Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dokter Rusia tanpa Stetoskop

Kementerian Kesehatan menyatakan terjadi kelangkaan dokter spesialis. Akan digaji saat menempuh pendidikan khusus.

15 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MERI Hawa meregang nyawa. Dalam kondisi kritis, tubuh rengsa perempuan 79 tahun itu diangkut ambulans membelah jalan berliku di Wolowaru, Ende, Nusa Tenggara Timur, untuk menemui dokter spesialis saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Maumere. Pada pertengahan Desember 2022, pasien Rumah Sakit St. Antonius Jopu, Ende, itu mengalami stroke hemoragik.

“Kondisinya sudah buruk. Masalahnya, di sini tidak ada dokter spesialis penyakit saraf,” kata Maria Goretti Aran, Direktur Rumah Sakit Antonius Jopu, saat dihubungi pada Jumat, 13 Januari lalu.

Goretti setengah hati merujuk warga Desa Jopu itu ke RSUD Maumere. Dari rumah sakit yang terletak di kaki Gunung Kelimutu itu, Meri harus menempuh jarak sekitar 70 kilometer. Namun keluarganya berkukuh memboyong dia ke RSUD Maumere untuk mendapatkan perawatan dari dokter spesialis saraf dan penyakit dalam.

Kekhawatiran Goretti terbukti. Pada perjalanan yang belum habis, tubuh rungkuh Meri berhenti melawan sakit. Matanya mengatup dan napasnya terhenti. “Saya sedikit tenang karena keluarga sudah menerima kenyataan,” ujar Goretti, dokter umum yang telah 13 tahun bertugas di Rumah Sakit Antonius Jopu.

Goretti meyakini, Meri bisa saja berumur lebih lama jika ada dokter spesialis dan fasilitas yang mumpuni. Namun dokter spesialis yang datang ke sana hanya berstatus pinjaman dari RSUD Ende dan RSUD Maumere. Mereka melawat sekali sebulan karena jauhnya jarak. Bidangnya pun terbatas, yaitu penyakit dalam, obstetri dan ginekologi atau obgyn, anestesi, dan anak.

Ketika pasien yang membutuhkan dokter spesialis membeludak, Goretti dan tenaga kesehatan lain pasti kewalahan. Dengan jumlah ambulans terbatas, hanya dua unit, mereka harus mengantar pasien ke rumah sakit rujukan. 

Goretti berupaya mencari dokter spesialis yang mau bekerja di Antonius Jopu. Ia bertanya ke sejumlah koleganya hingga ke pemerintah daerah. Belakangan, ada sejumlah dokter yang bersedia mengikuti pendidikan spesialis. “Tapi mereka gagal saat tes masuk,” kata biarawati itu.

Baca: Geliat Dokter Mengedukasi Publik soal Covid-19 Lewat Medsos

Bukan hanya Antonius Jopu yang tipis jumlah dokter spesialis. Data Kementerian Kesehatan pada Desember 2022 menunjukkan ada 647 rumah sakit umum daerah yang belum memiliki tujuh dokter spesialis anak, obgyn, penyakit dalam, bedah, radiologi, patologi klinis, dan saraf.

Kelangkaan dokter spesialis acap disinggung oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Pada akhir November 2022, setelah mengisi taklimat mahasiswa dan alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Budi menemui dekan dan para dosen di kampus tersebut.

Budi menyentil Kampus Biru yang tak punya program studi spesialis paru-paru serta bedah toraks, kardiak, dan vaskular (BTKV)—dua spesialis paling dibutuhkan saat pandemi Covid-19. UGM kalah oleh beberapa kampus negeri lain. “Pak Menkes berharap pembukaan prodi paru dan BTKV dipercepat,” tutur Dekan Fakultas Kedokteran UGM Yodi Mahendradhata kepada Tempo.

Sehari setelah mengisi acara di UGM, Budi menggelar makan malam di rumah dinasnya bersama dengan pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan sejumlah organisasi profesi lain. Dalam persamuhan itu, ia menyampaikan gap rasio kebutuhan dan ketersediaan dokter spesialis. Budi mengatakan Indonesia defisit 150 ribu dokter—di antaranya dokter spesialis.

Ketua Umum IAI Noffendri Roestam, yang hadir dalam pertemuan itu, bercerita, Menteri Budi mengungkapkan kebutuhan 270 ribu dokter. Indonesia baru punya 120 ribu medikus, 54 ribu di antaranya dokter spesialis. Budi juga menekankan minimnya dokter spesialis jantung. Padahal penyakit jantung menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia.

“Menkes bicara tentang pemenuhan kebutuhan dokter spesialis, terutama jantung, dan bagaimana menyiapkan pelayanan operasi bedah jantung di beberapa kabupaten dan kota,” ujar Noffendri pada Kamis, 12 Januari lalu.

Namun Ikatan Dokter Indonesia menyangkal pernyataan Budi mengenai cekaknya jumlah dokter spesialis. Wakil Ketua Pengurus Besar IDI Slamet Budiarto mengatakan baru 17 persen dokter spesialis yang terserap. “Pemerintah tidak bisa menyerap semua, kok woro-woro kekurangan dokter,” ucapnya.

Baca: Manuver Dokter Terawan Melawan Pemecatan oleh IDI

Rencana menambal rumpangnya kebutuhan dokter spesialis mulai berjalan tengah tahun lalu. Pada Juli 2022, Menteri Budi Gunadi Sadikin serta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim meneken surat keputusan bersama. Isinya mengatur penambahan kuota penerimaan program dokter spesialis agar kebutuhannya tercukupi dalam 14 tahun ke depan.

Mereka juga bersepakat membuka beasiswa program pendidikan dokter spesialis untuk seribu peserta. “Tiap tahun akan dihasilkan sekitar 4.000 dokter spesialis dengan berbagai spesialisasi,” kata pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam.

Di kalangan dokter, Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang tengah dibahas di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dianggap sebagai pintu masuk pemerintah merombak semua urusan kesehatan. Termasuk sistem pendidikan, pemberian izin praktik, dan distribusi dokter.

Melalui omnibus law kesehatan, Kementerian Kesehatan berencana memangkas rantai panjang penerbitan surat tanda registrasi, mempermudah izin praktik, dan mengembalikan basis pendidikan dokter spesialis ke rumah sakit. Dokter residen yang kini mengeluarkan duit besar untuk menempuh pendidikan spesialis pun akan mendapat gaji layaknya di luar negeri.

Kementerian Kesehatan juga berjanji mempermulus proses masuknya dokter diaspora yang selama ini sulit bekerja di Indonesia. “Yang akan diprioritaskan pemerintah adalah memudahkan diaspora atau orang Indonesia yang berpendidikan kedokteran di luar negeri untuk bisa beradaptasi dan masuk,” tutur Budi dalam wawancara khusus dengan Tempo, akhir tahun lalu. 

Sejumlah dokter diaspora yang ditemui Tempo mengaku menggantungkan harapan pada kaul pemerintah tersebut. Untuk membuka praktik di Tanah Air, dokter diaspora mesti mengurus penyetaraan ijazah hingga menjalani masa adaptasi untuk mengintegrasikan kurikulum. Mereka berharap proses ini tak berbelit-belit.

Baca: Bagaimana Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Berburu Diaspora Indonesia

Seorang dokter spesialis ortopedi dan traumatologi lulusan universitas di Rusia mengaku pernah mengupayakan mendapat izin praktik di Indonesia. Kembali ke Indonesia pada Desember 2015, ia sempat menyerahkan dokumen penyetaraan dan adaptasi dokter spesialis ke Kementerian Pendidikan. Namun ia tak melanjutkan prosesnya karena merasa aturannya tak jelas.

“Teman-teman saya juga menunggu lama untuk mendapat izin praktik,” katanya. Dokter spesialis berusia 34 tahun itu kini banting setir menjadi pegawai asuransi. Di tengah kelangkaan dokter spesialis di Indonesia, ia masih berharap bisa menggunakan stetoskop lagi dan kembali melayani pasien.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, EGI ADYATAMA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus