Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menghapus ribuan konten tentang vaksinasi yang dianggap keliru karena mengganggu program vaksinasi.
Masyarakat termakan isu vaksin Covid-19 bisa membuat meninggal.
Akibat penanganan kejadian ikutan pasca-imunisasi tak transparan.
DENGAN cepat video itu menyebar dari grup ke grup WhatsApp di Kecamatan Dungek, Sumenep, Jawa Timur, pada Rabu, 22 September lalu. Berdurasi sekitar sepuluh detik, video menampilkan seorang pria yang mengalami kejang-kejang di Pusat Kesehatan Masyarakat Dungkek. Narasi video itu menjelaskan bahwa orang tersebut mengalami kejang-kejang setelah mendapatkan vaksin Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski petugas puskesmas yang merawat pasien tersebut sudah menjelaskan bahwa pasien mengalami kejang karena diare dan demam, penduduk yang sudah menonton video itu tetap percaya si pasien mengalami kejang akibat vaksin. Gara-gara video itu, disusul pelbagai berita lain mengenai vaksinasi, penduduk Dungek ramai-ramai menolak disuntik vaksin Covid-19. “Dampaknya luar biasa,” kata juru bicara Kepolisian Resor Sumenep, Ajun Komisaris Widiarti, pada Jumat, 24 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi lalu memburu penyebar pertama video itu. Polisi mencokok Muhammad Dari, warga Desa Romben Guna, Kecamatan Dungek. Ia kepala dusun di desa tersebut. Sadar telah keliru menyebarkan video tak jelas itu, Dari meminta maaf di hadapan polisi.
Di Sumenep, bukan kali itu saja polisi kerepotan menangani penyebaran kabar palsu mengenai vaksinasi Covid-19. Pada Juli lalu, polisi menciduk Muksi, warga Kecamatan Gapura, yang menyebarkan video seorang perempuan meninggal setelah mendapatkan vaksin corona. Tak seperti Dari yang kemudian dilepas, Muksi dijerat polisi dengan Pasal 45A ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman hukumannya maksimal enam tahun penjara.
Tak hanya mencokok penyebar video, polisi juga menangkap mereka yang dianggap menimbulkan kegaduhan karena menulis komentar di media sosial yang menolak vaksin. Pada Agustus lalu, polisi Indramayu, Jawa Barat, menangkap Ravie Iskandar setelah dia mengomentari anjuran Bupati Indramayu Nina Agustina di Instagram agar masyarakat segera divaksin.
“Vaksin apa? Kementerian Kesehatan aja tidak mewajibkan vaksin? Vaksin enggak guna, bikin rakyat sengsara karena sandiwara para petinggi negara,” tulis akun @ravie_iskandar di kolom komentar akun @IndramayuTerkini pada 10 Agustus 2021. Sepuluh hari kemudian, polisi menangkap Ravie di Cikarang Selatan, Bekasi, Jawa Barat.
Kepada polisi, Ravie mengatakan komentarnya dilatari kekecewaan kepada pemerintah yang menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). “Dia menjadi tidak bebas beraktivitas,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Indramayu Ajun Komisaris Luthfi Olot Gigantara.
Menurut juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, pemerintah sudah menduga bakal marak kabar palsu mengenai vaksinasi dan gerakan sekelompok masyarakat yang menolak vaksin sejak program vaksinasi dimulai pada awal tahun ini. Dari survei Kementerian Kesehatan dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada November 2020, dua bulan sebelum vaksinasi Covid-19 dimulai, ada 8 persen responden yang menolak vaksin.
Survei melibatkan 115 ribu responden di 34 provinsi. Responden yang menolak vaksin mengajukan berbagai alasan. Sebanyak 30 persen, misalnya, tak yakin dengan keamanan vaksin, 22 persen tidak yakin vaksin efektif mencegah infeksi Covid-19, 12 persen takut efek samping vaksin, dan 13 persen tidak percaya kepada vaksin.
Sadar bakal ada resistansi, Nadia mengatakan, pemerintah berupaya menggunakan berbagai media kampanye dan mensosialisasi pentingnya vaksin. Meski begitu, ia tak memungkiri masih banyak masyarakat yang menolak. “Banyak masyarakat yang termakan hoaks vaksin,” kata Nadia.
Sepanjang Oktober 2020-23 September 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat ada 2.148 konten berita palsu mengenai vaksinasi di berbagai platform media sosial. Paling banyak di Facebook sebanyak 1.970 konten, lalu Twitter 105 konten, Instagram 11 konten, YouTube 43 konten, sisanya di TikTok. “Semua konten itu telah kami hapus,” ucap Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate pada Kamis, 23 September lalu.
Tak hanya mencatat kabar miring yang menyesatkan tentang vaksin, Kementerian Komunikasi juga menjaring 4.803 konten di media sosial yang mengandung informasi keliru mengenai Covid-19. Kementerian telah menghapus sekitar 97 persen konten-konten tersebut. “Polisi memeriksa 767 kasus hoaks Covid-19,” tutur Johnny.
Rahman Riadi. http://www.sumenepkab.go.id/
Konten-konten yang ragu akan vaksin, informasi salah tentang Covid-19, hingga informasi keliru mengenai efek samping vaksin berpengaruh pada program vaksinasi Covid-19 yang sedang gencar digeber pemerintah. Sufian, tenaga kesehatan di Sumenep, mengeluh masyarakat mencibir program vaksinasi yang ia laksanakan. “Umumnya mereka menolak vaksin karena takut mati akibat menerima berita dari media sosial,” ujarnya.
Walhasil, Sumenep menjadi kabupaten nomor dua terendah dalam capaian vaksinasi Covid-19 dosis pertama. Hingga 24 September 2021 pukul 18.00, Kementerian Kesehatan mencatat vaksinasi Covid-19 dosis pertama di Sumenep baru 14,5 persen. Dari 38 kabupaten di Jawa Timur, Pamekasan menempati urutan daerah paling rendah dalam partisipasi vaksinasi.
Juru bicara Satuan Tugas Covid-19 Sumenep, Rahman Riadi, mengatakan lembaganya sudah mengerahkan berbagai upaya agar angka capaian vaksinasi naik. Para petugas gencar mengedukasi pentingnya vaksin untuk mencegah infeksi Covid-19 atau mengurangi dampak buruk virus corona. Satgas bahkan menawarkan undian berhadiah sepeda bagi penduduk yang mau disuntik. “Tetap kurang berhasil,” ujarnya, Kamis, 23 September lalu.
Satgas Covid-19 juga menggunakan jalur keagamaan dengan meminta bantuan para ulama di seantero Sumenep agar berceramah meminta penduduk datang ke puskesmas. Saban hari, Bupati Sumenep Achmad Fauzi sowan kepada kiai-kiai di pesantren untuk meminta bantuan agar mensosialisasi manfaat vaksinasi dalam mencegah penularan Covid-19.
Selain meminta bantuan pesantren, Satgas Covid-19 Sumenep menggandeng banyak lembaga, seperti kampus dan organisasi kemasyarakatan, untuk menyukseskan vaksinasi. Menurut Rahman, Satgas Covid-19 Sumenep mengejar target vaksinasi hingga 60 persen dari jumlah penduduk. “Jika tercapai, masyarakat bisa lebih longgar beraktivitas,” ucapnya.
Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan tak ada satu pun orang yang meninggal setelah mendapatkan vaksin. Meski begitu, ia mengaku ada 10 orang yang meninggal setelah mendapatkan suntikan vaksin. Tapi, kata Hindra, kematian mereka terjadi akibat riwayat penyakit sebelumnya atau komorbid. Gejala umum setelah divaksin, menurut dia, adalah mual atau muntah, mengantuk, sakit kepala, pusing, dan nyeri di titik suntikan.
Untuk meredam pelbagai berita keliru dan kabar palsu tentang gejala atau efek samping vaksin Covid-19, menurut epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, Komnas KIPI mesti terbuka melaporkan setiap informasi atau aduan masyarakat ihwal kejadian setelah vaksinasi. “Semua data ada, tapi tidak terbuka,” kata Pandu. “Seakan-akan tidak ada KIPI.”
IVANSYAH (INDRAMAYU), MUSTOFA BISRI (SUMENEP)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo