Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak ketidakpastian dalam pengembangan PLTS atap.
Regulasi anyar yang ditunggu pelaku industri dibahas ulang.
Tekanan besar bagi PLN.
COCA-COLA Europacific Partners Indonesia tengah sibuk memperkuat struktur atap bangunan pabriknya di Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Perusahaan hasil merger Coca-Cola Amatil dengan Coca-Cola European Partners ini berniat membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangkit ini akan menjadi proyek hijau perusahaan berikutnya, setelah PLTS atap seluas 72 ribu meter persegi dengan kapasitas puncak 7,13 megawatt terpasang di pabrik di Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada 2020. “Proyek energi hijau seperti ini penting untuk perusahaan yang mengejar carbon offset,” kata Lucia Karina, Direktur Public Affairs, Communications, and Sustainability Coca-Cola Europacific Partners, kepada Tempo, Jumat, 10 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak tahun lalu, perusahaan mengaudit konstruksi atap di pabrik Pandaan. Hasilnya, ada sejumlah area yang strukturnya perlu diperkuat. Atap inilah yang akan dipakai sebagai landasan modul panel surya. PLTS atap pabrik Coca Cola Pasuruan dirancang berkapasitas puncak 3,7 megawatt, separuh daya yang dihasilkan di Cibitung.
Namun, Lucia mengungkapkan, rencana pemasangan panel surya di Pandaan tersendat. Perusahaan terganjal masalah perizinan.
Lucia bercerita, sistem perizinan di Provinsi Jawa Timur masih menggunakan surat izin operasional, yang diterbitkan gubernur. Sedangkan pemerintah pusat memakai sistem perizinan berusaha terintegrasi secara online (online single submission). “Tim legal kami sudah mengirimkan surat, tapi belum ada jawaban. Jadi sampai sekarang masih menggantung,” ujarnya.
Lucia menduga persoalannya bukan di Pemerintah Provinsi Jawa Timur, melainkan perubahan regulasi di tingkat pusat. Bahkan jenis izin berupa surat izin operasional, ia mencontohkan, sekarang berubah menjadi izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. “Kalau peraturan di atas berubah, aturan di bawahnya kan juga harus menyesuaikan,” ucapnya. Ketidakpastian regulasi tersebut, kata dia, membuat perizinan jalan di tempat.
Regulasi tentang PLTS atap memang maju-mundur. Pembahasan yang telah lama dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sempat melahirkan Peraturan Menteri Energi Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
Disahkan pada 20 Agustus lalu, peraturan yang sedianya menggantikan Peraturan Menteri Energi Nomor 16 Tahun 2019 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tersebut tak kunjung bisa diterapkan. Di kalangan pelaku usaha beredar kabar regulasi itu kepentok Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga, yang diterbitkan dua pekan sebelumnya.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Fabby Tumiwa mendengar kabar bahwa pemerintah akan mengkaji ulang peraturan Menteri Energi tersebut. Dia menilai dalih belum adanya persetujuan Istana itu janggal. Pasalnya, pembahasan peraturan itu digeber secara intensif dan mendalam sejak Februari lalu. Berbagai rencana ketentuan baru di dalamnya juga telah dibicarakan dalam rapat kabinet. “Juli masuk ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Agustus diundangkan. Makanya sudah ada di berita negara,” tutur Fabby, Kamis, 9 Desember lalu. “Sekarang Sekretariat Negara kembali mengundang kementerian dan lembaga. Prosesnya kayak mau bikin perundangan baru lagi, mengulang dari awal.”
•••
SEPERTI cerita Fabby Tumiwa, pemerintah mengkaji ulang regulasi tentang pembangkit listrik tenaga surya atap yang sudah dijadikan peraturan menteri. Menurut Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Chrisnawan Anditya, pembahasannya melibatkan Kementerian Keuangan dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sejak awal September hingga akhir November lalu.
Kini hasil pembahasan tersebut tengah dimintakan persetujuan kepada Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Koordinator Perekonomian dan Sekretariat Kabinet. Terakhir, kata Chrisnawan, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi mengirimkan surat kepada Deputi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 25 November lalu. “Kami juga masih menunggu proses lebih lanjut dari Kemenko Perekonomian,” ucap Chrisnawan, Jumat, 10 Desember lalu.
Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Perekonomian Wahyu Utomo, yang menangani persoalan ini, enggan memberikan penjelasan. "Maaf, saya belum bisa menjawab. Mungkin bisa dicek ke ESDM," ujar Wahyu, Rabu, 8 Desember lalu. Adapun Kepala Badan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu tak merespons permintaan konfirmasi dari Tempo.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Chrisnawan Anditya di Jakarta, Juni 2021. esdm.go.id
Secara umum, Chrisnawan memastikan Peraturan Menteri Energi Nomor 26 Tahun 2021 masih sama. “Kami hanya me-review dampaknya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” ucapnya.
Dampak yang dimaksud adalah perubahan skema faktor pengali atas ekspor listrik dari PLTS atap ke PLN. Ekspor listrik terjadi jika ada ekses atau kelebihan daya yang dihasilkan pembangkit dibanding konsumsi rumah tangga atau industri pemilik PLTS. Dalam regulasi baru, faktor pengali menjadi 100 persen, naik dari semula hanya 65 persen. Artinya, PLN harus membayar lebih mahal—secara teknis berupa pengurangan tagihan bulanan listrik pelanggan—setrum dari PLTS atap yang masuk ke jaringan kelistrikan.
Kekhawatiran muncul ketika kelak PLTS atap tumbuh masif. PLN bisa terkena getahnya. Selain harus membayar lebih mahal jika nanti banyak mengimpor daya dari PLTS atap, PLN sedang tergencet masalah kelebihan pasokan daya (oversupply), terutama di sistem kelistrikan Jawa-Bali. Pandemi Covid-19 menambah runyam persoalan karena permintaan listrik industri merosot tajam. Rata-rata cadangan daya (reserve margin) di seluruh sistem kelistrikan PLN kini lebih dari 50 persen. Sebelum pandemi merebak, listrik yang tak terserap berada di kisaran 30 persen.
Tekanan terhadap PLN juga meningkat lantaran masih ada beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bagian dari program 35 ribu megawatt yang selesai dibangun dan akan masuk ke jaringan kelistrikan nasional secara bertahap setiap tahun. PLTU Sumsel 8 dengan kapasitas 2 x 620 megawatt di Muara Enim, Sumatera Selatan, misalnya, dijadwalkan masuk pada triwulan I 2022. Itu pun PLN sudah menegosiasikan pengunduran jadwal commercial operation date atas unit I pembangkit yang dikembangkan PT Bukit Asam (Persero) Tbk dan China Huadian HongKong Co Ltd tersebut dari semula pada triwulan IV 2021.
Perubahan ketentuan tarif ekspor listrik PLTS atap dikhawatirkan bakal memperberat tekanan terhadap keuangan PLN. Pemerintah khawatir persoalan finansial perusahaan negara itu akan menekan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selama ini harus menanggung subsidi listrik.
Fabby Tumiwa menilai kekhawatiran pemerintah terlalu berlebihan. “Kementerian Keuangan terlalu paranoid dengan risiko fiskal yang dikhawatirkan terjadi pada PLN,” kata Fabby, yang juga Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform.
Dia tak mengetahui detail hasil perhitungan Kementerian Keuangan atas persoalan ini lantaran tak pernah diundang untuk mendiskusikan nilai wajar pengembangan PLTS atap. Adapun pembahasan di Kementerian Energi, Fabby menjelaskan, selama ini melibatkan asosiasi dan lembaga independen untuk membuat perhitungan berdasarkan analisis pasar riil.
Menurut Fabby, nilai wajar pengembangan PLTS atap semestinya juga memperhitungkan belanja modal dan keuntungan pengembang. “Karena sifatnya insentif untuk mendorong pertumbuhan energi baru-terbarukan sehingga harus agak generous,” ujarnya.
Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri Indonesia untuk Energi Baru dan Terbarukan Muhammad Yusrizki bisa memahami kekhawatiran pemerintah dan PLN. Ia mengatakan arah bisnis, terutama perusahaan multinasional, kini makin menuju ekonomi hijau. Indonesia juga telah mencanangkan target net zero emission pada 2060, bahkan berpeluang lebih cepat. Situasi ini bisa menjadi ancaman baru bagi PLN.
Ia memproyeksikan korporasi global akan berlomba-lomba membangun PLTS atap sendiri. “Gerak industri ini yang akan menjadi gelombang besar. PLN pelan-pelan bisa kehilangan demand, bahkan bisa mematikan PLN,” kata Yusrizki.
Saat ini, Yusrizki melanjutkan, ada dua kelompok berisi ratusan perusahaan kakap yang berkomitmen terhadap ekonomi berkelanjutan. Di bawah bendera United Nations Framework Convention on Climate Change, mereka gencar mengkampanyekan race to zero alias berpacu ke titik nol karbon. Kelompok ini antara lain beranggotakan Unilever, Nestle, Coca-Cola, Microsoft, Accenture, Schneider Electric, dan Aveva. Menyusul, grup lain yang dimotori Amazon berkomitmen pada iklim dengan ikrar “10 tahun lebih cepat”. Kelompok ini juga didukung lebih dari 100 perusahaan dunia. "Perusahaan-perusahaan itu ada di Indonesia. Inilah pressure dunia buat Indonesia,” tutur Yusrizki.
Gelombang pembangunan PLTS atap, Yusrizki menambahkan, “sukses” membikin bangkrut banyak perusahaan listrik dunia, seperti di Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat. “Mereka mematikan PLTU, PLTG (pembangkit listrik tenaga gas), karena demand turun drastis sejak PLTS masuk ke sistem secara masif di perumahan, toko, perkantoran, hingga kompleks industri. Ini disrupsi.”
Manajemen PLN, kata Yusrizki, memahami tantangan tersebut. “Inilah yang mengerikan dari distributed renewable energy,” ujarnya. “Pembangkit terdistribusi ke level paling mikro, di rumah tangga. Ini enggak tahun depan, tapi 5-10 tahun lagi.”
•••
DI tengah besarnya tantangan bisnis setrum, Perusahaan Listrik Negara optimistis permintaan listrik industri tak akan tergerus oleh tren perusahaan global yang mengejar target net zero emission. Executive Vice President Komunikasi Korporat dan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan PLN Agung Murdifi yakin perseroan akan dapat memenuhi permintaan yang kompetitif dan andal, terutama untuk industri.
Dia mengingatkan, panel surya merupakan pembangkit intermiten—tak stabil lantaran tak selalu ada ketika diperlukan—yang membutuhkan perangkat penyimpanan seperti pumped storage dan baterai. Penggunanya juga memerlukan unit pembangkit dengan respons cepat sebagai penopang cadangan.
Di sisi lain, Agung melanjutkan, PLN kini juga memiliki Renewable Energy Certificate (REC) yang menjamin pasokan listrik industri berasal dari energi baru dan terbarukan. Artinya, industri tidak perlu mengeluarkan investasi besar untuk membangun pembangkit energi baru dan terbarukan sendiri.
PLN mencatat penjualan REC secara kumulatif terus meningkat, per 2 Desember 2021 mencapai 283.387 unit dari 273.703 unit pada bulan sebelumnya. Tren penjualan REC Enterprise, untuk perusahaan kecil, menengah, dan besar, juga naik dari 21.722 unit pada Oktober menjadi 31.182 unit per November. “Saat ini ada 33 perusahaan yang masuk daftar tunggu pelayanan REC PLN dengan 47 total transaksi,” tutur Agung, Jumat, 3 Desember lalu.
Wakil Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo pada peluncuran aplikasi layanan pelanggan New PLN Mobile di Jakarta, 20 Desember 2020. pln.co.id
Ke depan, PLN juga optimistis permintaan listrik akan meningkat lagi seiring dengan terkendalinya pandemi dan pulihnya ekonomi. Sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2021-2030, permintaan listrik pada 2022 diproyeksikan naik rata-rata 4,9 persen per tahun. Perseroan optimistis listrik akan pulih 100 persen, seperti sebelum masa pandemi. Menurut Agung, saat ini konsumsi listrik industri telah meningkat 10 persen secara tahunan.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Chrisnawan Anditya juga memastikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai regulator akan selalu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan PLN dan keinginan masyarakat yang hendak memasang PLTS atap. Walau begitu, ia enggan memaparkan kajian atas risiko fiskal akibat pengembangan PLTS atap. “Sudah dibahas Kementerian Energi, Kementerian Keuangan, dan PLN soal hasil perhitungan dampaknya yang nanti akan dibahas di Kemenko Perekonomian dan Sekretariat Kabinet,” ujar Chrisnawan, singkat.
Soal lain yang menarik adalah proyek PLTS atap sebenarnya bisa dijadikan instrumen dalam perdagangan karbon. Pasal 28 ayat 1 Peraturan Menteri Energi Nomor 26 Tahun 2021 pun telah membuka peluang bagi pengguna PLTS atap ataupun pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Namun pada ayat 2 disebutkan ketentuan mengenai kepemilikan karbon dan mekanisme bisnis perdagangan karbon akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.
Chrisnawan belum bisa menjelaskan rencana skema perdagangan karbon yang dimaksud dalam pengembangan PLTS atap. “Pelaksanaannya menunggu turunan dari peraturan presiden net emisi karbon,” tuturnya.
KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo