Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tempo memilih pegiat anti-kekerasan seksual untuk melanjutkan gema UU TPKS.
Tokoh Tempo 2022 adalah pegiat yang secara konsisten melakukan advokasi terhadap korban hingga kini.
Tokoh Tempo 2022 adalah pegiat, penyintas, dosen, rohaniwan, hingga ibu rumah tangga.
KEKERASAN seksual mengepung kita sepanjang tahun ini. Kasus bermunculan, laporan berhamburan, timbul-tenggelam di media sosial, bersusulan dengan debat tentang kandungan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ia dikecam karena isinya belum komprehensif, tapi memberi harapan Indonesia selangkah lebih beradab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang TPKS memberikan peluang baru bagaimana seharusnya melindungi para korban kekerasan seksual, keluarganya, juga para saksi berbicara di muka hukum. Regulasi itu juga menjadi perjalanan baru bagi para pegiat anti-kekerasan seksual dan mereka yang bekerja mendampingi para korban kejahatan ini. Advokasi memiliki payung hukum yang cukup kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang, aturan pencegahan kekerasan seksual belum final. Pemerintah masih punya utang menuntaskan 10 aturan turunan Undang-Undang TPKS untuk mempermudah implementasi teknisnya di masyarakat. Pemerintah juga masih harus menggiatkan edukasi tentang regulasi baru tersebut kepada masyarakat dan lembaga yang terlibat dalam penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual.
Andy Yentriyani di Jakarta, 21 Oktober 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Selama ini, pelindungan terhadap korban kekerasan seksual mentok secara hukum. Para korban menjadi korban berikutnya ketika hendak menuntut keadilan atas kemalangan yang mereka derita. Tangan besi hukum memerlukan kesaksian para korban yang menguak kembali kejadian gelap yang membuat mereka trauma. Belum lagi menghadapi adat dan tradisi, keyakinan, hingga tafsir kitab suci agama yang menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Korban kekerasan seksual bisa juga laki-laki. Namun budaya patriarki yang menggelayuti alam pikiran masyarakat Indonesia membuat perempuan jauh lebih menderita ketika menjadi korban kekerasan seksual. Karena itu, barangkali, para pendamping korbannya lebih banyak perempuan karena empati yang jauh lebih mendalam seperti laporan khusus Tokoh Tempo 2022 yang sedang Anda baca ini.
Bivitri Susanti di Jakarta. [EMPO/STR/M Taufan Rengganis
Kami mengangkat mereka yang bergiat dalam pendampingan korban kekerasan seksual bukan hanya karena hiruk-pikuk pemberitaan tema ini setahun terakhir. Yang lebih penting dari sekadar berita viral adalah penghargaan kepada mereka yang bekerja di jalan sunyi, mereka yang mengorbankan waktu dan tenaga serta menghidupkan nyali menempuh jalan pendampingan yang sulit ini.
Ada lima perempuan terpilih dalam edisi khusus Tokoh Tempo 2022. Mereka para aktivis yang konsisten melawan kekerasan seksual. Tak hanya untuk diri mereka sendiri, para perempuan tersebut juga berkampanye menyadarkan masyarakat akan pentingnya mencegah kejahatan ini, menularkan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya mendapatkan keadilan jika menjadi korban.
Lima nama ini terjaring dari daftar panjang para aktivis anti-kekerasan seksual. Kami bertanya kepada organisasi masyarakat, lembaga, pakar, dan aktivis di berbagai daerah untuk mendapatkan profil mereka. Pada tahap awal, ada 24 nama yang masuk ke redaksi dengan profil yang mencengangkan. Mereka benar-benar para pemberani yang bekerja membela orang lain jauh dari lampu sorot popularitas.
Tentu saja profil menarik mereka tak bisa kami tulis seluruhnya. Pada akhirnya kami harus membuat kriteria agar profil yang kami tampilkan tetap mewakili gerakan pelindungan korban kekerasan seksual. Kriteria pertama adalah konsistensi, lalu aktualitas, kemudian sifat aktivismenya. Kami mengutamakan mereka yang bekerja melindungi korban kekerasan seksual bukan karena tugasnya, tapi memang karena panggilan hidupnya.
Untuk membantu redaksi memilih profil yang cocok dengan kriteria-kriteria itu, kami mengundang sejumlah pihak buat memperdalam informasi. Mereka adalah Siti Mazumah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta; Misiyah, Direktur Kapal Perempuan; dan Andy Yentriyani, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Bivitri Susanti, dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia, bergabung untuk memberikan perspektif hukum tentang kekerasan seksual.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Siti Mazumah, di kantor LBH APIK, Jakarta Timur, Jumat, 11 Maret 2022. TEMPO/Nita Dian
Dari diskusi dengan mereka, kami memformulasikan bobot dari setiap kriteria untuk menjaring daftar panjang kandidat yang akan kami turunkan profilnya. Pembobotan bukan untuk menilai keunggulan, tapi semata untuk mempermudah penjaringan. Misalnya mereka yang jauh, mereka yang belum terberitakan, mendapatkan bobot lebih karena tujuan edisi khusus ini memberikan suara kepada mereka yang tak bisa bersuara.
Misiyah, di gedung Tempo, Jakarta, 10 Februari 2017. TEMPO/Fardi Bestari
Jika kami memilih profil yang populer, ada pertimbangan lain yang memiliki bobot lebih penting dari sekadar belum terberitakan. Misalnya Direktur Eksekutif Women's Crisis Center Jombang Ana Abdillah. Ia mendampingi sejumlah korban kekerasan seksual Mochammad Subchi Azal Tsani alias Bechi sejak 2019. Berkat Ana yang kukuh membawanya ke ranah hukum, kasus ini mendapat atensi nasional.
Bechi adalah putra Kiai Muhammad Muchtar Muthi, pemilik Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, pesantren tasawuf yang berdiri sejak 1973. Di Jombang, Jawa Timur, Kiai Muchtar amat disegani. Bechi juga punya pengikut tak sedikit yang membela dan melindunginya dari usaha Ana Abdillah menyeretnya ke muka hukum.
Terdakwa kasus dugaan pencabulan terhadap santriwati Moch Subechi Azal Tsani keluar dari mobil tahanan untuk menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan (vonis) di Pengadilan Negeri Surabaya, Jalan Arjuno, Surabaya, Jawa Timur, 17 November 2022. ANTARA/Didik Suhartono
Jalan senyap juga ditapaki Saraiyah, ibu rumah tangga asal Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi perempuan pertama di jajaran Majelis Krama Desa. Dia awalnya hanya mencuri dengar materi kekerasan seksual yang disampaikan Kapal Perempuan dan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra di sekolah perempuan. Saat itu, dia cuma penjaja kue di depan balai pertemuan tersebut.
Berbekal pengetahuan di sekolah perempuan itu, Saraiyah mulai mengadvokasi kasus kekerasan seksual yang marak di Lombok Utara, yaitu pemaksaan perkawinan anak. Di beberapa desa di Lombok terdapat tradisi seorang pria akan langsung dinikahkan jika bisa membawa kabur gadis yang diinginkan menjadi istri.
Saraiyah pun mulai membatalkan perkawinan paksa pada anak tersebut. Dia tetap melangkah meski mendapat cibiran dan kritik dari tetangga dan masyarakat di sekitarnya. Dia pun berhasil sebagai anggota Majelis Krama Desa yang kerap menjadi pemutus kasus penculikan berujung pada perkawinan anak.
Ancaman memerangi kekerasan seksual juga datang dari kondisi alam yang menantang. Tawaja Ramzia Djanoan, misalnya, pegiat perempuan yang kerap berhadapan dengan ombak tinggi Selat Morotai dan minimnya infrastruktur di daerah terpencil di Kepulauan Morotai, Kepulauan Halmahera, Maluku Utara.
Meski begitu, Ona—sapaan Tawaja Ramzia Djanoan—tak mundur. Dalam setahun, dia mendirikan lima pos pengaduan di Pulau Daruba dan Galo-Galo. Rencananya dia akan mendirikan pos serupa yang melibatkan warga lokal di sejumlah pulau terpencil lain di Morotai.
Massa yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Anti Kekerasan (Gerak Perempuan) melakukan aksi menolak kekerasan seksual di kampus-kampus di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 10 Februari 2020. Dok. TEMPO/Muhammad Hidayat
Biarawati Katolik, Fransiska Imakulata SSpS, juga konsisten menyadarkan masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur, yang terkungkung terhadap tradisi belis, yakni mahar perkawinan pria kepada keluarga calon istrinya. Tradisi ini diduga menjadi akar pemahaman para lelaki yang merasa berhak memiliki perempuan karena telah membeli atau membayar kepada keluarga. Akibat pandangan ini, mereka merasa berhak melakukan kekerasan di dalam rumah tangga.
Fransiska sudah menampung ratusan ibu rumah tangga yang mengalami berbagai jenis kekerasan di rumah aman. Dia juga mengambil anak-anak dari keluarga yang berkonflik. Dia bahkan menempuh pendidikan hukum dan mengambil profesi advokat untuk membantu para korban mendapatkan hak dan keadilan dari peristiwa kekerasan tersebut.
Satu tokoh lain, Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho. Ia seorang penyintas yang menjadi advokat paling getol membela hak korban kekerasan seksual di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dia memiliki kisah kelam ketika menjadi korban pemerkosaan oleh pacarnya sendiri hingga hamil dan mengalami keguguran. Setelah berhasil menata hati dan keluar dari trauma pengalaman buruk tersebut, dia memilih menempuh pendidikan hukum untuk menjadi pengacara. Dia kemudian bergabung dengan LBH APIK Nusa Tenggara Timur.
Aktivitas kelimanya memenuhi kriteria lain, yaitu dampak kepada komunitas, kelompok, atau masyarakat di tempat mereka berkiprah. Ana Abdillah mampu membangkitkan keberanian para korban untuk tetap bersuara meski berhadapan dengan pelaku yang berasal dari keluarga atau kelompok berpengaruh. Saraiyah membangkitkan kesadaran masyarakat Lombok Utara menolak tradisi perkawinan anak.
Kehadiran Tawaja Ramzia Djanoan di Kepulauan Morotai turut menumbuhkan kesadaran tentang keadilan bagi korban kekerasan di wilayah terpencil. Satu per satu, mereka mulai berani bersuara menuntut keadilan. Suster Fransiska Imakulata juga membangkitkan kesadaran tentang hubungan setara dalam perkawinan dalam budaya Flores. Sementara itu, Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho membantu banyak korban mendapatkan hak dan keadilan secara hukum.
•••
KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada 2022 (Januari-20 Desember) mencapai 27.143.
Jumlah itu meningkat dari laporan kasus kekerasan seksual sepanjang tahun lalu. Berdasarkan data Kementerian, jumlah kasus kekerasan yang terjadi selama 2021 adalah 27.129. Tentu saja, sebagai fenomena gunung es, angka ini hanya sebagian kecil dari total peristiwa kekerasan seksual yang tak muncul ke permukaan atau dilaporkan.
Peningkatan angka pun tak melulu berarti jumlah kasus kekerasan seksual makin banyak tiap tahun. Pada dasarnya kasus tersebut memang sudah banyak dan berlangsung terus dalam sistem relasi masyarakat yang tak setara. Penambahan angka lebih dilihat sebagai pertumbuhan kesadaran dan keberanian korban atau orang di sekitarnya untuk melaporkan serta menuntut keadilan.
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Apik Joan Patricia Walu Sudjiati Riwu Kaho saat wawancara dengan Tim Tempo Dini Pramita (kanan) dan Adittya Sista di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 15 Desember 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Para pegiat pelindungan korban kekerasan seksual ingin mendorong para korban keluar dari kungkungan rasa malu tanpa harapan. Kekerasan seksual bukan lagi hal tabu karena merupakan tindak pidana. Para pelaku harus mengambil tanggung jawab atas semua perbuatan mereka secara hukum. Para korban pun wajib mendapat pemulihan, termasuk kesehatan dan psikologis.
Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, ranah kekerasan seksual meluas hingga lembaga-lembaga pendidikan. Kasus kekerasan seksual pada anak juga masih menjadi ancaman. Sejumlah anak masih menjadi korban pemerkosaan atau pelecehan di rumah, lingkungan tempat tinggal, dan sekolah. Para pelakunya sebagian besar adalah orang dekat bahkan memiliki hubungan darah dengan korban.
Koordinator Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F), Suster Fransiska Imakulata, SSpS saat dipeluk oleh korban kekerasan seksual di Kapela Biara SSpS Maria Pembantu Abadi, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), 18 Desember 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Data Simfoni PPA menunjukkan korban kekerasan seksual didominasi kelompok usia anak sebanyak 56,8 persen, sedangkan dewasa 43,2 persen. Para pelaku adalah anggota keluarga bahkan ayah mereka sendiri. Selain kasus Mochammad Subchi Azal Tsani alias Bechi di lembaga pesantren, kekerasan seksual di Universitas Riau; Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon, Jawa Barat; dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menambah panjang daftar kekerasan seksual di lembaga pendidikan tinggi selama 2022.
Ketua Sekolah Perempuan Nusantara KLU NTB, Sarayiah saat memberikan edukasi kepada anggota Forum Ramah Anak terkait penyebaran berita hoaks, kekerasan seksual dan pernikahan anak di bawah umur di Desa Sukadana, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, 16 Desember 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Pandangan terhadap kasus kekerasan seksual sebagai aib juga masif dan menjadi penghalang pengusutannya secara hukum. Kasus pemerkosaan tenaga honor di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menunjukkan para pejabat negara tinggi dan polisi tidak memiliki perspektif penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual. Menikahkan korban dengan pelaku adalah tindakan biadab, tapi dianggap benar dan solusi penyelesaian kasus.
Pembaca, kekerasan seksual adalah kejahatan purba yang terus mengintai peradaban kita. Persepsi, adat dan tradisi, hingga tafsir agama membuat kita keliru melihatnya, sehingga kejahatan ini menjadi langgeng. Apa yang dilakukan lima Tokoh Tempo 2022 ini bisa memberikan inspirasi bagaimana seharusnya kita memperlakukan kejahatan kekerasan seksual. Selamat membaca!
TIM LAPORAN KHUSUS TOKOH TEMPO 2022
Penanggung Jawab:
Nurdin Kalim
Kepala Proyek:
Fransisco Rosarians Enga Geken, Mahardika Satria Hadi
Penulis:
Agung Sedayu, Dini Pramita, Fransisco Rosarians Enga Geken, Hussein Abri Dongoran, Mahardika Satria Hadi, Riky Ferdianto
Penyunting:
Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Mustafa Silalahi, Nurdin Kalim
Kontributor:
Ishomuddin (Jombang), Abdul Latief Apriaman (Lombok), Stephanus Tupeng Witin (Maumere), Rere Khairiyah (Ambon)
Penyunting Bahasa:
Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Fotografer & Periset Foto
Gunawan Wicaksono (Koordinator), Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih, Febri Angga Palguna, Hilman Fathurrahman, Imam Sukamto, Muhammad Taufan Rengganis, Tony Hartawan
Multimedia
Nana Riskhi (Penanggung Jawab), Ihsan Zahri (Koordinator), Achmad Robby Bachtiar, Aditya Sista Putra, Aji Ridwan Mas, Alfonsius Wibi, Dheayu Jihan, Muhammad Iqbal, Tiffani Angelica
Desainer:
Imam Riyadi, Rio Ari Seno
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo