Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUDAYA patriarki adalah penghalang utama pengungkapan kasus kekerasan seksual di banyak negara, termasuk Indonesia. Menganggap laki-laki lebih unggul ketimbang perempuan membuat banyak korban kekerasan seksual memilih tak bersuara bahkan “berdamai” dengan pelaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Januari-November 2022, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 3.014 aduan kasus kekerasan seksual. Sebagian besar pelaku adalah orang yang dekat dengan korban, seperti pacar, suami, bahkan ayah. Korban umumnya tak berani melaporkan karena malu, takut disalahkan, tak didukung keluarga, diintimidasi pelaku, atau dipaksa diam oleh adat dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Belenggu patriarki inilah yang didobrak lima perempuan pilihan Tempo yang gigih mendampingi korban untuk berani menuntut keadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelima tokoh itu adalah Ana Abdillah, Saraiyah, Tawaja Ramzia Djanoan, Suster Fransiska Imakulata, dan Joan Patricia Walu Sudjati Riwu Kaho. Ana adalah Direktur Eksekutif Women's Crisis Center Jombang, Jawa Timur, yang tanpa lelah mendampingi korban kekerasan seksual oleh anak pemilik Pondok Pesantren Shiddiqiyyah. Tekanan dan ancaman bertubi-tubi diterima Ana dan korban yang berani bersaksi. Dengan berani Ana dan para korban melawan serta menyeret pelakunya ke pengadilan hingga akhirnya divonis tujuh tahun penjara.
Joan Patricia Walu Sudjati Riwu Kaho adalah korban pemerkosaan oleh pacarnya sendiri. Peristiwa kelam yang dialaminya itu membuat dia bergiat menolong perempuan bernasib sama. Pegiat Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Nusa Tenggara Timur ini juga ikut berperan menyembuhkan trauma korban.
Kelima tokoh bekerja tanpa pamrih—ketulusan yang semestinya membuat malu siapa pun yang mengklaim telah bekerja memerangi kekerasan seksual di Tanah Air. Mereka yang menggunakan isu kekerasan seksual untuk mengejar popularitas hendaknya wawas diri. Mereka yang tak mendukung upaya pencegahan kekerasan seksual dan pelindungan kepada korban—termasuk yang menentang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)—hendaknya berbalik haluan jika tak ingin dianggap mendukung tindak pidana itu.
Setelah enam tahun, Rancangan Undang-Undang TPKS disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 April 2022. Berlaku sebulan kemudian, undang-undang ini memuat aturan-aturan yang menjamin perlindungan dan keadilan bagi korban. Sejumlah pasal diyakini dapat mendorong korban berani bersuara dan melapor. Di luar itu, ada aturan yang dapat memberi efek jera bagi pelaku ataupun calon pelaku.
Patut disayangkan, sembilan bulan setelah disahkan, aturan turunan dari undang-undang itu belum juga dikeluarkan. Pemerintah hendaknya bergerak cepat. Makin lama aturan pelaksanaan itu diterbitkan, makin banyak korban berjatuhan. Aturan implementatif dapat memaksa penegak hukum agar berpihak kepada korban.
Selama ini, korban kekerasan seksual mengalami kekerasan ganda ketika diproses secara hukum. Setelah remuk redam oleh kekerasan pelaku, di kantor polisi ia dianiaya oleh prosedur pemeriksaan yang “brutal”. Sudah banyak dikeluhkan, korban kekerasan seksual diminta menjelaskan detail kejadian, diinterogasi untuk memastikan benarkah ia dipaksa atau suka sama suka. Dalam beberapa kasus, pemeriksaan korban dilakukan berdekatan dengan korban kejahatan lain. Identitas korban pun kerap tak dilindungi.
Stigma buruk pada korban kasus kekerasan seksual harus dihentikan. Penanganan kasus yang berujung pada dinikahkannya korban dengan pelaku tak boleh lagi terjadi. Alih-alih melegakan, pernikahan paksa itu sesungguhnya hanya menambah luka: seorang korban dipaksa hidup bersama dengan pelaku kekerasan yang telah membuat hidupnya porak-poranda.
Lima Tokoh Tempo 2022 adalah pendekar pelindungan terhadap korban kekerasan seksual. Sudah saatnya mereka dihargai—bukan dengan puji-puji dan pidato kosong, melainkan dengan aturan dan kebijakan yang membuat kerja mereka tak sia-sia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo