebutkan Agus Martowardojo menggerojokkan uang Rp 100 miliar. Disebut-sebut uang itu sudah dikirim ke anggota badan legislatif. Misbach Hidayat, salah seorang anggota Dewan, meradang atas tudingan itu. ”Ini mencoreng muka kami,” katanya.

Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan Awal Kusumah bahkan menantang Agus bersumpah di bawah Quran. Adapun Agus membantah jika dikatakan telah menyuap ataupun mengirimkan pesan pendek tersebut. ”Saya tak pernah kirim SMS itu,” kata Agus kala itu.

l l l

RASUAH kabarnya juga terjadi saat uji kepatutan dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia 2003. Kala itu Burhanuddin Abdullah terpilih sebagai gubernur bank sentral (2003-2008) menggantikan Syahril Sabirin. Selain Burhanuddin, Presiden mengajukan Miranda Goeltom dan Cyrillus Harinowo sebagai kandidat. Persaingan ketat terjadi antara Burhanuddin dan Miranda. Saat pemilihan di Dewan, Burhanuddin mendapat 34 suara, Miranda 18 suara, dan Cyrillus kosong.

Desas-desus tentang suap beredar kencang ketika itu. Sumber Tempo menyebutkan seorang kandidat berani memberikan Rp 600 juta kepada seorang anggota badan legislatif. Separuh fulus dibayar di muka, sisanya setelah si kandidat resmi terpilih.

Setelah kesepakatan rasuah itu tercapai, anggota Dewan tinggal ongkang-ongkang kaki. Beberapa dari mereka merasa tak perlu datang ke acara uji kepatutan. Baru nanti di acara ­voting, mereka mencoblos sesuai dengan pesanan. Karena itu, di antara anggota Dewan, acara fit and proper test sering dipelesetkan menjadi fee and property test.

Cerita ini tampaknya sejalan dengan pengakuan Agus Condro. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuang­an itu menyatakan pernah mendapat Rp 500 juta dari Miranda Goeltom agar guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu terpilih menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.

Persoalannya: jika tudingan suap di Dewan itu benar, dari mana si kandidat mendapatkan uang? Dugaan sementara: dari para cukong. Grup usaha atau bos bank yang menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional punya kepentingan untuk menanam orangnya di bank sentral. Tujuannya agar Gubernur Bank Indonesia yang ia sokong membuat aturan yang memungkin­kan bos itu memiliki kembali bank yang sudah dijual atau digadaikan ke Badan Penyehatan akibat krisis 1998.

Miranda menolak berkomentar ihwal sejumlah tudingan yang saat ini dialamatkan kepadanya. ”Saya belum mau memberikan tanggapan,” katanya. Burhanuddin hingga akhir pekan lalu belum bisa dimintai konfirmasi. Tapi, pada banyak kesempatan, ia berkali-kali membantah. Katanya, ”Saya tak mau melakukan hal seperti itu.”

AZ, Sunudyantoro, Wahyu Dyatmika, Sahala Lumbanraja, Bunga Manggiasih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus