ABDURRAHMAN Wahid dan Rachmawati Sukarno adalah dua sahabat lama. Mereka sudah saling mengenal jauh sebelum yang disebut pertama jadi presiden. Pada peringatan 22 tahun meninggalnya Bung Karno di Blitar, Juni 1992, misalnya, Rachmawati (waktu itu ketua Yayasan Pendidikan Soekarno), sudah mengundang Abdurrahman, yang waktu itu masih menduduki kursi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). "Adanya korelasi pandangan Gus Dur dan kami dalam Pancasila dan UUD 45, yaitu dalam pemikiran demokrasi," ujar Rachmawati kala itu, menjelaskan alasan dia mengundang Gus Dur.
Persahabatan mereka tampak kian erat belakangan ini, ketika keduanya saling mengunjungi. Pekan lalu, Presiden mendatangi rumah adik kandung Megawati itu di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Ini merupakan acara silaturahmi kedua setelah sebulan silam Abdurrahman melakukan hal yang sama. Rachmawati sendiri dua pekan lalu juga berkunjung ke Istana, tempat sahabatnya itu bermukim.
Pada kondisi yang normal, persahabatan di antara mereka sesungguhnya sesuatu yang wajar. Tapi, karena terjadi ketika posisi Abdurrahman sebagai presiden yang sedang kritis, orang ramai tergoda untuk menafsirkan fenomena itu. Lagi pula, ada semacam perang dingin antara Presiden dan wakilnya. Meski secara pribadi keduanya baik-baik saja, secara politik posisi Presiden dan wakilnya berseberangan. Abdurrahman adalah orang yang sudah dua kali mendapatkan memorandum dan terancam dilengserkan posisinya lewat Sidang Istimewa MPR. Adapun Megawati adalah Ketua Umum PDI Perjuangan, salah satu partai yang melalui fraksinya di DPR melayangkan memorandum.
Pada saat bersamaan, orang-orang NU juga tengah menjalin hubungan mesra dengan anak-anak Sukarno di luar Megawati. Sukmawati--adik Megawati yang lain--terlihat hadir di acara istighotsah yang digelar PBNU, di Lapangan Parkir Timur, akhir April lalu.
Sementara itu, Rachmawati menunjukkan sikap "berseberangan" dengan Megawati. Sikap itu, paling tidak, terlihat dari pernyataannya mengenai sang kakak yang dinilainya telah mendua. Ambivalensi tersebut, menurut Rachma, tampak ketika PDI-P yang dipimpin Mega turut menjatuhkan memorandum II kepada Presiden. Padahal, Megawati masih menjabat wakil presiden. Penilaian tersebut diungkapkan Rachmawati kepada wartawan saat menerima Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadi dan beberapa ulama Aceh di Kampus Universitas Bung Karno, dua pekan silam.
Ada yang menduga, upaya pendekatan yang dilakukan Abdurrahman dan NU sebagai bagian dari rencana besar--dan habis-habisan--untuk menyelamatkan kursi kepresidenan. Benarkah keluarga Sukarno terpecah? Mengapa pula NU giat menggandeng keluarga Sukarno seperti Sukmawati dan Rachmawati? Adakah itu merupakan upaya orang-orang dekat Abdurrahman membenturkan mereka dengan Megawati? Ataukah sebaliknya, fenomena itu indikasi bahwa kubu Presiden sedang melunakkan Mega melalui saudara-saudaranya?
Rachmawati menampik dugaan adanya perpecahan dalam keluarga Sukarno. Menurut dia, komentarnya tentang Megawati bukan berarti tidak mendukung kakaknya. "Keliru jika dibilang ada perbedaan pendapat. Saya bilang begini sebagai warga negara yang ingin keadaan yang bengkok itu diluruskan kembali," kata Rachma.
Ia juga menolak dugaan adanya perpecahan dalam keluarga anak-anak Sukarno gara-gara kekisruhan elite politik. Kekisruhan elite, menurut Rachma, lebih disebabkan oleh perangkapan jabatan, yang membuat sikap mereka mendua. Megawati, misalnya, selain ketua partai, juga wakil presiden. "Sikapnya jadi enggak konsisten, membingungkan, dia bicara dalam kerangka sebagai wapres atau ketua partai," ujar Rachmawati.
Putri ketiga Sukarno itu mengaku mendukung duet Abdurrahman dan Megawati sebagai presiden dan wapres hingga 2004. Kendati demikian, itu bukan berarti ia tidak mendukung seandainya nanti Mega naik menjadi presiden menggantikan Gus Dur.
Wakil Sekjen PBNU, Masduki Baidlowi, juga membantah semua isu miring itu. Menurut Masduki, tidak mungkin NU melakukan praktek politik begitu. Justru sebaliknya, silaturahmi Hasyim Muzadi dengan Rachmawati bertujuan meredam dan mencegah pertempuran di tingkat akar rumput, yang bisa saja meledak sebagai efek dari perpecahan elite politik. "Jangan dibolak-balik logikanya. Ini tak ada hubungannya dengan Gus Dur dan Mega," ujar Masduki.
Menurut Masduki, saat ini berkembang suatu skenario besar untuk mencitrakan bahwa NU merupakan organisasi yang destruktif dan anarkis, termasuk kabar yang berkembang santer seputar pertemuan Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadi dengan Rachmawati. "Rekayasa itu sedemikian hebatnya dan dilakukan melalui media. Kami tidak ingin terjebak," ujar Masduki, yang pernah menjadi wartawan.
Kalaupun Hasyim Muzadi terkesan menggandeng Rachmawati, ceritanya memang berawal dari kehadiran Sukmawati di acara istighotsah. Waktu itu Sukmawati duduk di panggung utama, bergabung dengan sejumlah tamu penting lain. "Beliau merasa sangat senang dan dihormati sedemikian rupa oleh warga NU. Acara itu mendatangkan kesan mendalam, bahwa NU dan massanya yang sudah berdatangan ke Jakarta ternyata tidak sesangar yang diberitakan," tutur Duki, panggilan Masduki.
Sepulang dari istighotsah, Sukma menceritakan kesan itu ke Rachmawati. Sebagai panitia haul Bung Karno yang akan berlangsung bulan depan, Rachmawati, menurut Cak Duki, mengaku sangat berkepentingan untuk bersilaturahmi dengan pengurus PBNU. Apalagi, di Jawa Timur kini beredar kabar bahwa acara tahlilan haul Bung Karno akan diboikot oleh warga NU.
Kabar itu, juga gosip keretakan kaum marhaen dan warga nahdliyin, membuat cemas fungsionaris NU dan Ansor. Soalnya, Jawa Timur merupakan kawasan yang rawan terhadap ketegangan itu. Kekuatan massa NU dan PDI-P sama-sama besar. "Jangan sampai itu terjadi, warga NU berhadapan dengan PDI-P. Karena pasti ada yang menarik untung dari konflik tersebut," ujar M.H. Rofiq, Ketua GP Ansor Jawa Timur.
Dari kekhawatiran itulah muncul gagasan Rachmawati untuk melakukan semacam road show dengan Hasyim Muzadi. Keduanya turun ke bawah dan bersentuhan langsung dengan massa NU dan kaum marhaen, sekaligus menetralkan kemungkinan terjadinya konflik di antara dua kelompok tersebut. "Ide itu diberitahukan kepada saya melalui orang kepercayaan Mbak Rachma. Lagipula, masih rencana. Saya belum mengambil keputusan," ujar Hasyim kepada TEMPO.
Bahwa setelah itu Rachma mengeluarkan pernyataan politik yang sangat keras dengan mengecam Megawati, itu bukan karena pengaruh NU. "Dari dulu kan Mbak Rachma memang beda visi dengan Mbak Mega. Itu bukan hal baru dan tak ada kaitannya dengan silaturahmi itu," katanya.
Pertemuan dan silaturahmi dengan keluarga Bung Karno, menurut Cak Duki, sama sekali tak bermuatan politik. Soal kenapa Rachmawati yang dipilih, itu karena NU pasca-istighotsah di Lapangan Parkir Timur Senayan sudah bertekad tidak akan lagi mengurusi wilayah-wilayah kebijakan politik praktis. "Urusan politik biar diselesaikan langsung para elite dan rakyat. NU tidak mau ikut-ikutan," tutur Cak Duki.
Selain membangun silaturahmi dengan Rachmawati, Ketua Umum PBNU, menurut Cak Duki, juga bersilaturahmi dengan tokoh PNI kondang, Ruslan Abdulgani. Semua silaturahmi itu merupakan proyek besar penyelamatan bangsa dan negara. "NU tidak ingin rakyat ikut jadi korban karena para elitenya sedang berseteru," ujarnya.
Wicaksono, Adi Prasetya, Rian Suryalibrata, Adi Sutarwijono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini