Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menggugat Bias Tafsir

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK menawarkan pembaruan yang menggegerkan, namanya jadi buah bibir kalangan ulama. Siti Musdah Mulia, 45 tahun, ketua tim counter-legal Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama, pada Oktober 2004 menawarkan beberapa ”tafsir baru” hukum Islam, seperti larangan poligami, kawin kontrak, dan revisi rukun nikah. ”Selama ini hukum hanya berdasar pada sepotong ayat,” katanya. ”Mereka tak melihat Quran secara lengkap.”

Keberanian Musdah mengusung ide kesetaraan gender memang bukan tanpa risiko. Majelis Mujahidin Indonesia, misalnya, mendatangi dan meminta Musdah menarik kembali pemikirannya. Kalangan ulama fikih konservatif menganggap Musdah hanya bersandar pada rasio. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak awal menganggap hasil kerja Musdah melenceng dari rel syariat Islam. ”Mereka sudah keluar jalur,” kata KH Ali Mustafa Ya’cub, anggota Komisi Fatwa MUI. ”Itu merupakan hukum iblis.”

Toh, Musdah tetap bergeming. Apalagi dosen Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini merasa mendapat dukungan kelompok cendekiawan ”berpikiran maju”. Ulil-Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal, misalnya, menyatakan upaya tafsir ulang (ijtihad) atas hukum Islam merupakan keniscayaan. Dalam pandangan Ulil, Quran dan hadits memang abadi. Tapi, tafsir dan penerapan hukum Islam harus selalu mengikuti perkembangan sosial-politik masyarakat.

Langkah Musdah justru mendapat sokongan penuh dari sang suami, Prof Dr Ahmad Thib Raya MA Sebagai ahli tafsir Quran dan hadits di Universitas Islam Negeri Jakarta, Ahmad Thib kerap menyuplai Musdah dengan nash Quran dan hadits yang relevan. ”Bila sedang mentok, suami saya sering membantu mencarikan dasar hukumnya,” ujar Musdah.

Musdah memang tak bekerja sendirian. Dalam tim yang dipimpinnya ada beberapa ahli yang aktif memberi masukan, antara lain KH Afifuddin Muhajir MA (pengasuh Pondok Pesantren Sukorejo, Asembagus, Situbondo), Drs Imam Nakhai MHI (dosen Ma’had Aly, Situbondo), Dr Hamim Ilyas MA (dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), dan Dr H Zainun Kamal MA (dosen Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta). Selama satu setengah tahun, tim kerja yang dibiayai oleh Asia Foundation ini menelisik dan menggagas hukum Islam yang baru.

Mereka juga melakukan studi lapangan selama dua bulan di Aceh, Sumatera Barat, Makassar, dan Nusa Tenggara Barat. Hasilnya, selain larangan poligami dan memperbolehkan kawin kontrak, tim ini menyatakan posisi perempuan harus benar-benar setara dengan laki-laki.

Kini Musdah menyerahkan hasil kajiannya ke publik. Doktor lulusan UIN Jakarta ini mengaku mendapat sandungan dari Mahkamah Agung dan DPR. Kompilasi Hukum Islam versi Musdah dipastikan tak akan lolos menjadi undang-undang. ”Saya kasihan pada mereka yang melihat Quran dan hadits hanya dalam potongan-potongan kecil,” kata Musdah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus