Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada hubungan simbiosis antara ormas dan pemerintah.
Orde Baru membuat premanisme mengorganisasikan diri ke dalam bentuk yang diterima negara.
Ormas menjadi alat politik dalam berebut kekuasaan, pengaruh, dan kekayaan sumber daya alam.
BENTROKAN anggota Forum Betawi Rempug (FBR) dengan Pemuda Pancasila (PP) di Tangerang, Banten, akhir November 2021, kembali memicu perdebatan mengenai posisi organisasi kemasyarakatan. Kejadian tersebut juga menimbulkan pertanyaan yang lebih luas mengenai aspek kekerasan, kriminalitas, dan konflik politik, yang seolah-olah melekat dengan perilaku personel ormas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada ratusan ribu organisasi sosial di Indonesia. Sebagian besar bergerak secara damai dalam berbagai jenis kegiatan produktif yang berbasis komunitas. Yang menjadi masalah bukanlah organisasi sosial tersebut, aspek kunci masyarakat sipil dan kehidupan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi banyak orang, istilah ormas erat kaitannya dengan jenis organisasi tertentu yang mengadopsi seragam, simbol, struktur, dan perilaku gaya militer. Penampilan ormas semacam ini acap membuat orang asing bingung dengan mengira anggota ormas benar-benar personel militer.
Organisasi-organisasi ini sering mempraktikkan kewenangan kuasi hukum, bertindak sebagai pelindung atau penjaga beragam identitas, komunitas, atau tatanan politik dan ekonomi—baik dalam imajinasi maupun tindakan nyata. Banyak ormas yang mempraktikkan “pengamanan” secara informal yang berujung pemerasan. Tapi ormas juga memiliki sumber daya yang kuat dan kemampuan logistik, sehingga mereka mampu mencapai lokasi bencana alam sebelum lembaga pemerintah tiba.
Ormas memiliki basis keanggotaan yang signifikan, didominasi oleh lelaki pengangguran di perkotaan, demografi sosial yang sering dikaitkan dengan premanisme, dan mampu memobilisasi massa turun ke jalan untuk para sponsor politik ataupun kepentingan proyek tertentu.
Untuk memahami bagaimana ormas paramiliter ini muncul serta mengapa mereka mampu bertahan lama dalam peta sosial-politik Indonesia, kita perlu mempertimbangkan warisan Orde Baru sebagai faktor yang mempengaruhinya.
Rezim Orde Baru beroperasi sebagai sentra jaringan antara patron dan klien. Dalam hal ini, ormas mengatur patronase sebagai imbalan atas dukungan politik untuk kepentingan rezim. Agar bisa melakukan pemerasan secara predator, ormas, milisi, dan preman yang dibekingi pemerintah melaksanakan tugas-tugas rezim, seperti mengintai dan mengintimidasi aktivis, menyelenggarakan demonstrasi pro-pemerintah, dan melakukan berbagai bentuk premanisme politik.
Seiring dengan peran ormas dalam menyelipkan konflik sosio-ekonomi akibat ketimpangan pembangunan ke dalam pola redistribusi berbasis patronase, mereka juga membantu menjegal kemunculan gerakan oposisi sosial.
Kemudian muncul pola represi dan kooptasi preman yang berlanjut hingga hari ini. Penembakan misterius atau petrus pada awal 1980-an, misalnya, menargetkan preman yang tidak terafiliasi, penjahat kecil, dan residivis. Eksekusi ini membuat rakyat takut, dan banyak orang yang menjadi sasaran petrus berduyun-duyun mencari aman di bawah naungan ormas seperti Pemuda Pancasila.
Akibat yang lebih luas adalah konsolidasi lingkungan sosial yang berpotensi mengganggu masyarakat, seperti preman dalam organisasi yang berkaitan dengan elite politik dan militer. Organisasi-organisasi non-negara ini menjadi bagian integral dari pemeliharaan kekuasaan, yang pada akhirnya mengaburkan batas antara “preman” dan “negara”, serta antara kekerasan oleh swasta dan negara.
Tamatnya Orde Baru membawa perubahan bagi ormas. Bukannya menghilang, ormas paramiliter menjadi wahana kontestasi politik dan sosial dalam konteks demokrasi baru. Dari pasukan satuan tugas partai politik hingga ormas yang digerakkan dengan memainkan identitas budaya, sosial, dan agama. Dalam beberapa kasus, ormas baru muncul sebagai “suara” kaum marginal, serta kendaraan bagi mereka untuk mengejar dan mengklaim hak atas penghidupan, meskipun sering kali dengan cara-cara predator dan melalui konflik sosial. Jaringan patronase yang lama terpecah, tapi yang baru bermunculan.
Demokratisasi membuat perebutan kekuasaan dan sumber daya menjadi makin panas di antara pelbagai kepentingan sosial. Di sini, ormas muncul sebagai perantara politik, penggerak, dan tak jarang menjadi penegak kekerasan yang keji.
Dalam hal ini, kita perlu mempertimbangkan kasus Front Pembela Islam. FPI bermula sebagai kelompok hakim jalanan atau street-vigilantes di akhir 1990-an yang dimobilisasi oleh polisi dan militer sebagai bagian dari pasukan kontra-reformasi, Pam Swakarsa. Tahun-tahun pertama FPI diwarnai tindakan kekerasan dan intimidasi. Masyarakat sipil lantas menyerukan agar FPI dibubarkan. Meski demikian, mereka tetap mendapat dukungan elite politik dan aparatur negara.
Ilustrasi Preman/Tempo
Mengapa bisa begitu? Sederhana: FPI memiliki nilai strategis dan instrumental. FPI, kata seorang mantan kepala polisi, adalah “anjing penyerang” yang berguna, terutama untuk menyerang kelompok progresif dan liberal. FPI juga dianggap memiliki kemampuan menangkap ketegangan politik untuk digunakan dalam upaya memecah-belah.
Kemampuan ini dibuktikan dalam demonstrasi besar-besaran melawan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang membuat FPI maju ke garis kampanye Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2019. Secara strategis, tim kampanye bertaruh pada polarisasi agresif identitas agama yang “dijual” oleh FPI, yang dianggap akan efektif dalam merangkul suara pemilih untuk kemenangan.
Setelah Prabowo kalah dan menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet Joko Widodo, FPI dibiarkan begitu saja di belantara politik. FPI tidak lagi dibutuhkan setelah nilai politiknya padam, hanya menyisakan modal politik yang mungkin bisa diperoleh jika mereka dibubarkan. FPI sudah tidak dibutuhkan, dan tidak disukai.
Selama dua dekade, sikap main hakim sendiri, kebrutalan, dan ujaran kebencian oleh FPI “ditoleransi” oleh berbagai pemerintahan. Namun yang menyebabkan FPI—dan Gerakan 212—dijegal justru karena mereka berubah menjadi kekuatan politik oposisi yang tidak terikat pada pelindung elite. Aksi inilah yang dianggap melampaui batas. Tak lama kemudian, tindakan cepat dan keras diambil terhadap FPI.
Nasib serupa tidak mungkin terjadi pada organisasi seperti Pemuda Pancasila, sebuah ormas yang terintegrasi—baik ke dalam jaringan elite maupun sosial dan ekonomi, dan mengartikulasikan politik dan ideologi yang pro-status quo. Insiden kekerasan berkala di tingkat lokal antara PP dan ormas lain, seperti FBR, dalam konteks ini, dapat segera diselesaikan.
Selama masih memberikan kesempatan kepada pemuda terpinggirkan untuk mengakses mobilitas sosial, peluang ekonomi, serta representasi dan kemajuan dalam politik, ormas akan tetap populer dan menawan di mata mereka. Ormas akan terus menjalankan fungsinya untuk menyerap dan mengkooptasi ketegangan sosial, seperti meningkatnya ketimpangan, yang bisa saja berkembang menjadi gerakan sosial dan politik yang akan mengganggu secara lebih luas.
Sejarah dan konteks yang lebih panjang ini penting untuk diingat dalam mempertimbangkan apa yang bisa atau harus dilakukan dalam menangani kasus kekerasan dan eksesif yang dilakukan ormas saat ini.
Pelarangan organisasi tidak banyak berpengaruh pada kepentingan sosial dan ekonomi yang menopang ormas ataupun dinamika politik yang menopang mereka. Pelarangan juga dapat memiliki chilling effect yang luas terhadap demokrasi. Perubahan Undang-Undang Ormas pada 2017 memperluas alasan pelarangan dan memberikan mekanisme jalan pintas bagi pemerintah untuk melakukannya. Tak lagi ditentukan oleh pengadilan, pelarangan ormas kini menjadi wewenang eksekutif Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bisa dibilang, ini membuat ormas lebih rentan terhadap perubahan dinamika politik nasional dan menghasilkan motivasi kuat bagi mereka menyelaraskan agendanya dengan kebijakan pemerintah. Nasib FPI adalah contohnya.
Menegakkan hukum imparsial terhadap tindak pidana ormas, baik secara individu maupun kolektif, sangat penting mengingat sejarah panjang main hakim sendiri di luar hukum, kriminalitas, dan premanisme politik. Namun pendekatan ini memiliki batasan. Sebagai contoh, kecenderungan mengaitkan kekerasan berulang oleh ormas sebagai karya “oknum” telah mengaburkan hubungan struktural yang mereproduksi pelanggaran terkait dengan ormas.
Situasi ini kian parah karena lembaga negara masih cenderung memandang ormas paramiliter sebagai mitra alami dalam hal keamanan dan kepolisian. Wajar saja bagi polisi dan militer menjalin hubungan baik dengan berbagai kelompok sosial. Namun sejumlah ormas paramiliter—termasuk FPI, PP, dan lain-lain—secara rutin diprioritaskan sebagai mitra dalam segala hal: dari rezim keamanan dan perlindungan lokal, protokol Covid-19, program pertahanan militer seperti Bela Negara, sampai dimasukkan ke komponen cadangan Tentara Nasional Indonesia.
Atribut-atribut yang melekat pada ormas sebagai sumber gangguan dan konflik sosial juga menjadi dasar pemberian status khusus kepada mereka. Ini mencerminkan logika politik yang berbeda bahwa cara terbaik untuk mengelola elemen oposisi yang berpotensi mengganggu adalah dengan mengikutsertakan mereka. Seperti yang terjadi di masa Orde Baru, pendekatan ini berisiko melemahkan legitimasi lembaga negara sekaligus melegitimasi dan menormalkan kekerasan yang diprivatisasi di luar hukum.
Jika premanisme merupakan masalah dalam ormas, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendekatan terbaiknya. Ada pendapat bahwa pelatihan kejuruan yang dikombinasikan dengan layanan dukungan sosial akan lebih cocok dalam hal mengatasi beberapa faktor pendorong sosial dan ekonomi dari perilaku premanisme.
Ada perubahan generasi dan demografi yang sedang berlangsung di beberapa ormas, seperti meningkatnya populasi anak muda berpendidikan dari kelas menengah, yang mungkin juga secara bertahap menggeser orientasi dari praktik premanisme ke arah pembentukan start-up atau kapitalisme kewirausahaan dan pandangan politik yang lebih kosmopolitan. Polarisasi pemilihan presiden 2019, misalnya, menjadi saksi keikutsertaan anak muda ke ormas nasionalis sebagai respons terhadap kecemasan atas ancaman terhadap pluralisme Indonesia yang unik, yang dapat berfungsi untuk memperkenalkan nuansa politik.
Kenyataan saat ini adalah ancaman melarang peningkatan penegakan hukum tidak akan mengubah ekonomi politik luas yang menopang ormas paramiliter ataupun hubungan mereka dengan para elite politik. Dalam hal ini, ormas—kata Ketua Pemuda Pancasila Yapto Soerjosoemarno—tetap “tidak disukai” oleh publik yang bosan dengan ekses terkait dengan ormas. Namun ormas tetap “dibutuhkan” dalam permainan ketika kekuasaan, kekayaan, dan sumber daya diperebutkan dan didistribusikan. Dengan demikian, ormas akan tetap menjadi fitur lanskap politik Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo