Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D.:

Belum ada solusi permanen atas konflik antaretnis di Kalimantan Tengah hingga kini. Sejak kerusuhan Sampit pada pertengahan Februari silam yang menjalar ke Palangkaraya, Kualakapuas, dan Pangkalanbun, kondisi daerah bekas kerusuhan itu belum normal. Rumah-rumah orang Madura yang dibakar belum dibangun kembali. Nasib orang Madura masih menggantung, pun warga Dayak belum sepakat bulat tentang cara penyelesaian masalah dengan orang Madura.

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk itu, kekuatan-kekuatan masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, dan para pakar, akan berkumpul di Sampit mulai 23 Mei 2001 dalam "Kongres Rakyat Kalimantan". Tujuannya adalah mencari solusi yang paling jitu untuk persoalan konflik antaretnis di Sampit, juga di daerah Kalimantan lainnya, atau bahkan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam perhelatan itu, Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D., 63 tahun, seorang ahli antropologi dari Universitas Indonesia (UI), dipastikan mampu memberi sumbangan penting dalam mencari penyelesaian konflik secara permanen. Sebab, pengajar S2 dan S3 di Jurusan Antropologi UI ini tidak saja memiliki pengetahuan akademis, tapi juga punya pengalaman lapangan yang matang di daerah konflik antaretnis di Kalimantan. Parsudi beberapa kali terjun langsung ke daerah konflik etnis di Kalimantan itu, sejak peristiwa Sambas dua tahun lalu. Salah satu pendiri organisasi pencinta alam Mapala UI itu mewawancarai penduduk lokal untuk mendengar suara mereka. "Orang Dayak itu sebenarnya cinta damai," kata doktor lulusan Universitas Illinois di AS itu. Lalu, mengapa orang Dayak bisa menjadi pembunuh? Lelaki yang beristrikan perempuan warga negara AS dan memiliki dua anak ini menjelaskan duduk persoalannya kepada Endah W.S. dan Bernard Chaniago dari TEMPO, di antara kepulan asal rokok dan tumpukan buku-buku yang memenuhi rumahnya di Kompleks Dosen UI, Ciputat, Kamis malam lalu. Berikut adalah petikan wawancaranya.
Menurut temuan lapangan Anda, apa sebenarnya yang terjadi di Sampit? Kebanyakan analisis pakar menyatakan, konflik antaretnis di Sampit adalah benturan budaya. Menurut saya, yang terjadi adalah konflik antarsuku bangsa dalam hubungan antarsuku bangsa, yang merupakan hubungan sosial. Jadi, masalahnya adalah benturan antarsuku bangsa yang menggunakan acuan kebudayaan menurut stereotip atau keyakinan masing-masing, bukan menggunakan acuan kebudayaan secara obyektif. Sebab, bila pangkal persoalannya adalah benturan kebudayaan, yang harus diteliti adalah akulturasi. Dan hal ini sama sekali tidak relevan dengan apa yang terjadi di Sampit. Saya lebih melihat ini sebagai permasalahan antarsuku bangsa atau permasalahan sosial akibat hubungan sosial yang menyangkut jati diri suku bangsa di dalam masyarakat setempat. Preman-preman orang Madura, yang merupakan sebagian kecil dari orang Madura, dengan cepat mencabut parang untuk membunuh. Lalu, orang-orang Dayak bereaksi sesuai dengan keyakinan dasar mereka, yaitu Kaharingan. Mereka percaya adanya dewa-dewa dan kekuatan roh-roh yang menjaga kehidupan kesejahteraan hidup manusia. Akhirnya, orang-orang Dayak menyerahkan masalah ini kepada leluhur untuk minta keadilan dan minta petunjuk, yang disebut manenung atau meramal. Dalam kegiatan itu, dilakukan upacara memanggil roh-roh atau nayau untuk membasmi orang-orang Madura yang preman tadi. Masalahnya, roh-roh ini tidak bisa membedakan mana yang preman dan mana yang bukan. Begitu nayau masuk ke badan, orang itu melakukan pembantaian. Akhirnya orang asal Madura, preman ataupun tidak, dibantai. Artinya, tidak semua Dayak membantai orang Madura, tapi hanya mereka yang kerasukan nayau saja? Awalnya orang Dayak ini memang hanya berupa pasukan kecil, sekitar 80-an orang. Itu menurut informasi masyarakat setempat. Faktanya, orang Dayak itu memang membantai orang Madura dengan cara mengerikan. Ada sebuah cerita tentang orang Dayak dan Madura yang bertetangga baik, mereka bersahabat. Tapi orang Madura itu tetap dicari. Oleh orang Dayak sahabatnya, si Madura disembunyikan di lemari pakaian. Begitu yang menyerbu sudah keluar rumah, si orang Dayak itu senang karena ia menganggap sahabatnya selamat. Ketika lemari dibuka, kepala si Madura sudah terpenggal. Jadi, mandau orang Dayak itu yang mencari kepala orang Madura. Ini nyata, lo. Yang cerita ke saya adalah orang Dayak sahabat si Madura yang kepalanya terpenggal itu. Saya mewawancarai orang Dayak yang menjadi anggota pasukan itu. Saat itu ia masih belum "normal", masih kerasukan roh. Matanya masih merah dan berputar-putar. Dia mengatakan sudah sekian minggu tidak tidur. Saat saya tanya, "Bagaimana Saudara mengenali orang Madura?" dia menjawab, "Orang Madura itu bau sapi, orang Dayak bau ular, dan orang Jawa itu bau manusia. Bapak ini bau manusia," katanya. Apakah orang-orang Dayak yang dirasuki nayau ini sudah dibersihkan? Pemanggilan nayau selalu minta makan darah. Orang-orang Madura yang akan dibantai sudah tidak memiliki darah. Jadi, tidak ada darah yang berceceran. Ini menarik karena bila nayau ini tidak segera dikembalikan, mereka akan terus minta darah. Selain orang Madura, siapa saja bisa dimakan. Maka, diadakan upacara mengembalikan nayau ke langit dengan menyembelih tiga ekor kerbau atau sapi di bukit batu, daerah keramat di selatan Palangkaraya. Nah, orang-orang yang dipakai membunuh ini diberi tanda bahwa mereka sudah bersih, sudah menjadi orang normal lagi. Artinya, bagi mereka sudah tidak ada lagi pembantaian dan pertumpahan darah. Lalu, bagaimana kerusuhan bisa meluas ke daerah-daerah lain? Setelah kelompok kecil itu menang, orang-orang Dayak yang semula tidak berani jadi ikut-ikutan. Semua menganggap dirinya pahlawan, semuanya ingin menyerbu. Ini yang terjadi di luar Sampit, seperti di Palangkaraya, Kualakapuas, dan Pangkalanbun. Sebenarnya sudah ada perjanjian damai di Sampit. Tapi yang melanggar itu orang Dayak. Sebab, sebetulnya setelah perjanjian damai di Sampit, tidak ada ancaman bagi orang-orang Dayak, baik di Sampit maupun di kawasan lain. Yang saya kaget lagi, ada laporan media massa yang menyatakan terjadi serangan ke orang Dayak. Padahal setelah saya cek tidak terjadi apa-apa. Menurut saya, meluasnya konflik salah satunya karena memang ada tukang kipasnya, yang merasa ikut andil ingin memenangkan orang Dayak. Bagaimana dengan dugaan polisi yang menyatakan bahwa tokoh masyarakat Dayak, Prof. H. K.M.A.M. Usop, adalah provokator? Setahu saya, Prof. Usop ini justru mencoba mendinginkan suasana. Dalam salah satu pidatonya, disebutkan bahwa sekarang waktunya untuk berdamai dan tidak ada lagi pembunuhan. Menurut Prof. Usop, dewa-dewa nayau sudah dikembalikan ke langit dan kita sudah menjadi manusia normal lagi. Maka, jika terjadi pembunuhan, orang itu harus ditangkap sesuai dengan prosedur hukum. Setelah Usop ditangkap, bagaimana reaksi masyarakat Dayak? Reaksinya sangat keras dan bisa saja memicu pertumpahan darah lagi. Ini yang saya khawatirkan. Bila ada provokasi, bisa terjadi konflik lagi dan yang digempur bukan Madura, tapi pemerintah. Apa sebenarnya tujuan kongres? Pertama, untuk mengembalikan prinsip negara Indonesia sebagai negara kesatuan. Orang asli Kalimantan kembali bersatu dengan suku bangsa yang ada. Karena itu, orang-orang Madura harus diterima kembali. Tapi orang-orang Madura yang diterima jangan yang preman. Kesepakatan yang dihasilkan dalam kongres ini nantinya akan menjadi payung bagi masyarakat lokal, hingga peringkat kelurahan, RW, RT. Bagaimana menyaring orang Madura yang preman atau bukan? Salah satunya dengan prioritas bahwa yang diterima tinggal di Sampit adalah orang Madura yang sudah punya dua hingga tiga generasi. Pendatang baru harus diperiksa latar belakangnya, apakah kriminal atau bukan. Ada semacam screening, walaupun itu nantinya susah. Ide menerima kembali orang Madura itu jauh lebih maju daripada yang terjadi di Sambas. Di sana, orang Melayu sama sekali tidak mau menerima orang Madura, meskipun orang Madura sudah tinggal selama tiga generasi. Dan yang menarik, solusi di Sampit itu bukan suara pemerintah, tapi suara orang Dayak sendiri. Apakah ide screening ini bisa direalisasi? Realistis. Contohnya, ikrar orang Madura di Pangkalanbun yang menyatakan akan mematuhi dan memagari mereka sendiri dari penyusupan para preman tadi. Misalnya, mereka tidak mau menerima orang yang tidak memiliki indentitas jelas. Malam hari setelah ikrar ini dibuat, saya tanya penduduk Melayu, Dayak, Banjar, dan Jawa, apakah mereka ingin perang atau damai. 50 persen mengatakan perang, sisanya damai. Dan yang paling bersemangat untuk berperang adalah orang Melayu dan Banjar. Lalu saya tanya mengapa mereka mau perang. Alasannya, orang Madura tidak bisa beradaptasi, tidak bisa menghargai. Mereka menjawab, yang bisa beradaptasi adalah orang-orang Madura yang sudah tinggal di Kalimantan selama dua atau tiga generasi. Dan saat ini masih ada sekitar 20 ribu orang Madura yang masih tinggal dan dilindungi di Sampit. Apakah penyelesaian konflik yang diupayakan pemerintah tidak efektif? Yang saya tahu, misalnya pada konflik di Sambas, Kodim setempat memanggil tokoh-tokoh masyarakat yang diangkat oleh pemerintah. Ini sama saja dengan menyuarakan pemerintah. Yang sekarang ini, semua pihak boleh menyumbangkan pendapat untuk penyelesaian konflik. Apa sebenarnya akar konflik di Sampit dan daerah lain? Orang Dayak di Kalimantan Tengah itu sebenarnya cinta damai. Untuk itu, mereka selalu mengalah. Mengapa mereka begitu? Karena sebelumnya mereka tukang mengayau, tukang membunuh, tapi perilaku itu sudah tidak ada sejak 1894, setelah perjanjian di Tumbang-anoi. Isi perjanjian itu adalah setiap pelaku kejahatan harus membayar denda, bukan nyawa dibayar nyawa seperti prinsip orang Madura. Kalau Dayak sakit hati, ya, harus bayar denda melalui sebuah upa-cara. Dari barang yang hilang hingga membunuh, ada hukumannya. Nah, kedatangan orang Madura itu merusak semua tatanan ini. Sebenarnya dalam setiap hubungan sosial ada aturan main yang ditaati, yang bisa berupa konvensi sosial, aturan adat, dan yang berdasar hukum. Tapi aturan main itu tidak berjalan dengan baik. Aparat polisi, misalnya, tidak terbiasa menangani masalah suku bangsa seperti ini dan menangani gejala konflik etnis. Apakah menurut Anda pemerintah berpihak ke salah satu etnis? Enggak juga. Yang menarik, orang Madura menganggap pemerintah berpihak pada Dayak, dan orang Dayak menganggap sebaliknya. Itu karena pemerintah, melalui polisi, tidak tahu bagaimana harus bertindak. Akhirnya kedua etnis itu memusuhi polisi. Orang Madura bilang, polisi membiarkan orang Madura dibantai Dayak. Orang Dayak juga mengatakan, dalam peristiwa orang Dayak yang sudah dibunuh sebelum peristiwa Sampit?sekitar 36 orang itu?polisi dianggap tidak melakukan apa-apa. Apa perbedaan dan persamaan konflik etnis di daerah-daerah Kalimantan? Prinsipnya sama, terjadi premanisme dari orang Madura. Cara pembalasannya hampir sama. Di Kal-Teng, orang Dayak memanggil nayau. Sedangkan di Kal-Bar, orang menyembelih ayam dan kambing, lalu mengumpulkan darahnya dalam mangkuk merah. Orang yang mencium mangkuk merah itu bisa kemasukan roh. Tapi, di Kal-Bar, konflik utama yang terjadi adalah antara Melayu dan Madura. Jadi, menurut Anda, siapa yang paling bertanggung jawab atas konflik Sampit? Yang harus bertanggung jawab, ya, nayau. Tapi itu kan tidak bisa dimejahijaukan? Ya, memang demikian. Kita saat ini dihadapkan pada masalah ruwet. Mungkin hakimnya harus memanggil para nayau juga, ha-ha-ha....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus