SALAH satu wajah yang ikut mewarnai dunia sepuluh tahun
terakhir ini adalah terorisme. Dalam jangka waktu yang tidak
panjang, sudah beribu-ribu teror terjadi dengan bermacam cara.
Dalam semua peristiwa itu senjata senantiasa memegang peranan
penting.
Dan salah satu yang paling menakutkan adalah bom -- yang masuk
kategori paling efektif dalam menjalankan teror. Sebuah bom yang
disembunyikan di suatu tempat -- dalam sebuah pesawat yang
dibajak, misalnya -- adalah ancaman yang paling sukar diatasi.
Usaha penyelamatan harus berlomba dengan sebuah pencetan yang
cuma memakan waktu satu detik.
Lebih-lebih bila bom yang digunakan itu bom nuklir. Misalnya
yang ditempatkan di tengah sebuah kota -- walau kemungkinan ini
terasa agak tipis. Yang penting ialah: cara bekerja sebuah bom
nuklir sudah bukan rahasia lagi kini. Begitu sederhananya,
sampai seorang anak remaja di Amerika pernah secara kebetulan
menemukannya. Juga bukan hal aneh kalau gambar konstruksi bom
ini dimuat di majalah-majalah teknik. Karena itu, pada
prinsipnya, bom nuklir bisa dibuat secara amatir.
Untunglah, ada yang bisa dianggap sulit dalam membuat bom jenis
itu -- yakni mendapat bahan bakarnya dan membuat
"detonator"-nya. Bahan bakar bom nuklir yang paling umum adalah
plutonium dan uranium 235. Sedang uranium yang punya kemungkinan
dicuri -- terdapat dalam alam dan digunakan juga dalam industri
--adalah uranium 238. Dibutuhkan biaya yang tinggi dan peralatan
yang besar untuk mengubah uranium 238 menjadi uranium 235, Di
sisi lain, ledakan bom nuklir terjadi akibat "tembakan" partikel
netron ke inti atom uranium 235. Desakan dalam inti atom uranium
tersebut yang menimbulkan energi dan menghasilkan sinar gamma
yang memiliki daya tembus -- radiasi -- yang tinggi. Pembuatan
partikel netron inilah -- bisa juga disebut detonator dalam arti
sederhana -- yang sulit, dan membutuhkan teknik tinggi.
Nah. Bila kesulitan ini bisa diatasi, main-main bom nuklir
memang menakutkan. 1 ons saja uranium 235, punya daya ledak yang
sama dengan 1.600 ton TNT.
Kemungkinan pencurian bahan bakar nuklir memang ada. Tahun 1977,
koran berpengaruh The New York Times pernah membongkar kasus
penggelapan uranium dan plutonium. Berdasar penyelidikan sebuah
komisi yang dibentuk Kongres AS, diketahuilah NRC -- badan
logistik nuklir AS -- kehilangan 4.000 kilogram uranium dan
plutonium, terhitung dari tahun 1960 sampai 1967.
Tahun 1974 untuk pertama kalinya Amerika mendapat ancaman
terorisme nuklir itu. Sang pelaku mengaku telah memasang sebuah
bom di sebuah tempat di Boston. Ia minta uang tebusan US$
200.000.
Kepanikan timbul karna tak sebuah badan pun disiapkan untuk
mengatasi terorisme macam itu. Tapi sebuah operasi besar untuk
menjaga kemungkinan kemudian disiapkan. Sekelompok ahli fisika
dari sebuah badan penyelidikan untuk kemajuan, dengan akronim
ERDA, yang identitas para anggotanya dirahasiakan, dimobilisir
untuk menanganinya dcngan sebuah operasi. Mereka ditetapkan
harus berkeliling Boston, menjelajah setiap sudut untuk mencari
bom yang dipasang. Memang bila wajah para ahli itu dikenal,
kelompok teroris diduga akan segera menembak mereka.
Para sarjana itu diterbangkan ke New York dengan sebuah pesawat
komersial --sedang peralatan mereka diangkut dengan sebuah
pesawat Angkatan Udara AS yang dijaga ketat sejak
pemberangkatan. Sebuah mobil pos disewa untuk program pencarian.
Alat yang digunakan adalah detektor yang mengandung sodium
yodida --dapat mendeteksi plutonium, uranium maupun benda-benda
lain yang menjadi radioaktif akibat emisi plutonium dan uranium.
Tapi, rupanya para ahli ini tidak terbiasa bekerja bagai
detektif. Sebuah bagian kecil dari instalasi detektor, ternyata
tertinggal. Dan ahli-ahli itu pun putus asa. Boston direlakan
menunggu nasib.
Ketegangan kemudian berakhir ketika jam yang disepakati bagi
penyerahan uang tebusan berlalu, dan ternyata tak seorang pun
muncul mengambilnya. Dan Boston tidak hancur. Ancaman teror itu
ternyata cuma lelucon.
Toh itu bukan gertak satu-satunya. Hingga kini tercatat 60 surat
ancaman yang melibatkan bom nuklir. Tahun 1975, masuk ke meja
FBI surat senada yang menyertakan gambar konstruksi sebuah bom
jenis itu.
Walaupun hampir semua ancaman ternyata kosong, FBI, CIA dan
badan-badan nuklir senantiasa bergerak.
Satu-satunya ancaman yang tidak kosong terjadi tahun 1979.
Seorang pekerja pabrik General Electric (GE, yang memproduksi
antara lain lemari es) mencuri setengah kilogram uranium.
Pencoleng ini minta tebusan US$ 100.000 untuk pengembalian zat
radioaktif itu. Sekali lagi pencarian dengan detektor yang serba
lengkap gagal: zat radioaktif itu baru bisa ditemukan setelah
pencurinya tertangkap. Lagi-lagi rakyat AS beruntung tanpa
mereka sadar.
Karena kasus macam ini terus juga berulang, Amerika memutuskan
membentuk sebuah badan anti terorisme nuklir, dikenal dengan
akronim NEST Badan ini cukup elite. Di awal pembentukannya
mendapat dana sebesar US$ 1,5 juta. Dan di tahun 1981 ini dana
yang disediakannya sudah mencapai US$ 50 juta.
Jalur kerjanya pun khusus dan tingkat tinggi. NEST dijaga dengan
ketat. Punya saluran-saluran telepon khusus yang berhubungan
dengan semua badan keamanan nasional, termasuk Kementerian Dalam
Negeri, Pusat Angkatan Perang AS Pentagon, dan Dinas Rahasia AS
CIA. Semua saluran itu pun dijaga 24 jam. Pada setiap telepon
dipasang alat perekam yang bisa memperlambat kecepatan bicara,
hingga sebuah pesan bisa diulang kembali dan didengarkan dengan
jelas. Juga terdapat alat-alat pengirim gambar yang dapat
mengkopi peta atau gambar konstruksi dari jarak jauh. Di
mana-mana ditempelkan motto kerja: sampaikan berita dengan
'lari, bukan 'berjalan'.
Ahli-ahli fisika yang bekerja di NEST sebenarnya sudah
dipekerjakan sejak hampir 20 tahun sebelum badan anti terorisme
nuklir dibentuk. Keadaan darurat akibat senjata nuklir sudah
lama dikenal, hanya saja main-main dengan bom nuklir memang
belum seperti tahun-tahun berikutnya.
Tahun 1966, sebuah pesawat pengebom AS B-52 jatuh di Palomares,
Spanyol. Kericuhan terjadi karena pesawat ini membawa 4 buah bom
berkepala nuklir -- dan empat-empatnya hilang dalam kecelakaan
itu. Amerika mengerahkan sekelompok ahli untuk mencari. Tiga
buah bom segera ditemukan. Satu di dasar laut, dengan upaya
sedikit lebih sulit: detektor terpaksa dikonstruksikan di kaki
sebuah helikopter.
Tahun 1969, Amerika mencoba menembakkan sebuah peluru kendali
berkepala nuklir pula -- dari Green River, Wyoming, dengan
target daerah tandus White Sands. Peluru ini ternyata nyasar:
dengan ketinggian 300 kaki dan kecepatan 200 mil per jam, ia
membelok masuk daerah Mexico dan jatuh di bagian barat laut
negara itu. Dan keadaan darurat akibat senjata ini sempat
menegangkan hubungan AS - Mexico. Untung sejumlah ahli dapat
segera menemukan kembali peluru nuklir yang nakal itu -- yang
alhamdulilah jatuh dengan utuh dan tidak meledak.
Sistem pencarian sebenarnya sederhana saja. Sebuah detcktor yang
mengandung sodium yodida akan memberi tanda bila di daerah
sekitarnya terdapat zat radioaktif. Bila radiusnya sudah
ditemukan, pusatnya akan segera mudah didapat.
Yang disebut zat radioaktif, dalam suatu pencarian bom atau
uranium yang dicuri, bukan hanya pusat target bom atau uranium
itu. Semua benda di sekeliling sumber radioaktif ini juga akan
menjadi radioaktif -- bergantung pada besarnya kekuatan sumber.
Suatu zat disebut radioaktif bila inti atom zat itu berada dalam
keadaan tidak stabil dan mengakibatkan terpancarnya
partikel-partikel alpha, beta dan sinar gamma. Inilah yang
disebut radiasi.
Uranium dan plutonium adalah zat-zat yang tak pernah stabil, dan
senantiasa memancarkan sinar gamma. Dan sinar inilah yang
membuat semua inti atom zat di sekelilingnya menjadi tidak
stabil juga, menjadi radioaktif. Partikel-partikel dan sinar
akibat emisi -- atau peluruhan akibat usaha menjadi stabil --
sangat berbahaya bagi manusia karena merusak jaringan sel.
Cara kerja ini, yang sudah dikenal lama dengan nama mendeteksi
zat-zat radioaktif, kini dengan adanya terorisme nuklir menjadi
semacam kerja dinas rahasia. Prinsip-prinsip alat detektornya
tidak berbeda, tapi bentuk dan cara pemakaiannya mengalami
revolusi.
Ahli-ahli fisika dari NEST dalam beroperasi tidak lagi seperti
biasanya menjunjung-junjung detektor sebesar koper. Bentuk
detektor dalam menghadapi terorisme nuklir sudah bermacam-macam.
Ada yang sebesar kaleng tembakau yang bisa diselipkan ke saku
baju. Ada pula yang berbentuk hearing add, lengkap dengan
earphone-nya, dan tanda adanya zat radioaktif mudah terdengar,
sekaligus terukur jaraknya.
Sebagai lazimnya dinas rahasia, NEST memiliki berbagai peralatan
ala James Bond. Helikopter khusus, misalnya, alat komunikasi
yang bisa membuat kontak pada jarak 750 mil. Juga alat-alat
potret istimewa yang dibuat oleh pabrik-pabrik terkenal seperti
Nikon dan Hasselblad, yang memiliki lensa berkekuatan 1.000
meter. Belum lagi alat-alat peneropong yang menggunakan sinar
infra merah.
CARA agen NEST beroperasi pun tak berbeda dari gaya alat-alat
yang dibawanya. Berbagai paspor, tanda vaksinasi dan peralatan
penyamaran disediakan. Untuk setiap operasi seorang agen akan
membawa uang berupa cek sebesar US$ 10.000 dan US$ 2.000 dalam
bentuk tunai.
Walaupun peralatan dan mekanisme sudah diatur begitu rapi,
hingga kini NEST belum pernah berhasil menjadi pahlawan. Bila
suatu kali terorisme nuklir yang sebenarnya muncul, pasukan
komando ini toh belum lagi bisa diandalkan.
John F. Doyle, Direktur Teknis NEST, menyebut beberapa alasan.
Menurut ahli fisika ini, bagaimanapun sulit mendeteksi sumber
radioaktif yang tersembunyi. Detektor sering terganggu oleh
radiasi lemah lainnya. Sebuah jam kuno yang mengandung radium
misalnya, bisa mengakibatkan tanda pada detektor berbunyi. Di
samping itu pun ahli fisika di NEST tidak segesit agen dinas
rahasia. Mereka tak mendapat latihan militer. Juga tidak
terbiasa curiga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini