Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andhyta F. Utami (Ekonom Lingkungan/Pendiri Think Policy)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANUSIA tidak suka—atau mungkin kurang lihai—berubah. Ilmu psikologi menjelaskannya sebagai status quo bias, preferensi kognitif kita untuk mempertahankan kondisi saat ini. Ilmu biologi juga menunjukkan bahwa bahkan ketika evolusi terjadi, lebih banyak DNA yang bertahan ketimbang berubah. Ilmu fisika kemudian mengenal inersia atau kelembaman, kecenderungan benda untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan ketika otak rasional kita tahu bahwa perubahan dibutuhkan, misalnya demi olahraga atau diet, alam bawah sadar kita sering memberi justifikasi untuk menghindar. Keengganan berubah makin berlipat pada pihak yang akan kalah atau dirugikan dalam kondisi baru. Sangat wajar jika mereka kemudian mencari cara untuk memperlambat, atau mungkin mengikis perubahan yang seharusnya terjadi.
Hari ini, krisis iklim membutuhkan manusia untuk berubah pada skala yang bisa disamakan dengan revolusi industri. Para ilmuwan sudah berkali-kali memperingatkan, jika tak berubah, manusia akan tiba pada masa depan yang penuh rasa lapar dan penyakit, luar biasa panas dan kering, sekaligus basah oleh banjir permanen. Tahun ini saja, bumi sudah mengalami demam 1,2 derajat Celsius dan level ambisi iklim sejauh ini tidak cukup untuk mencapai target 1,5 derajat Celsius sesuai dengan Perjanjian Paris.
Salah satu hal yang sering menjadi alasan untuk tak berubah adalah kurangnya pendanaan iklim.
Dan memang, aksi mitigasi untuk mencegah atau adaptasi atau menanggulangi perubahan iklim di Indonesia butuh dana besar. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kebutuhan biaya untuk menurunkan emisi sebanyak 41 persen dibanding skenario business as usual pada 2030 mencapai US$ 479 miliar. Sebagian besar dana itu digunakan untuk transisi energi bersih, sisanya buat sektor lahan, pertanian, sampah, dan proses industri. Namun angka ini sering berubah tergantung asumsi, kadang juga kepentingan. Dalam kesempatan lain, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menyebutkan kebutuhan pendanaan untuk phasing out dari batu bara adalah US$ 600 miliar. Sedangkan jatah anggaran iklim dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan proses climate budget tagging rata-rata pada 2016-2019 hanya US$ 5-8 miliar per tahun.
Salah satu komitmen pendanaan iklim terbesar yang disepakati dalam pertemuan G20 di Bali minggu lalu adalah Just Energy Transition Partnership atau JETP. Ini adalah kesepakatan antara Indonesia dan negara-negara maju yang akan mengalirkan dana US$ 20 miliar untuk mempercepat transisi dari energi fosil ke energi terbarukan. Dengan dana ini, transisi akan terjadi pada 2030, lebih ambisius dari rencana awal pada 2037. JETP adalah pendanaan campuran antara hibah, pinjaman konsesional, pinjaman market-rate, jaminan, dan investasi swasta yang skema detailnya akan diselesaikan dalam enam bulan ke depan.
Pendanaan ini patut diapresiasi sebagai milestone, meskipun masih jauh dari cukup. Sebab, jika dibandingkan dengan estimasi kebutuhan, angka ini masih di bawah 5 persen.
Bagaimana dengan sumber pendanaan lain selama ini?
Memang, sektor finansial Indonesia telah membuat banyak inovasi dalam beberapa tahun terakhir. Melalui penerbitan green bond atau obligasi hijau dan pinjaman sindikasi, Indonesia telah mengumpulkan US$ 6,4 miliar sejak 2018. Fakta yang menarik, sebanyak 70 persen obligasi diterbitkan oleh pemerintah atau entitas yang terafiliasi dengan pemerintah. Berbeda dengan negara lain, yang mayoritas obligasinya diterbitkan oleh korporasi.
Indonesia juga adalah negara dengan green sukuk (sovereign dan retail) terbesar di dunia dengan nilai US$ 3,9 miliar pada 2018-2021. Otoritas Jasa Keuangan telah mendorong pendanaan hijau melalui Peraturan Implementasi Pendanaan Berkelanjutan, Peta Jalan Pendanaan Berkelanjutan, taksonomi hijau, sampai mandat rencana aksi untuk meningkatkan kesadaran investor akan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Potensi lain ada pada pasar karbon sukarela yang nilainya saat ini diperkirakan sebesar US$ 1-2 miliar. Potensi pertumbuhan pasar ini karbon menjanjikan, mengingat aset alam Indonesia berupa hutan dan lahan dapat memproduksi penurunan emisi lebih efektif dibanding negara atau teknologi lain. Belum lagi, setelah Artikel 6 tentang kerja sama internasional disepakati di Glasgow, ada potensi pasar mandatori yang menjanjikan harga per ton karbon yang jauh lebih tinggi, meski masih terlalu banyak ketidakpastian di sektor ini.
Ada juga komitmen negara utara global senilai US$ 100 miliar setiap tahun untuk membantu negara selatan global membiayai aksi iklim, yang ternyata juga belum bisa dipenuhi. Pembayaran-pembayaran yang diterima Indonesia dari hibah bilateral ataupun multilateral di sektor hutan dan lahan sejauh ini juga masih terbatas, seperti US$ 110 juta untuk penurunan emisi di Kalimantan Timur, US$ 70 juta buat rencana penurunan emisi di Jambi, serta US$ 56 juta dari pemerintah Norwegia.
Tetap saja semua angka tersebut masih kerdil jika dibandingkan dengan kebutuhan, atau bahkan dengan pendanaan yang terus mengalir ke sektor “cokelat” alias tak ramah lingkungan.
Sebagai contoh, anggaran subsidi yang mendorong konsumsi energi fosil 2022 mencapai US$ 24 miliar, enam kali lipat total green sukuk yang dikumpulkan selama tiga tahun. Indonesia juga masih membangun pembangkit listrik tenaga uap batu bara baru, termasuk PLTU Jawa 9 dan 10 berkapasitas 2.000 megawatt dengan embel-embel teknologi super-critical yang efisien. Dari total stimulus fiskal US$ 74,7 miliar selama masa pandemi Covid-19, hanya 4 persen dari belanja yang berkategori “hijau” dan US$ 6,3 miliar dikategorikan kotor, menurut Climate Policy Initiative.
Karena itu, selama pembiayaan hijau masih dianggap sebagai inisiatif terpisah dari keseluruhan pendanaan publik ataupun privat yang sudah seharusnya hijau, kita tidak akan pernah mencapai skala perubahan yang seharusnya terjadi.
Pertanyaan yang muncul adalah apa saja insentif dan disinsentif agar pendanaan sektor publik ataupun privat bisa dialirkan ke sektor-sektor yang tepat? Dari anggaran fiskal pemerintah 2023 sebesar US$ 200 miliar, apakah program iklim bisa dijadikan prioritas sambil tetap memenuhi target pembangunan nasional?
Sektor keuangan juga masih perlu berbenah, selain masih mahal dan berisiko. Sementara itu, perusahaan nonbank, seperti penyelenggara dana pensiun dan asuransi, masih relatif kecil dan kontribusinya masih terbatas. Karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesadaran pasar dan lokal secara menyeluruh, menurunkan biaya yang tinggi bagi penerbitan green bond, serta menyediakan kredit jangka panjang.
Saat pendanaan baru setengah dari perjalanan, kita juga harus memastikan bahwa modal ini mengalir ke aset dan proyek yang benar-benar berdampak positif pada upaya mitigasi krisis iklim. Ketika pendanaan hijau terlalu berfokus pada label “hijau”-nya sendiri, yang terjadi adalah accounting exercise. Tanpa ada kerangka transparansi yang dapat diandalkan, ada risiko proyek tidak tepat sasaran. Yang lebih berbahaya, pendanaan akan tersandera oleh proses accounting, pelaporan, serta greenwashing sehingga tidak benar-benar serius menanggulangi krisis iklim.
Kita seharusnya membayangkan apa perubahan yang seharusnya terjadi, dan apa model ekonomi yang kompatibel.
Emisi gas rumah kaca global harus nol pada 2050. Hal ini hanya bisa dicapai jika kita berhenti menggunakan energi fosil sekaligus mempertahankan dan menambah tutupan hutan serta mendesain ulang sistem manufaktur agar lebih sirkular. Pada saat bersamaan, kota dan desa perlu secara agresif membangun ulang ruang-ruang fisik dan praktik-praktik keseharian sehingga lebih tahan bencana iklim. Yang terpenting, kita perlu memastikan bahwa dalam proses ini kita juga membenahi dan tidak malah memperparah ketimpangan sosio-ekonomi.
Bagi saya, satu-satunya cara untuk bisa sampai ke sana adalah tidak ada lagi “pendanaan hijau”, karena semua pendanaan sudah semestinya hijau secara default. Pendanaan-pendanaan yang tidak hijau, apalagi berkontribusi pada sektor cokelat, sudah semestinya dianggap ilegal karena membahayakan eksistensi seluruh umat manusia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo