Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beban Trauma Peristiwa 1965

Ketua Umum Gerakan Wanita Indonesia ini menutup sejarah 1965 sekeluar dari penjara. Tak banyak kesaksian Umi Sardjono soal peristiwa berdarah 30 September.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Umi Sardjono (duduk kedua kanan) saat melayat Ibu Sujinah yang wafat di panti jompo, 7 September 2007. Dok. Pribadi Uchikowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Umi Sardjono merasa bertanggung jawab atas pelbagai penyiksaan aktivis Gerwani.

  • Ia menjadi sangat pendiam dan menghindari semua pertemuan tahanan politik 1965.

  • Hingga akhir hayat, ia merasa masih diikuti dan diawasi organ Orde Baru.

“Sesudah puas mereka memperkosa dan saya telah lunglai tak berdaya, mereka beramai-ramai menggiring saya ke jalan dalam keadaan telanjang bulat dan darah mengalir dari kemaluan akibat pemerkosaan itu. Saya diarak berjalan kaki menuju kantor polisi yang berjarak sekitar lima kilometer. Tiba di kantor polisi, mereka mengikat saya di tiang bendera, dengan tetap telanjang bulat, dan darah masih terus mengalir dari vagina.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ITA Fatia Nadia membacakan petikan pengakuan seorang perempuan korban 1965 dari Medan, Sumatera Utara. Para pemerkosanya menuduh perempuan itu terlibat dalam pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965 malam di Jakarta. Dalam sejarah, peristiwa itu dikenal sebagai Gerakan 30 September, G30S. Orde Baru membubuhkan Partai Komunis Indonesia di belakangnya menjadi G30S/PKI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petikan cerita mencekam hasil wawancara itu dibacakan Ita di depan Suharti Sumodiwiryo pada 2005. Suharti adalah Ketua Umum Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang populer dengan nama Umi Sardjono. Ita, Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan, baru selesai mengumpulkan cerita perempuan yang dituduh terlibat G30S, dipenjarakan tanpa pengadilan, disiksa, bahkan diperkosa seperti cerita perempuan asal Medan itu.

Umi menangis mendengarnya. “Itu semua tanggung jawab saya,” ucap Ita menirukan Umi. Pada 1965, Gerwani dituduh terlibat dalam penculikan dan penyiksaan tujuh jenderal Angkatan Darat. Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, aktivis Gerwani digambarkan menyilet jenderal dan berjoget ketika sejumlah tentara menyeret tubuh para jenderal ke sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Dari penelusuran Ita, fakta keterlibatan para aktivis Gerwani dalam peristiwa berdarah itu amat sumir dan simpang siur.

Dalam pertemuan dengan Ita selama satu setengah jam itu, Umi menanyakan kabar para sahabatnya. Salah satunya Sudjinah, seorang wartawan yang ditahan bersamanya di penjara perempuan Bukit Duri dan pernah tinggal bersama di panti jompo. Ita lalu memperlihatkan foto X-ray yang menunjukkan rahim Sudjinah pecah karena disodok dengan sebatang besi.

Tangis Umi kembali pecah. “Itu tanggung jawab saya,” tuturnya, kemudian terisak, mengulang kembali kalimat ini. Meskipun berkali-kali Ita meyakinkan bahwa itu bukan kesalahannya, Umi menepisnya. “Tidak, ini tanggung jawab saya.”

Rumah yang pernah ditinggali Umi Sardjono di jalan Tegalan III, Matraman, Jakarta telah dibongkar dan diratakan oleh pemilik baru, 29 September 2021. TEMPO/Nurdiansah

Ita menemui perempuan aktivis yang terkenal ini di rumahnya di Matraman, Jakarta Timur. Tepatnya di Jalan Tegalan III. Di rumah itu, Umi tinggal bersama Sukirno. Menurut Lilik Hastuti Setyowatiningsih, aktivis Partai Rakyat Demokrat yang pernah menemui Umi untuk riset penyintas peristiwa 1965, Sukirno bekerja di lembaga pendidikan Partai Komunis Indonesia pada masa 1960-an.

Rumah di Jalan Tegalan III tersebut adalah rumah keponakan Umi, seorang notaris. Ia keluar penjara Bukit Duri pada 1978, setelah 13 tahun mendekam sebagai tahanan politik. Rumahnya di Matraman 119, yang tercatat dalam dokumen keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, telah dirampas tentara.

Umi keluar Bukit Duri dijemput Ngasiyah, adiknya. Suaminya, Sukisman Sardjono—pemimpin PKI Jawa Tengah dan Direktur Yayasan Penerbitan Pembaruan—masih diasingkan di Pulau Buru nun di Maluku. Suaminya meninggal pada September 1991 akibat serangan jantung, setelah pemerintah membebaskannya.

Sukisman dan Umi tak memiliki anak. Keduanya tinggal di rumah keponakan di Tegalan III dan dirawat adik Umi, meski mereka tak tinggal serumah. Menurut para tetangga di Jalan Tegalan III, sekeluar dari penjara Umi mengajar bahasa Inggris. Ada juga yang mengatakan Umi sesekali menjadi penerjemah lepas. 

Menurut catatan Fransisca Ria Susanti, wartawan yang menulis buku Kembang-Kembang Genjer yang pernah bertemu langsung dengannya pada 2006, Umi menyewakan dua-tiga kamar di rumah itu. Uang sewa itu yang ia pakai untuk memenuhi kebutuhan hariannya, di samping bantuan-bantuan keuangan dari para keponakan.

Ketua RT 04 Tegalan, Abdul Rozi, yang tinggal di seberang rumah Jalan Tegalan III, mengatakan Umi jarang terlihat menerima tamu. “Budhe jarang sekali keluar rumah,” ujar Rozi. Umi, menurut Rozi, tak pernah ikut dalam kegiatan-kegiatan lingkungan dengan alasan kesehatan. Rozi menambahkan, Umi terkesan sangat berhati-hati dan menjaga jarak dengan penduduk di sekitarnya.

Mujiati dan Utati, mantan tahanan politik Bukit Duri, juga mengatakan Umi jarang mengikuti kegiatan yang diadakan para tapol sekeluar dari penjara. “Bisa dihitung dengan jari,” ucap Mujiati. Salah satu pertemuan yang dihadiri Umi hanya saat Carmel Budiardjo, aktivis perempuan 1965 berkebangsaan Inggris, kembali ke Indonesia sekitar 2000 untuk “reuni” dengan para tahanan politik 65 lain.

Umi tak banyak bicara dalam pertemuan di sebuah restoran di Jakarta Pusat tersebut. Ia lebih banyak diam dan hanya bertukar sapa dengan para tapol perempuan yang hadir. Menurut Mujiati, Umi tak terlihat mengobrol dengan seorang pun dan tak bersenda gurau seperti yang lain. “Selalu serius seperti biasanya, hanya diam,” ucap Mujiati.

Satu pertemuan lain yang dihadiri Umi adalah ketika Yayasan Kalyanamitra, lembaga advokasi perempuan, mendirikan dapur umum pada 1998 untuk mendukung gerakan mahasiswa sebelum Presiden Soeharto lengser. “Inilah yang kami lakukan,” ujar Ita menirukan Umi ketika mendeskripsikan aktivitas Gerwani pada 1960-an. “Dapur umum itu politik domestik yang ditransfer menjadi publik dan di situ menjadi politik.” Menurut Ita, Umi amat bergairah mendukung gerakan mahasiswa.

Gairah Umi juga terlihat jelas ketika bertukar surat dengan Fransisca Casparina Fanggidaej, aktivis Gerwani yang eksil ke Belanda. Menurut Ita, yang mewawancarai Fransisca di Utrecht, setidaknya ada tiga surat dari Umi untuk teman seperjuangannya itu setelah keluar dari Bukit Duri.

Surat pertama berisi sejumlah kenangan sewaktu keduanya masih aktif berpolitik mengurusi Gerwani. Dalam surat kedua, Umi lebih banyak menanyakan pengalaman Fransisca ketika mengikuti konferensi Gerakan Wanita Demokratis Sedunia di Berlin. Sementara itu, suratnya yang ketiga datang selepas pertemuan darat keduanya pada 2003, setelah 38 tahun berpisah. Umi mengatakan rindunya masih belum terobati meskipun telah bersua.

Umi juga kerap bersurat kepada S.K. Trimurti, sekondannya dalam mendirikan Gerakan Wanita Indonesia Sedar pada 1950, cikal bakal Gerwani. Menurut Ruth Indiah Rahayu, penulis biografi Umi Sardjono dari IndoProgress, lembaga kajian, yang intens bertemu Umi sepanjang 2002-2008, Umi dan Trimurti kerap saling mengunjungi setelah 1979. Umi ikut mengantar jenazah Trimurti hingga ke permakaman pada 20 Mei 2008.

Menurut Ita, meski berseberangan dan bergesekan secara ideologi ataupun sikap politik, persahabatan Umi dengan para aktivis perempuan 1960-an terbangun dengan baik. Dengan Fransisca, misalnya. Setiap kali ada seseorang yang hendak ke Indonesia, Fransisca menitipkan uang 50-100 euro untuk Umi. Demikian pula dengan teman-teman lain yang eksil dan menentang sikap politik Umi saat memimpin Gerwani. 

•••

SEKELUAR dari penjara Bukit Duri, Umi sempat tinggal di Panti Jompo Waluya Abadi Sejati di Jalan Kramat 5, Jakarta Pusat, yang diresmikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 2004. Gus Dur membangun panti itu khusus sebagai tempat tinggal para tahanan politik 1965. Umi menjadi salah satu penghuni pada tahun awal panti tersebut berdiri.

Saat ini, salah satu penghuni panti adalah Lukas Tumiso, tahanan politik yang menyelundupkan manuskrip-manuskrip tulisan Pramoedya Ananta Toer ke luar Pulau Buru. Sejauh ingatan Lukas, Umi berbagi kamar seluas 3,5 x 6 meter dengan Sri Sulistyawati, anggota Badan Pendukung Sukarno; Sudjinah, wartawan dan anggota DPP Gerwani; serta Lestari, Ketua Gerwani Bojonegoro, Jawa Timur.

Menurut Lukas, Umi akrab dengan Sudjinah dan Lestari. Namun keakraban tersebut tak serta-merta membuat mereka acap mengobrol. “Kalau merasa tidak ada urusan, dia lebih banyak berada di kamar, membaca koran atau majalah. Yang paling dia suka adalah membaca halaman editorial,” ucap Lukas.

Umi yang pendiam, menurut Lukas, acap membuat penghuni panti sungkan memulai pembicaraan dengannya. Hingga akhirnya Umi memutuskan kembali ke rumah di Jalan Tegalan III setelah sekitar tiga bulan menghuni panti.

Kepada Ruth, Umi mengatakan hati nuraninya terusik tinggal di sana. Ia rupanya merasa tak terlalu berhak menempati panti karena masih punya rumah yang layak buat ditinggali. “Biar di sini untuk kawan yang tidak punya rumah,” tutur Umi kepada Ruth. 

•••

PADA 11 Maret 2011 tepat pukul 02.00 WIB, Umi Sardjono mengembuskan napas terakhir pada usia 88 tahun karena sakit-sakitan. Pada akhir Juni 2006, misalnya, Umi terjatuh sehingga harus dirawat di kamar 514 Rumah Sakit Thamrin. Di kamar ini, Umi kerap dibesuk Fransisca Ria Susanti.

Dari situ, Santi—panggilan akrab Fransisca Ria Susanti—mengetahui bahwa biaya perawatan dan yang menanggung hidup Umi selama ini adalah keponakannya. Saat itu, hasil computed tomography scan Umi menunjukkan sirkulasi oksigen ke otaknya tak lancar. Ia juga memiliki kelainan jantung, tekanan darah tinggi, dan keluhan kolesterol.

Umi Sardjono saat sakit, ditemui kelompok aktivis perempuan di rumahnya, Matraman, Jakarta Pusat, sekitar tahun 2010. Dok. Pribadi Faiza Mardzoeki

Berselang setahun, Umi menjalani operasi glaukoma pada matanya. Ruth menggerakkan penggalangan dana supaya Umi bisa menjalani operasi. Setelah donasi terkumpul, Umi hanya bersedia dioperasi satu matanya. Uang donasi sisanya ia berikan untuk aktivis Gerwani yang miskin. Pada 2008, demensia Umi makin parah hingga mandi pun harus dibantu. Pada 2010, setengah badannya lumpuh akibat ditabrak sepeda motor.

Menurut Ruth, hingga akhir hidupnya, Umi masih merasa diintai oleh orang-orang Soeharto. Itulah kenapa ia terkesan pendiam dan hati-hati berbicara dengan orang lain. Trauma lain adalah perasaan bersalah karena membuat aktivis Gerwani menjadi korban perburuan Orde Baru setelah 1965. Pengalamannya menghuni penjara Bukit Duri membuatnya membatasi pertemuan dengan sesama tahanan politik kendati Soeharto sudah lengser.

Ruth dan Ita menduga Umi mendapatkan penyiksaan yang tak pernah diceritakannya kepada siapa pun. Saat Ita berkunjung ke rumahnya bersama Sulami Djojoprawiro, Wakil Sekretaris Jenderal Gerwani, ia mendengar Umi meminta Sulami melupakan kekejian Bukit Duri. “Yu, wis, ini menjadi rahasia kita,” katanya.

Umi dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Cipinang Asem, Jakarta Timur, satu liang dengan suaminya. Lilik H.S. menggambarkan saat pemakaman seorang perempuan muda melingkarkan melati di atas pusara yang bertulisan “Suharti Sumodirwiryo, lahir 23 Desember 1923, wafat 11 Maret 2011”.

Ketika Tempo mengunjungi permakaman itu pada pekan lalu, pusara Umi sudah tak ada. Di data base pemakaman Cipinang Asem, nama Umi dan Suharti juga tak ditemukan. Rumahnya yang bercat hijau pun kini telah rata dengan tanah. Keponakan Umi menjual rumah itu setelah Umi wafat. Namun tak ada tetangga yang mengetahui jejak keponakan ataupun orang-orang yang pernah menyewa kamar rumah Umi.

Ita Nadia mengenang pertemuan dengan Umi Sardjono bahwa Ketua Umum Gerwani ini amat teguh dalam pendirian. Hingga akhir hayat, kata Ita, Umi tak pernah menganggap PKI atau Gerwani kalah. “Kami diberantas, dimatikan, bukan kalah,” ujar Umi, seperti ditirukan Ita.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus