Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Istana disebut-sebut dalam upaya pengambilalihan kursi Ketua Umum Partai Demokrat.
Perpecahan partai kerap bermuara pada dukungan kubu pemenang kepada pemerintah Jokowi.
Dugaan intervensi pertama kali tercium dalam konflik internal Partai Persatuan Pembangunan.
JAKARTA – Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan saat ini sulit untuk tidak mempercayai ada peran Istana dalam upaya pengambilalihan kursi Ketua Umum Partai Demokrat. Berkaca pada konflik internal partai sebelumnya, perpecahan partai kerap bermuara pada dukungan kubu pemenang kepada pemerintah Presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemerintahan Presiden Jokowi memang kental dengan nuansa intervensi terhadap internal parpol,” kata Ujang, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dugaan intervensi itu, kata Ujang, pertama kali tercium pada 2014 saat kalangan internal Partai Persatuan Pembangunan terbelah menjadi dua kubu: Suryadharma Ali dan Romahurmuziy. Dua kubu ini masing-masing menggelar muktamar dan menghasilkan dualisme kepemimpinan antara Djan Faridz dari kubu Suryadharma dan Romahurmuziy.
Tak lama setelah muktamar di Bandung, pada Oktober 2014, kubu Romy bertemu dengan Jokowi dan menyatakan kepengurusannya bergabung dengan koalisi partai pendukung pemerintah. Sementara itu, kubu Suryadharma masih tergabung dalam Koalisi Merah Putih yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden.
Pada 2015, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menerbitkan surat keputusan pengesahan kepengurusan Romahurmuziy. Keputusan itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung yang mengakui kepengurusan kubu Suryadharma. Dualisme kepengurusan berlanjut hingga 2019 ketika kedua blok menyepakati islah untuk mendukung PPP yang dipimpin Suharso Monoarfa hingga saat ini.
Suryadharma Ali bersama Romahurmuziy (kiri) di kantor DPP PPP, 2014. Dokumentasi TEMPO/Seto Wardhana
Presiden Joko Widodo membantah tudingan bahwa dirinya campur tangan dalam partai berlambang Ka’bah ini. “Enggak ada, intervensi apa? Persoalan itu ada di partai masing-masing,” kata Jokowi pada 2015.
Enam tahun lalu, Partai Golkar juga mengalami dualisme kepemimpinan antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Karena situasi itu, pemerintah sempat urung mengesahkan hasil musyawarah nasional partai tersebut pada akhir 2014. Namun, tak sampai enam bulan, sikap itu berubah ketika Menteri Yasonna mengesahkan kepengurusan Agung, yang mengisyaratkan bahwa kubunya akan bergabung ke pemerintahan Jokowi.
Ketegangan mereda karena pengurus partai berlambang pohon beringin itu sepakat bersatu untuk menghadapi pemilihan kepala daerah pada 2015. Tahun berikutnya, musyawarah nasional luar biasa Golkar menyepakati keputusan untuk keluar dari kubu oposisi. Musyawarah tersebut sekaligus memilih Setya Novanto sebagai ketua umum. Isu bahwa Jokowi campur tangan dalam urusan internal Golkar juga berembus saat Munas Partai Golkar, yang memutuskan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum pada Desember 2019. Airlangga merupakan menteri dalam kabinet Jokowi.
Presiden Joko Widodo membantah isu yang menyebutkan bahwa pemerintah mengintervensi urusan Partai Golkar. “Itu urusan internal Golkar. Munas itu urusan internal Golkar, dan sebagai partai besar yang memiliki pengalaman panjang dalam berpolitik, saya kira enggak mungkinlah bisa diintervensi oleh menteri, diintervensi oleh eksternal,” kata Jokowi pada Desember 2019.
Pertengahan tahun lalu, Partai Berkarya juga dilanda perpecahan yang berujung pada pemilihan Muchdi Purwoprandjono sebagai ketua umum menggantikan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Pemilihan dalam musyawarah nasional luar biasa itu disahkan Menteri Yasonna dalam waktu dua pekan setelah acara rampung. Dalam pemilihan presiden pada 2019, Muchdi merupakan pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, berseberangan dengan keputusan Partai Berkarya saat itu, yang mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dalam persoalan di Partai Demokrat, Ujang menyarankan agar Presiden segera membuat klarifikasi bila merasa tidak pernah terlibat dalam urusan internal partai politik. Jika isu ini dibiarkan, publik bisa menganggap bahwa pemerintah Jokowi tidak menginginkan adanya oposisi.
Padahal, kata Ujang, sikap oposisi itu baik untuk menjaga iklim demokrasi. “Jangan sampai diam-diam saja karena publik bisa menganggap rumor yang tidak dibantah menjadi kebenaran,” ujar Ujang.
Dosen di Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, mengatakan Presiden harus bertindak atas tuduhan yang menimpa salah satu orang terdekatnya. Presiden, kata dia, memiliki dua pilihan: memberhentikan Moeldoko atau memintanya mengundurkan diri.
“Jangan sampai apa yang dilakukan Moeldoko itu dianggap sebagai perilaku kekuasaan di bawah pemerintahan Jokowi yang tidak tahan kritik dan bersikap represif terhadap rival politik,” kata Umam.
Pada Senin lalu, sejumlah politikus Demokrat menuding Moeldoko, yang saat ini menjabat Kepala Staf Kepresidenan, melakukan upaya pengambilalihan kepengurusan. Berdasarkan dokumen pemeriksaan yang diperoleh Tempo, Jhoni Allen Marbun—salah satu politikus yang dituding terlibat bersama Moeldoko—menyatakan gerakan tersebut disetujui “Pak Lurah”. Menurut anggota Partai Demokrat, Rachland Nashidik, sebutan “Pak Lurah” itu mengarah pada Jokowi. Kepada Tempo, Rachland mengatakan partainya belum menerima surat balasan dari Jokowi. “Surat itu masih kami tunggu,” ujar dia.
Moeldoko membantah tuduhan bahwa dirinya hendak merebut kursi Ketua Umum Partai Demokrat. Dia berdalih sudah memiliki banyak pekerjaan yang menumpuk. Ia menyebut dirinya bukan siapa-siapa yang dapat menggalang kongres luar biasa untuk merebut Demokrat. Dia mengakui pernah beberapa kali bertemu dengan sejumlah orang dari Partai Demokrat di sejumlah tempat. Namun, kata dia, pertemuan itu tidak pernah membicarakan rencana pembentukan kongres luar biasa.
Moeldoko meminta tindakannya itu tidak dikaitkan dengan Istana. “Jangan ganggu Pak Jokowi, karena dalam hal ini beliau tak tahu-menahu sama sekali,” kata Moeldoko. “Jadi, itu urusan saya, Moeldoko, bukan selaku KSP.”
ROBBY IRFANY | BUDIARTI UTAMI PUTRI | EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo