Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RANCANGAN Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) yang diperbarui tak beranjak jauh dari draf sebelumnya yang dipersoalkan pelbagai kalangan. Pasal-pasal kontroversial tak banyak berubah. Isinya menunjukkan betapa negara bernafsu mengatur kehidupan pribadi dan mempersempit ruang demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangan KUHP terakhir lebih menekankan ketertiban umum ketimbang melindungi kemerdekaan individu. Negara pun terlalu jauh mencampuri kehidupan pribadi warganya, dari cara berkomentar di media sosial hingga urusan persetubuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Negara sepatutnya menjaga kehidupan masyarakat agar berjalan tertib dan aman. Namun upaya itu tidak boleh dilakukan dengan mengekang kebebasan individu. Seperti lirik lagu Iwan Fals, urusan moral dan akhlak biar dicari sendiri oleh tiap orang. Karena itu, kitab hukum pidana yang sehat seharusnya melindungi hak dan kebebasan pribadi setiap warga negara.
Abai melindungi hak-hak masyarakat, Rancangan KUHP sibuk melindungi presiden dan pejabat negara lain. Bahkan ada pasal karet berisi larangan menyerang martabat kekuasaan umum atau lembaga negara, yang diperkuat dengan pasal larangan menghina pemerintah.
Pasal penghinaan presiden dan lembaga negara adalah warisan kitab pidana kolonial. Pasal-pasal itulah yang dipakai penguasa Belanda untuk memenjarakan para pejuang kemerdekaan. Anehnya, di era Indonesia merdeka, meski telah gonta-ganti pemerintahan, pasal-pasal karet itu tetap dipertahankan.
Di era pemerintahan Joko Widodo, pasal sejenis dan turunannya kerap dipakai mengkriminalisasi para aktivis demokrasi. Mereka yang mengkritik pemerintah lewat media sosial atau menggugat kebijakan pemerintah di forum diskusi bisa dijerat dengan pasal yang penafsirannya bisa mulur-mengkeret.
Dalam Rancangan KUHP terakhir memang ada catatan tambahan: bukan penyerangan martabat presiden atau wakil presiden bila suatu perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum. Pemerintah mengklaim catatan tersebut sebagai pelindung hak berekspresi dan demokrasi. Namun catatan itu cuma tercantum dalam bagian penjelasan, tidak menjadi norma pada pasal yang jelas-jelas melindungi kebebasan berekspresi.
Penyusun Rancangan KUHP tampaknya masih menganggap pejabat pemerintah, khususnya presiden dan wakil presiden, sebagai sosok istimewa di depan hukum. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah menghapus pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam KUHP pada 2006 dan 2007.
Dua putusan Mahkamah Konstitusi itu menegaskan, di negara hukum yang demokratis, kedudukan presiden dan wakilnya tak ada bedanya dengan warga negara lain—kecuali dalam urusan protokoler. Presiden tidak dibenarkan memiliki keistimewaan hukum. Bila merasa dihina, orang yang menjabat presiden boleh saja menggugat secara pribadi, sama halnya dengan warga negara lain.
Celakanya, RKUHP malah memperluas larangan penghinaan atas lembaga negara hingga meliputi Dewan Perwakilan Rakyat, Kepolisian RI, Tentara Nasional Indonesia, dan pemerintah daerah. Bila pasal karet seperti itu dipertahankan, bisa dibayangkan, korban kriminalisasi akan bertambah banyak. Ruang berekspresi sudah pasti menyempit atau malah mati. Lalu apa bedanya era Indonesia merdeka dengan masa di bawah kaki penjajah?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo