Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keterlibatan Gerwani dalam Gerakan 30 September masih samar.
Orde Baru membuat stigma Gerwani menghambat gerakan perempuan.
Bagaimana memulihkan luka sejarah ini?
PEMENJARAAN tanpa pengadilan dan kekerasan fisik yang dialami para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ataupun mereka yang dituduh berafiliasi dengan organisasi ini berlangsung serentak. Kekerasan itu diikuti serangan kekerasan verbal terhadap perempuan, berupa label seksual seperti “lonte”, “penyilet penis jenderal”, atau “penari telanjang pembunuh jenderal”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun pemerintah Orde Baru membebaskan perempuan tahanan politik 1965 pada akhir 1970-an sampai 1980-an, dampak propaganda hitam yang menahbiskan stigma anggota Gerwani sebagai perempuan binal dan sadis terus melekat bahkan sampai sekarang. Dari mana asal mula latennya narasi penuh fitnah ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokumen yang bisa kita rujuk untuk membuktikan propaganda sistematis itu adalah Surat Perintah Nomor 01/Drt/10/1965 yang dikeluarkan Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah kepada Panglima Daerah Kepolisian VII/Jakarta Raya. Inti surat perintah tersebut adalah melarang semua harian di Ibu Kota menerbitkan berita tentang peristiwa 30 September 1965, kecuali yang dikelola militer, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.
Perintah itu efektif mengontrol narasi publik yang beredar tentang upaya kudeta “Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi”—sebuah nama gerakan yang dibuat oleh militer. Sejak 1 Oktober 1965 malam, media massa, baik stasiun radio maupun koran, telah berada di bawah penguasaan Angkatan Darat. Semua pemberitaan mengenai Gerakan 30 September harus melalui pemeriksaan pejabatnya.
Pada 7 Oktober 1965, harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha mulai menyiarkan berita bahwa para jenderal mengalami “penganiayaan di luar batas perikemanusiaan” dengan menampilkan foto-foto buram jenazah yang sudah dalam keadaan membusuk. Secara khusus, Berita Yudha menggambarkan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang masih bernyawa setelah ditembak di kediamannya dan dilemparkan ke truk yang membawanya ke Lubang Buaya.
Menurut Berita Yudha, Yani disiksa habis-habisan, antara lain “matanya dicongkel”, sebelum akhirnya dibunuh. Koran yang sama memberitakan tubuh Letnan Pierre Tendean, ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution, dimutilasi dan kedua bola matanya dicungkil, sementara kemaluan perwira lain dipotong.
Pada 11 Oktober, dengan kontrol penuh Angkatan Darat atas media massa, mulai disebarkan kisah-kisah yang menyatakan keterlibatan Gerwani dalam kejahatan terhadap para perwira Angkatan Darat itu. Berita di harian Angkatan Bersenjata pada 3 November 1965 memuat potret dua gadis remaja yang ketakutan dengan pernyataan seorang anggota Pemuda Rakyat yang menyebutkan bahwa ia melihat “tiga puluh orang Gerwani berteriak-teriak, menyiksa dan bermain-main dengan Jenderal Yani yang sudah dalam keadaan pingsan”.
Serangkaian narasi tentang kebrutalan Gerwani yang mengandung “bumbu seksual” ini berseberangan dengan fakta hasil visum terhadap semua jenazah korban oleh tim dokter Tentara Nasional Indonesia. Tim ini diketuai oleh Brigadir Jenderal TNI dokter Roebiono Kertapati. Laporan autopsi terhadap mereka menyatakan tidak ada tanda penyiksaan seperti yang digambarkan pemberitaan dalam surat kabar saat itu. Luka dan cedera yang bukan akibat tembakan tidak menunjukkan penganiayaan dengan silet atau pisau lipat, melainkan disebabkan oleh tusukan bayonet atau mungkin hantaman popor senjata, pengikatan yang terlalu erat, atau benturan dengan benda-benda tumpul.
Kampanye atas kekejaman Partai Komunis Indonesia dan Gerwani sengaja dirancang untuk menyulut kemarahan rakyat terhadap kaum komunis. Elemen narasi sadisme seksual secara spesifik ditujukan terhadap anggota Gerwani sehingga fantasi anti-aktivisme perempuan ini hidup bersamaan dengan berkobarnya api yang menyulut konflik horizontal di tengah masyarakat sipil.
Gelombang pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota Gerwani dan PKI berlangsung pada awal November 1965 sampai 1967. Pasukan elite Angkatan Darat yang dipimpin Letnan Jenderal Sarwo Edhie mulai mengerahkan massa pemuda dan melancarkan aksi “pembersihan sistemik” dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Pulau Bali.
Ketika laporan pembantaian massal ini sampai ke telinga Presiden Sukarno, di tengah guncangan atas kekuasaannya, ia berusaha menghentikan arus berita bohong terhadap PKI dan Gerwani dengan menunjukkan hasil autopsi tim dokter TNI di hadapan para wartawan. Dalam pidatonya kepada Kantor Berita Antara pada 12 Desember 1965, Presiden Sukarno meminta para wartawan menyiarkan berita berdasarkan fakta dan berhenti menyebarkan kebohongan. Hanya dua surat kabar yang menyiarkan pidato Presiden Sukarno tersebut, yaitu Sinar Harapan dan Suara Islam.
Dengan begitu masifnya penyiaran berita bohong dan sensor atas fakta, masyarakat sipil yang tersulut propaganda hitam mulai menyatakan kecaman dan hujatan serta bersama militer terlibat dalam penyerangan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota Gerwani dan PKI. Tidak ada pencegahan ataupun pengadilan terhadap para pelaku penyerangan. Pembiaran ini memberi pengesahan dan pembenaran bagi masyarakat sipil untuk meluapkan amarah dan kebencian mereka dengan cara apa pun terhadap anggota, simpatisan, dan keluarga PKI serta organisasi-organisasi massa yang sehaluan dengan PKI.
Stigma terhadap aktivis Gerwani sebagai segerombolan perempuan yang biadab dan tidak berakhlak menumbuhkan kecurigaan dan kebencian masyarakat terhadap perempuan-perempuan yang berani bersikap kritis. Kisah fantasi tentang sekelompok perempuan muda yang menari-nari telanjang, mempermainkan para jenderal, untuk kemudian menyiksa mereka sampai mati, berbenturan hebat dengan kepercayaan umum akan citra perempuan yang baik, lemah lembut, keibuan, dan sopan.
Lebih dari itu, penggunaan simbol-simbol keagamaan dan moralitas menjadi pengesahan tindak kekerasan terhadap para aktivis Gerwani. Gerwani bukan lagi sekadar nama organisasi yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September, ia beralih menjadi simbol perempuan liar dan tidak beragama, dan melakukan tindakan-tindakan tak berperikemanusiaan serta membahayakan keselamatan bangsa dan negara. Siapa pun yang dituduh sebagai anggota Gerwani berarti sama dengan penjahat haus darah sehingga pantas dihukum seberat-beratnya.
Penyerangan fisik dan verbal terhadap aktivis perempuan Gerwani telah melumpuhkan pencapaian Gerwani sebagai salah satu organisasi perempuan terbesar di zamannya, sekaligus mengawali proses pengendalian gerakan perempuan oleh negara. Sebelum 1 Oktober 1965, Gerwani adalah organisasi legal yang menjalankan kegiatan yang tidak jauh berbeda dengan organisasi perempuan lain dan menjadi anggota Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Agenda Gerwani antara lain mendorong pemberantasan buta huruf dan pemenuhan hak-hak perempuan yang sesuai dengan konstitusi negara. Bahkan beberapa pemimpin Gerwani sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dari Fraksi PKI, meskipun secara organisasi Gerwani tidak pernah menjadi bagian dari partai ini. Situasi politik pada 1965 telah membuat organisasi-organisasi perempuan ikut mengambil sikap negatif terhadap Gerwani. Misalnya, pada 29 Oktober 1965, Kowani memutuskan memecat Gerwani sebagai anggota dan mengutuk perbuatan para aktivisnya, yang mereka anggap telah menjatuhkan derajat kaum wanita, dan mendesak presiden segera melarang organisasi ini.
Sudah 56 tahun berlalu sejak peristiwa politik 1965, tapi tidak pernah ada upaya pemerintah melakukan penyelidikan secara hukum tentang keterlibatan Gerwani secara organisasi dalam Gerakan 30 September. Satu-satunya fakta yang acap dipakai sebagai “bukti” keterlibatan Gerwani adalah keberadaan beberapa aktivisnya di Lubang Buaya untuk mengikuti pelatihan sukarelawan oleh perwira-perwira Angkatan Udara dalam rangka persiapan operasi Dwi Komando Rakyat atau Dwikora. Fakta tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa anggota Gerwani terlibat dalam Gerakan 30 September, apalagi ikut dalam pembunuhan para jenderal.
Dalam perkembangan lebih jauh, istilah “Gerwani” menjadi stigma laten untuk mencegah perempuan terlibat dalam kegiatan politik, terutama yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan hak-hak kaum tertindas secara umum. Pada masa pemerintahan Orde Baru, perempuan yang bekerja untuk pemerintah, juga istri pegawai negeri sipil dan anggota militer, diwajibkan bergabung dalam organisasi bentukan pemerintah, yaitu Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi.
Hierarki kepengurusan organisasi-organisasi istri harus mengikuti hierarki jabatan para suami, dan kegiatan-kegiatannya terpusat pada pemantapan peran perempuan sebagai istri dan ibu untuk mendukung sepenuhnya kebijakan pembangunan nasional pemerintah. Baru pada 1980-an muncul aktivis-aktivis perempuan yang mulai memperjuangkan hak-hak perempuan. Tapi kegiatan mereka di wilayah politik masih terbatas. Setiap kali melakukan kegiatan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah, mereka akan dianggap sebagai “Gerwani Baru.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo