Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
He’s real nowhere man Sitting in his nowhere land Making his nowhere plan for nobody
(The Beatles)
TATKALA suara ledakan menggelegar keras—beton dan kaca-kaca jendela rontok seperti daun di musim gugur—Achmad Usman, 39 tahun, berlari menyongsong asap putih yang meruapkan bau mesiu di depan Kedutaan Besar Australia, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Kamis 9 September lalu itu, suara orang mengaduh seperti kor yang sayup-sayup terdengar setelah dentuman besar memekakkan telinga. Puluhan manusia roboh. Bau anyir darah merambati udara.
Achmad melesat dari Pasar Festival, berjarak dua gedung dari sumber ledakan. Buruh kontrak itu sudah sebulan bekerja memperbaiki jaringan air conditioning di sana. Tatkala orang-orang masih terpacak diam campur ngeri, dia bergerak cepat. Dari balik tirai asap putih, satpam Syahroni berjalan terhuyung membopong seorang gadis cilik. Satpam itu pingsan setelah bergerak beberapa langkah. Sedetik kemudian, Achmad sigap menyambut tubuh Elizabeth Manuela Babina Muzu, nama si upik. Dari kepala bocah lima tahun itu, darah mengucur deras. ”Bersemburannya seperti pipa air yang putus,” ujarnya.
Dia tak pernah lupa pada mata Nunuk, nama kecil bocah itu. Saat kritis, bola matanya membalik, hanya putih yang terlihat. Achmad teringat mata anak bungsunya yang meninggal pada usia tiga bulan. ”Saya kira dia juga sudah mati,” ujarnya. Tatkala dia berlari menggendong bocah itu, terdengar suara rintihan, ”Mama, mama….” Achmad tak tahu di mana ibunya.
Belakangan, sang ibu ditemukan tewas di tempat. Delapan nyawa lainnya hilang dan ratusan luka-luka akibat serangan aksi bom laknat itu. Posisi ibu dan anak itu memang hanya belasan meter dari titik ledakan. Achmad membawa Nunuk ke Rumah Sakit MMC sampai dokter bilang anak itu masih bernyawa. Di luar, orang masih berkerumun. Bingung. Achmad menghilang di tengah keramaian.
Aksi Achmad itu sempat terekam kamera seorang fotografer. Besoknya, sejumlah media cetak nasional dan asing menempatkan aksinya menolong bocah itu pada halaman pertama.
Dia mendadak menjadi pahlawan. Setidaknya bagi Manuel Muzu, ayah Nunuk yang sempat mencari Achmad ke mana-mana. Manuel bahkan membawa lelaki kurus itu menjenguk Nunuk di rumah sakit di Singapura. ”Seumur hidup baru kali itu saya ke luar negeri,” kata Achmad.
Tinggal di Kampung Totopong Peuntas, Cijeruk, Bogor, Achmad datang dari keluarga jelata. Tak jauh dari kampungnya di kaki bukit Rancamaya, terletak perumahan mewah dan lapangan golf. Setiap hari, warga Totopong itu meniti hidup dalam gering kemiskinan. Rumahnya setengah semen setengah papan. Lantainya tanah merah yang berlumpur di musim hujan. Rumah itu tampak sesak menampung istri, dua anak, dan sejumlah sanak keluarga.
Tak tampak satu perabot pun di ruang tamu. Satu-satunya berkah adalah uang kaget Rp 10 juta yang diperolehnya dari satu acara televisi. Tapi satu per satu hadiah yang diperolehnya itu dilego untuk mengganjal perut. ”Beginilah kehidupan buruh lepas,” ujar lelaki yang rajin berlatih silat itu. Sudah dua bulan dia menganggur.
Ia tak pernah berharap jadi pahlawan. ”Saya hanya tak tahan melihat orang sekarat,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo