Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kampanye dari Dalam Pesantren

Ana Abdillah berkampanye stop kekerasan seksual di pesantren. Menggali pengetahuan dari Al-Quran.

25 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANA Abdillah adalah aktivis kekerasan seksual, bukan pemuka agama. Tapi perempuan 28 tahun itu diundang dalam acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, pada 24-26 November lalu. “Selama ini kami juga aktif mendorong kampanye pesantren ramah anak lewat program Pesantren Care,” ujar Ana.

Ana menjabat Direktur Woman Crisis Center (WCC) Jombang, Jawa Timur. Ia menghadiri kongres atas undangan Umdatul Khoirot, istri pemimpin Pesantren As Sa’idiyyah 2 Bahrul Ulum di Tambak Rejo, Tambakberas, Jombang. Umda adalah salah seorang ulama perempuan yang ikut menggagas kongres tersebut.

Umda menilai kampanye pesantren ramah perempuan dan anak memerlukan dukungan dari semua pihak. Dia menjelaskan, tugas itu tak hanya bertumpu pada peran para pendidik, tapi juga dukungan masyarakat sipil dan pemerintah. Ia mengaku bersyukur karena Ana berkenan membantu. “KUPI memperjuangkan nol kekerasan kepada perempuan dan anak,” katanya.

Baca: Kekerasan Seksual Bukan Tak Berujung

Layanan pemberdayaan berbasis komunitas itu dirintis pada 2017. Ketika itu Ana baru setahun bergabung ke WCC Jombang. Ia dan para koleganya kerap diajak memberikan pemahaman dan wawasan seputar pembelaan hak lewat berbagai kegiatan seperti workshop dan pelatihan. Kegiatan tersebut belakangan menginspirasi pengasuh pesantren lain di Jombang seperti Pesantren An Najiyah.

Program Pesantren Care mengajak para pengasuh dan para santri menggali nilai-nilai dalam Al-Quran, hadis, ataupun fikih yang berperspektif perempuan, humanis, serta egaliter. Pada Kamis malam, 30 November lalu, misalnya, Ana bersama Umda menggelar kajian bersama para santri. Mereka duduk bersama membentuk lingkaran dan membincangkan banyak hal. Ana tampak mengajak mereka bercanda dan berbincang tentang hobi dan idola masing-masing.

Para santri tampak antusias mengungkapkan nama figur yang dipuja. Salah seorang di antara mereka menyebutkan nama artis Korea Selatan yang kerap muncul di televisi dan berbagai media lain. Dari situ, Ana dan Umda menyisipkan pesan agar para santri perempuan terbuka ketika menghadapi masalah, termasuk jika mengalami kekerasan. “Kami memposisikan diri sebagai teman curhat,” kata Ana.

Hubungan yang egaliter itu membuat para santri tidak sungkan berbicara dan mengungkapkan isi hati, termasuk kepada Umda sebagai pengasuh pesantren. Mereka bahkan merasa lebih betah di pesantren karena pola komunikasi yang diterapkan Umda kepada para santri. Suasana keterbukaan itu tak menghilangkan penghormatan mereka terhadap Abah Hasan dan Nyai Umda sebagai orang tua kedua.

Ana dan para koleganya di WCC berperan sebagai fasilitator. Kesadaran para santri menjaga diri juga mereka rancang lewat lagu pendek berjudul “Temanku Saudaraku, Guruku Orangtuaku”. Iramanya mirip dengan lagu “Lihat Kebunku” ciptaan Ibu Sud.

Baitnya sederhana tapi berisi pesan tentang perlindungan diri. “Ini kepalaku enggak boleh disentuh, ini badanku enggak boleh disentuh, tangan kakiku enggak boleh disentuh, seluruh tubuhku tidak boleh disentuh.”

Alyssa Qothrunnada, santri dan mahasiswa Pesantren Tebuireng, Jombang, berharap program ini turut diadopsi oleh pesantren lain. Bekal pengetahuan tentang tubuh hendaknya juga diiringi dengan pengetahuan tentang cara-cara menghadapi ancaman kekerasan seksual. “Jika berhadapan dengan hal tersebut, saya secara pribadi belajar melindungi dengan mengikuti kegiatan bela diri,” katanya.

Di Pesantren Tebuireng, dia mengimbuhkan, ancaman terhadap kekerasan seksual juga menjadi perhatian serius para santri lewat organ Dewan Mahasiswa. “Kami di lembaga Dewan Mahasiswa juga punya Menteri Pemberdayaan Perempuan. Pemberdayaan kami lebih berorientasi pada pengembangan wawasan,” tuturnya. Ia juga mengatakan jajaran pengasuh dan pimpinan pesantren ikut mencegah ancaman kekerasan seksual pada perempuan.*

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus