AKHIR Maret cuaca sering tampak cerah. Biasanya ini pertanda
musim kemarau mulai datang -- meskipun di beberapa wilayah tanah
air justru musim hujan mulai muncul. Karena itu, musim hujan
atau kemarau, cuaca harus diramalkan terus.
Hasil ramalan pun harus terus menerus dikirim ke berbagai pihak
yang memesannya. Di negara-negara maju ramalan cuaca telah
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang berkaitan dengan
perhubungan, pertanian, pariwisata, perindustrian, tanah dan
sebagainya. Tapi di Indonesia, masih lebih banyak digunakan
untuk penerbangan.
Para meteorolog memang hanya memberi data-data keadaan cuaca.
Pemanfaatannya tergantung pada pemesan. Dalam hal penerbangan,
misalnya, keputusan ada di tangan pilot untuk terbang atau
tidak dalam satu keadaan cuaca tertentu. "Jika ketinggian awan
di satu lapangan udara kurang dari 100 meter, biasanya pilot
tak berani mendarat," ungkap Kepala Stasiun Meteorologi
Pelabuhan Udara Polonia, Medan, J.S Suharsono "tapi itu berarti
Jawatan Meteorologi harus memberi petunjuk kepada pilot lapangan
terbang, mana yang sedang bercuaca baik dan dapat didarati."
Menurut Suharsono, meramalkan cuaca di daerah tropis seperti di
Indonesia, jauh lebih sulit dibanding daerah sub tropis. "Di
daerah tropis temperatur dan tekanan udara berbeda-beda antara
satu daerah dan daerah lainnya," tambah Suharsono "sedangkan di
kawasan sub tropis, seperti Jepang, Australia udara hanya satu
jenis." Sebab itu, menurut laki-laki kelahiran Malang ini,
janganlah mengharapkan ramalan cuaca itu akan tepat seluruhnya.
Dan karena itu pula, tambahnya, tak perlu heran jika satu bagian
wilayah Indonesia sedang dilanda kemarau, sementara wilayah
lainnya digenangi banjir.
Dikencingi
Lebih-lebih lagi karena peralatan yang ada di berbagai stasiun
observasi cuaca umumnya sudah tua -- sering pula macet.
"Sehingga untuk wilayah Indonesia yang luas ini, sulit dikaver
secara lengkap," ujar Suharsono lagi. Pengalaman pahit para
peramal cuaca (biasa disebut forecaster) justru bila ramalan
mereka meleset. "Sering dicacimaki," cerita Suharsono "bahkan
ada juga pilot yang datang sambil marah-marah."
Di darat, para peramal cuaca bekerja dengan bantuan barometer
dan termometer yang setiap saat menunjukkan tekanan dan suhu
udara waktu itu. Selain itu di stasiun-stasiun observasi umumnya
terdapat pula alat yang disebut Evaporimeter, yaitu sejenis
kolam yang rata-rata berukuran 1 x 1 meter, selalu berisi air.
Gunanya untuk melihat penguapan air agar diketahui data tentang
curah hujan. Sebuah alat lain, Tup Animometer namanya,
dipergunakan untuk mengukur kecepatan dan arah angin. Di
beberapa stasiun observasi cuaca terdapat juga teleks SSB untuk
mengirim dan menerima data.
Radio Sonde adalah alat pengukur keadaan udara yang diluncurkan
ke atas permukaan bumi melalui sebuah balon gas. Dengan
ketinggian sampai 30 km dari tanah, radio tadi akan mengirimkan
catatan tenung temperatur, tekanan udara dan kelembaban di atas
sana kepada alat penerima di bumi. Setiap hari, satu stasiun
observasi paling sedikit 2 kali meluncurkan Radio Sonde. Jika
dihitung-hitung, setiap kali peluncura dapat menelan biaya
sekitar Rp 60.000. Setelah menunaikan tugasnya, radio dan balon
tadi akan langsung rusak dan jatuh entah di mana.
Semua data yang ditunjukkan alatalat tadi langsung dicatat oleh
petugas yang melayaninya. Kemudian dikirim ke Badan Meteorologi
& Geofisika di Jakarta dan instansi-instansi yang memerlukannya.
Lucunya, seorang petani di rastagi, Sum-Ut, pernah menemukan
Radio Sonde yang telah rusak itu. "Ketika ia melapor ke polisi,
ia malahan ditahan dengan tuduhan memiliki barang terlarang,"
ungkap Suharsono.
Telah bekerja di Jawatan Meteorologi selama 23 tahun, Suharsono
tak banyak mengalami hal luar biasa. Yang penting, katanya,
instansi ini dikenal sebagai jawatan yang kering. "Padahal kami
ini seperti pelita," kata bapak dari 3 orang anak itu,
"diharuskan menyala terus, sementara minyak selalu kurang."
Tapi suatu ketika pernah juga terjadi hal yang menjengkelkan.
Anak buah Suharsono pernah memasang mangkuk pengukur curah hujan
di suatu tempat. Seseorang yang iseng rupanya telah mengencingi
mangkuk itu sehingga penuh. Akibatnya, kesalahan besar terjadi
pada ramalan. "Semestinya curah hujan hanya sekitar 2 mili,
karena mangkuk itu penuh air kencing, dalam ramalan disebutkan
curah hujan sampai 5 mm," cerita Suharsono yang lulus Akademi
Meteorologi Bandung tahun 1957.
Tukidi, 48 tahunj pegawai Meteorologi & Geofisika Penerbangan
Wilayah Tanjungperak, Surabaya, langsung mengeluh tentang
tugas-tugasnya. "Bayangkan," tuturnya "hampir tak ada waktu
untuk istirahat -- pagi kerja, siang kerja, malam kerja."
Tampaknya ia sudah bosan pada kerjanya. Tapi ia juga tampak
pasrah. "Habis mau apa lagi, saya harus bertahan sampai
pensiun," tambah laki-laki yang belum dikaruniai anak itu.
Albatros AURI
Ia sendiri belajar soal-soal meteorologi dan geofisika dari
tugasnya sehari-hari. Selama 15 tahun masa kerjanya, secara
rutin tugasnya adalah memeriksa semua peralatan yang terletak di
sebuah lapangan seluas 9 x 9 meter di belakang kantornya. Di
tanah lapang yang berpagar kawat berduri itu terletak semua
peralatan yang setiap saat menghasilkan data cuaca.
Kantor Tukidi juga bertugas mengkoordinasikan kantor Geofisika
di Lapangan Terbang Juanda dan Meteorologi & Geofisika Maritim
Surabaya. Selain memberi laporan ke Badan Meteorologi &
Geofisika (pusat) di Jakarta, Tukidi juga melayani permintaan
keadaan cuaca dari kapal-kapal laut dan udara. "Umumnya dari
kapal-kapal asing," tambah Sarwode dari Balai Meteorologi
Maritim "kapal-kapal Indonesia hampir tak pernah."
Menurut Sarwode, di stasiun-stasiun observasi yang ada di
Surabaya, setiap bulan rata-rata ada 500 permintaan ramalan
cuaca, terutama dari instansi penerbangan. Tapi tak jarang pula
pilot mengabaikan data cuaca. Sarwode tak ingat persis, "tapi
tahun 1960-an, karena cuaca buruk pesawat TNI-AU Albatros pernah
menabrak Gunung Bromo, padahal sebelumnya sudah diingatkan cuaca
sedang buruk," ungkapnya.
Sejak lama alat pengukur cuaca di Pelabuhan Udara Ngurah Rai,
Bali, rusak. Akibatnya, Ngurah Puger, petugas meteorologi di
lapangan itu, harus bekerja keras. Karena ia harus mengamati
cuaca langsung dengan mata telanjang. Untuk melayani lalu-lintas
penerbangan yang cukup sibuk di Ngurah Rai, setiap « jam, Puger
harus memicingkan matanya ke langit terbuka, lalu berlari-lari
ke kantornya untuk memberi laporan ke peminta.
Itu dilakukan ayah dari 5 orang anak itu selama 24 jam. Untung
ia sudah bertugas di bidang meteorologi selama 20 tahun,
sehingga dangan mudah dapat menganalisa cuaca dari hasil
penglihatannya. "Repotnya, kalau ada pilot pesawat yang minta
keadaan cuaca pada ketinggian di atas 2.000 kaki," tutur Ngurah
Puger, 42 tahun "sedangkan kemampuan pandangan mata saya
maksimal 2.000 kaki."
Tak mengherankan selain bekerja dengan mandi keringat, Puger
juga harus menelan caci-maki karena ramalannya meleset. "Malah
ada yang tak mau percaya lagi," keluhnya.
Di Jakarta, pagi, siang dan sore hari, laporan-laporan dari
seluruh stasiun meteorologi diterima dan langsung diolah. Di
kantornya di Badan Meteorologi dan Geofisika, Jalan A. Rahman
Hakim, Jakarta, Waan Tarmin selalu sibuk di belakang mejanya.
Tangannya tak henti-henti memberi tanda-tanda pada
lembaran-lembaran kertas yang berserakan di hadapannya. Suatu
saat ia menggurat selembar kertas bergambar peta Indonesia,
memberi tanda arah angin di wilayah Kalimantan.
Pada saat yang lain, Tarmin, 25 tahun, meneliti sebuah kertas
yang menunjukkan keadaan awan di seluruh dunia. Sebuah alat
bernama APTS (Automatic Pictures Transmission System) tiap 3
jam menerima gambaran awan di seluruh kawasan dunia yang dikirim
dari Tokio. Melalui kode-kode yang diterima APTS, diketahui
tipis tebal dan ketinggian awan di 5 benua, lalu dipindahkan
pada sebuah kertas cokelat bergambar peta bumi.
Di ruangan lain, beberapa petugas sedang mengamati hasil laporan
dari stasiun-stasiun meteorologi seluruh Indonesia. Laporan ini
diterima tiap pagi, siang dan sore, melalui teleks atau SSB.
Setelah diteliti, dengan kode-kode tertentu laporan-laporan
tadi dicantumkan dalam secarik kertas yang bergambar peta
Indonesia -- dan diketahuilah arah angin atau keadaan awan di
suatu wilayah Indonesia. "Setiap hari sekitar data cuaca masuk
ke sini," kata Purwanto, teman sekerja Tarmin.
Selain sebagai pusat penerima dan pengirim data-data cuaca,
stasiun di Jakarta juga meramalkan cuaca. Beberapa peralatan
dengan mudah dapat terlihat di atas kantor di Jalan A. Rahman
Hakim itu. Tapi selain alat-alat yang umumnya terdapat di
stasiun-stasiun lain, di sini juga terdapat Sunshine Recorder
(untuk melihat penyinaran matahari), deteksi polusi (untuk
mengukur tingkat polusi di permukaan bumi), Globe
Telecommunication System (alat untuk tukar-menukar data cuaca
dengan stasiun-stasiun seluruh dunia). Beberapa peralatan,
seperti radar pengukur keadaan cuaca dan kandungan air, dipasang
di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma.
Di seluruh Indonesia, terdapat 60 buah stasiun cuaca utama
(basic dan 117 buah stasiun biasa (non-basic). Stasiun utama
mampu mengkaver cuaca pada iklim yang berbeda-beda dan hasilnya
harus dilaporkan ke stasiun-stasiun internasional. Sedangkan
stasiun biasa hanya mampu mendeteksi iklim sekitarnya dan hanya
diwajibkan mengirim laporan cuaca Badan Meteorologi & Geofisika
(pusat) di Jakarta. Sayang, bahwa saat ini dari 117 buah stasiun
biasa, hanya 45 buah yang telah berfungsi -- sisanya sedang
dalam penyelesaian. "Meskipun dengan peralatan selengkap itu,
masih sulit didapat ramalan cuaca yang tepat," tutur Kepala Sub.
Bidang Analisa Pusat Meteorologi & Geofisika, Soeharsono.
Selain itu, tambah Waan Tarmin, perlu diketahui juga beberapa
istilah yang sering muncul dalam ramalan-ramalan cuaca Misalnya,
cuaca baik. Ini bukan berarti sama sekali tidak ada hujan --
tapi 0% hingga 10% daerah itu ada kemungkinan hujan. Hujan
lokal, artinya 11% hingga 40% daerah itu diramalkan akan
dituruni hujan. Sedangkan hujan tidak merata: 41% hingga 70%
wilayah akan terkena hujan. Lebih dari itu, berarti hujan
merata.
Purwanto, rekan kerja Waan Tarmin, mempunyai kesan, "beberapa
pilot Indonesia masih kurang memahami manfaat ramalan cuaca." Ia
mengingatkan kecelakaan pesawat Fokker 27 Garuda di Gunung Bromo
pada 1978. "Sebelumnya memang pilotnya sudah minta data cuaca,"
ungkap Purwanto yang ketika itu masih bertugas di stasiun cuaca
di Ngurah Rai, Denpasar "tapi setelah data kami siapkan, pilot
tak mengambilnya." kibatnya, pesawat itu menabrak gunung.
Begitu juga dalam kecelakaan helikopter di Bedugul, Bali, pada
1978. "Pilotnya memang sudah ragu, karena itu sebelumnya ia
minta data cuaca -- tapi kemudian tak diambil," kisah Purwanto
lagi. Karena itu, lulusan Akademi Meteorologi Jakarta tahun 1974
itu, menyimpulkan "Kalau pilot kita benar-benar memegang
disiplin, kecelakaan akibat cuaca buruk akan jarang terjadi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini