Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANTAI Dusun Lokoq Buaq di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, pada Jumat pagi itu tampak cerah. Sekelompok perempuan berlari menuju bibir pantai, menyongsong sebuah perahu nelayan yang hendak menepi. Begitu badan sampan menyentuh pasir, para perempuan itu mengapit sisi kanan-kiri perahu, lalu bersama mengangkatnya menjauhi air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai balas jasa kepada para perempuan yang telah membantu mengangkat sampannya, nelayan sudah menyiapkan ikan untuk dibagi. Jumlahnya tergantung hasil tangkapan. Biasanya setiap orang memperoleh dua-tiga ikan berukuran sedang dari setiap nelayan. Jika dikumpulkan hasilnya lumayan untuk lauk di rumah. Aktivitas para perempuan itu dikenal dengan sebutan menciru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saraiyah berada di antara para perempuan yang menciru hari itu. Setiap ada kesempatan, pemimpin Sekolah Perempuan Pelangi ini kerap menciru bersama perempuan-perempuan di desanya. Namun, khusus saban Jumat, ia wajib berada di pantai Lokoq Buaq. Tak sekadar menciru, tapi hari itu adalah jadwal rutin berkumpul dengan anggota sekolah perempuan.
Belakangan, aktivitas Saraiyah dan anggota sekolah perempuan bertambah dengan keberadaan tambak udang vaname yang mereka kelola. Mereka juga membersihkan area tambak udang.
Saraiyah, 51 tahun, bukanlah ketua atau pemimpin yang terbiasa main perintah dan hanya melihat anak buahnya bekerja. Begitu tiba di lokasi, ia langsung mengambil caping dan sapu lidi, kemudian larut bersama para perempuan lain membersihkan tambak udang. “Merawat udang seperti merawat bayi. Harus telaten,” kata Saraiyah kepada Tempo, Jumat, 16 Desember lalu.
Kegiatan mengelola tambak udang dilakukan dalam dua tahun terakhir. Ada 80 orang yang mengurusi 44 kolam udang berdiameter 5 meter itu. Kehadiran tambak udang ini adalah jawaban atas kegelisahan Saraiyah tentang masalah ekonomi perempuan di desanya. “Sebagian dari mereka adalah korban kekerasan dalam rumah tangga, termasuk perempuan kepala rumah tangga,” ujarnya.
Ketua Sekolah Perempuan Nusantara KLU NTB, Sarayiah (kanan) memberikan edukasi kepada sejumlah warga terkait penyebaran berita hoaks, kekerasan seksual dan pernikahan anak di bawah umur di "sekepat" atau saung bambu Desa Sukadana, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, 16 Desember 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Pemerintah daerah membantu menyediakan prasarana untuk mereka. Adapun modal usaha disiapkan sendiri secara urunan. Dua tahun berjalan, usaha tambak udang mereka masih menghadapi banyak kendala, terutama soal pemasaran. Namun manfaatnya sudah mulai dirasakan. “Alhamdulillah hasilnya sangat membantu,” ucap Meri Andani, 31 tahun, salah seorang anggota sekolah perempuan yang ikut mengelola tambak udang vaname.
Begitu pula Linawati, 20 tahun, anggota sekolah perempuan yang kini menjadi kepala rumah tangga setelah resmi bercerai. Lina adalah salah seorang pelaku pernikahan usia anak. Dia menikah pada usia 16 tahun dengan pria yang dikenalnya dari media sosial. Nahas, pernikahan itu kandas.
Mereka sebetulnya sudah dikaruniai seorang anak berumur 4 tahun. Namun perangai buruk sang suami membuat Lina tidak bisa mempertahankan rumah tangganya. “Dia pulang ke rumahnya karena banyak masalah dengan orang-orang kampung,” kata Lina. Sejak itu, suaminya tak lagi menafkahi Lina dan anaknya.
Lina merasa sangat terbantu dengan keterlibatannya dalam sekolah perempuan besutan Saraiyah. Apalagi dia bisa ikut mengelola tambak udang. “Kami mendapat 1 ton lebih saat panen keempat kemarin,” tutur Lina. Bagian yang ia peroleh dari hasil panen bersama itu sangat membantu untuk menghidupi keluarganya.
Sepulang dari pertemuan dengan anggota sekolah perempuan, Saraiyah telah ditunggu belasan anak muda di teras rumahnya. Mereka adalah siswa-siswi sekolah menengah yang tergabung dalam Forum Anak Desa Sukadana. Anak-anak itu biasa memanggil Saraiyah dengan sebutan papuq atau nenek. “Setiap bulan kami berkumpul dengan Papuq Saraiyah untuk berdiskusi tentang kasus pernikahan anak,” ujar Diatul Aini, Ketua Forum Anak Desa Sukadana.
Hari itu Aini dan kawan-kawannya melaporkan perkembangan beberapa kasus pernikahan anak yang baru saja selesai mereka advokasi. Menurut Aini, korban pernikahan anak kebanyakan kawan perempuan mereka. “Tapi ada juga anak laki-laki menikah dengan wanita yang lebih dewasa,” ucapnya.
Setiap menjumpai kasus pernikahan anak, Aini dan kawan-kawannya melapor kepada Papuq Saraiyah. Mereka kemudian bergerak bersama melakukan advokasi. Biasanya mereka mengawalinya dengan menemui kepala dusun untuk mengetahui duduk perkara terjadinya perkawinan anak itu. Langkah berikutnya, Aini mendekati calon pengantin perempuan dan memberi tahu dia ihwal bahaya pernikahan usia anak, terutama bagi perempuan.
Dalam tradisi masyarakat suku Sasak, pernikahan biasanya berlangsung dengan tradisi merarik. Seorang calon pengantin laki-laki bisa membawa lari calon pengantin perempuan ke rumahnya. Setelah itu baru dilakukan proses sejati, selabar, yaitu semacam pemberitahuan dari kepala dusun laki-laki kepada kepala dusun pihak perempuan. Barulah kemudian negosiasi antarkeluarga terjadi, menentukan kapan pernikahan akan dilangsungkan. Termasuk membicarakan bagaimana aturan adat dijalankan.
Aini mengatakan pola advokasi untuk kasus seperti ini adalah mengupayakan agar pernikahan bisa dicegah. Kedua pasangan bisa dipisah atau dibelas. Tidak mudah memang, terlebih jika kedua pengantin suka sama suka atau bahkan sudah pernah berhubungan badan. “Kalau ada di antara kedua pihak orang tua yang tidak setuju dengan pernikahan itu akan lebih mudah kami belas,” kata Aini.
Menurut Saraiyah, Forum Anak Desa Sukadana adalah pelopor sekaligus pelapor kasus-kasus pernikahan anak. “Banyak kasus pernikahan usia anak yang kami advokasi setelah mendapat laporan dari Forum Anak,” ujarnya. Berdasarkan catatan Sekolah Perempuan Pelangi, terdapat 168 pernikahan anak, 46 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 14 kasus pelecehan seksual sepanjang 2014-2020. Sementara itu, pada 2021-2022 tercatat 115 kasus pernikahan usia anak, 16 kasus KDRT, dan 4 kasus pelecehan seksual.
Kasus pernikahan anak di daerah Saraiyah masih tinggi. Namun dia menilai hal itu justru capaian yang baik. Sebab, masyarakat setempat, termasuk Forum Anak, makin berani melaporkan adanya kasus pernikahan anak di sekitar mereka. “Sebelumnya pernikahan anak kerap tidak dilaporkan dan dilakukan diam-diam,” ucap Saraiyah.
•••
APA yang dicapai Saraiyah dalam membangun kesetaraan gender dan kesadaran hak-hak perempuan di daerahnya tidak berlangsung mudah. Rintangan datang dari berbagai penjuru, termasuk tantangan dari keluarga terdekatnya.
Sang suami, Nasanep, teman setia Saraiyah dalam menjalankan advokasinya, sempat menjadi ganjalan terbesar yang mesti dilaluinya. “Ngapain kamu urus orang lain?” kata Saraiyah menirukan kalimat suaminya yang pada masa awal sering memprotes kegiatannya.
Saraiyah dan suaminya sebenarnya berasal dari keluarga terpandang di desa mereka. Namun perekonomian mereka pas-pasan. Meski begitu, keduanya pantang dikasihani. Mereka memulai hidup berumah tangga dengan menumpang dari satu rumah keluarga ke rumah lain. Nasanep mengenang waktu itu Saraiyah tengah hamil tua, menunggu kelahiran anak pertama. Untuk makan sehari-hari, mereka mengambil benur di pantai. “Ibu sampai beberapa kali terjatuh,” ucap Nasanep.
Ketua Sekolah Perempuan Nusantara KLU NTB, Sarayiah (tengah) memberikan edukasi kepada anggota Forum Ramah Anak terkait penyebaran berita hoaks, kekerasan seksual dan pernikahan anak di bawah umur di Desa Sukadana, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, 16 Desember 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Prihatin terhadap kondisi Saraiyah, seorang kerabat pernah menawari mereka tinggal secara cuma-cuma di rumahnya. Tapi Nasanep menolak. Sampai akhirnya mereka bisa membeli sebuah kamar, bekas kandang sapi yang disulap menjadi dapur oleh pemiliknya. Saat itu menjelang kelahiran anak pertama mereka.
Nasanep mengakui sempat mempertanyakan langkah Saraiyah dengan sekolah perempuannya. Ketika persoalan ekonomi keluarga mereka masih berantakan, Saraiyah justru mengurusi masalah orang lain. Ia mengadvokasi berbagai kasus KDRT, kekerasan seksual, dan pernikahan anak. Belakangan, Nasanep bisa menerima keputusan istrinya. Ia melihat langsung bagaimana langkah istrinya memang dibutuhkan banyak orang, terutama para perempuan di desanya.
Sebelum mendirikan dan mengetuai Sekolah Perempuan Pelangi, Saraiyah pertama kali bersinggungan dengan Institut Kapal Perempuan pada 2013. Saat itu dua anggota organisasi yang bekerja untuk memperkuat kepemimpinan perempuan, terutama perempuan akar rumput, tersebut tengah melakukan pendataan awal di Desa Sukadana. Tujuannya mendirikan Sekolah Perempuan Nusantara.
Atas rekomendasi dari seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat yang pernah berkegiatan di Desa Sukadana, dua penyurvei Kapal Perempuan itu mencari Saraiyah. “Kami ketemu sewaktu saya sedang berjualan kue keliling di Dusun Lokoq Kengkang,” tutur Saraiyah.
Mendengar nama sekolah perempuan dan Kapal Perempuan, Saraiyah sangat tertarik sekaligus penasaran. “Kenapa ada sekolah perempuan? Setahu saya yang sekolah itu untuk laki-laki dan perempuan,” ucap Saraiyah. Begitu pula nama Kapal Perempuan. “Oh, besok diajak naik kapal. ya?" kata Saraiyah, memantik tawa kedua orang tersebut.
Dari perkenalan itu, Saraiyah mendapatkan pemahaman tentang sekolah perempuan dan Kapal Perempuan, yang berkantor pusat di Jakarta. Ia pun diajak berkeliling mendata kondisi perempuan di desanya. Seraya tetap berjualan kue, Saraiyah mendatangi satu per satu rumah warga. Pemahamannya tentang beragam persoalan perempuan di desanya makin dalam.
Sebulan setelah pendataan itu, tim Kapal Perempuan kembali datang untuk menindaklanjuti temuannya dan mengajak bertemu dengan kepala desa. Ternyata Sukadana dipilih menjadi tempat proyek percontohan sekolah perempuan. Kepala Desa Sukadana waktu itu, Sojati, tidak serta-merta menerima program pendirian sekolah perempuan di desanya. Namun Saraiyah pasang badan. “Pak, saya saja penasaran apa itu sekolah perempuan. Ini program yang bagus, terima saja,” ujarnya meyakinkan Kepala Desa. Sojati pun luluh.
Syahdan, Sojati meneken surat keputusan pendirian sekolah perempuan di Desa Sukadana pada 23 November 2013. Peserta awalnya 30 orang yang terdiri atas perempuan beragam agama, perempuan difabel, perempuan kepala keluarga, perempuan miskin, serta perempuan rentan dan marginal lain. Saraiyah menjadi salah satu peserta kelas-kelas sekolah perempuan tersebut.
Kepemimpinan Saraiyah kian terasah setelah bergabung dengan sekolah perempuan. Pada bulan pertama sekolah itu berjalan, ia dipilih mengikuti pelatihan kepemimpinan perempuan di Kota Mataram. Pelatihan-pelatihan lain membentuk Saraiyah hingga didapuk untuk memimpin sekolah perempuan.
•••
DI Desa Sukadana, Saraiyah menghadapi persoalan utama berupa maraknya pernikahan usia anak. Wilayah Bayan, Kabupaten Lombok Utara, masih kental adat yang cenderung patriarkis. Masih tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan pernikahan anak di lingkungan sekitarnya membuat Saraiyah diam-diam terpantik untuk membuat perubahan. Caranya: memberdayakan perempuan.
Berbekal pengetahuannya dari sekolah perempuan, Saraiyah menularkan ilmu dan semangatnya kepada kaum Hawa di daerahnya. “Bahkan perempuan itu mampu mandiri, percaya diri, dan bisa menentukan pilihannya sendiri ketika terjadi sesuatu di dalam rumah tangganya,” katanya.
Selain persoalan kultur yang permisif, Saraiyah berkesimpulan bahwa faktor ekonomi memicu tingginya angka pernikahan anak. Sebagian pelaku pernikahan anak menganggap urusan ekonomi yang menimpa keluarganya akan membaik dengan menikah. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Menurut Saraiyah, pernikahan anak sangat rentan dengan terjadinya KDRT. Anak-anak yang dilahirkan juga rentan mengalami stunting atau gizi buruk. Ujungnya, rumah tangga retak dan permasalahan ekonomi makin sulit diatasi.
Ketua Sekolah Perempuan Nusantara KLU NTB sekaligus Aktivis Penggerak Perempuan, Sarayiah (kanan) bersama anggota Sekolah Perempuan Nusantara KLU NTB membantu menarik kapal nelayan yang bersandar di Desa Sukadana, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, 16 Desember 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Dalam menjalankan advokasinya, Saraiyah mesti berkomunikasi—bahkan sering bernegosiasi—dengan berbagai pihak. Bagi seorang perempuan di desa yang masih kental dengan adat dan budaya patriarkis, Saraiyah menghadapi situasi yang pelik. Gerakannya sempat ditentang beberapa tokoh adat. “Laki-laki masih dinomorsatukan, perempuan tidak boleh ikut serta duduk di berugak saat membicarakan penyelesaian masalah,” kata Saraiyah dengan nada meninggi.
Tak menyerah dengan keadaan itu, Saraiyah memutuskan bergabung dengan Majelis Krama Desa—lembaga kemasyarakatan untuk menyelesaikan persoalan di desa, termasuk soal kasus-kasus merarik. Forum ini berisi tokoh adat laki-laki. Namun, dalam sebuah musyawarah pemilihan Majelis Krama Desa pada 2019, Saraiyah mendapat dukungan dari komunitas perempuan yang hadir meskipun tak diundang dalam musyawarah itu. “Yang diundang cuma saya, tapi semua mau ikut. Ndak perlu dapat snack, yang penting kami bisa bersuara,” tutur Saraiyah.
Mendapat dukungan besar dari komunitas perempuan, Saraiyah terpilih sebagai perempuan pertama di Lombok Utara yang menjadi anggota Majelis Krama Desa.
Menjadi anggota Majelis Krama Desa tak lantas memuluskan langkah advokasi Saraiyah. Masih ada pembatasan-pembatasan, termasuk cemooh, yang diterima Saraiyah. “Ruang gerak dibatasi, ngomong dibatasi, bicara disetop,” ujarnya. "Tapi Ibu tak terlalu mempedulikannya, yang Ibu tahu bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, punya hak yang sama.”
Ririn Hajudiani, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra, lembaga yang turut mendampingi Saraiyah dan perempuan lain dalam sekolah perempuan, menilai peran Saraiyah dalam Majelis Krama Desa sangat signifikan. “Ia banyak menangani kasus pembatalan pernikahan usia anak, kekerasan seksual, dan KDRT,” kata Ririn.
Direktur Eksekutif Institut Kapal Perempuan Misiyah mengatakan Saraiyah tidak hanya memperjuangkan isu perempuan dan anak, kekerasan seksual, hingga KDRT lewat forum majelis adat. “Tengah malam pun dia akan pergi ke tempat berkasus merarik atau kawin culik,” ucapnya.
Di Majelis Krama Desa Sukadana, tak semua anggotanya alergi terhadap Saraiyah. Ibu dua anak ini justru banyak mendapat dukungan dari Remadi, guru sekaligus menjabat Ketua Majelis. Bagi Remadi, dalam adat Bayan, keberadaan perempuan justru sosok yang penting dan dimuliakan. “Seseorang yang punya trah sebagai pemangku adat tidak akan bisa menjabat sebelum dia beristri,” ujarnya.
Remadi menilai kehadiran sekolah perempuan yang dipimpin Saraiyah sangat membantu pemberdayaan perempuan-perempuan di lingkungannya. Berkat sekolah perempuan besutan Saraiyah, Sukadana menjadi desa terdepan dalam pemberdayaan perempuan. Kehadiran Saraiyan dengan sekolah perempuannya membuat suara kaum Hawa di desanya, yang sebelumnya terpinggirkan dan dianggap angin lalu, juga mulai didengarkan.
Keberadaan Saraiyah di Majelis Krama Desa juga menginspirasi para perempuan lain di desanya dan desa-desa tetangga untuk berani tampil. Saat ini setidaknya ada lima perempuan di desa berbeda di Lombok Utara yang menjadi anggota Majelis Krama Desa. Sebagian lain tampil sebagai anggota Badan Pertimbangan Desa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo