Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Cuaca, tak secerah ramalan

Suka duka para peramal cuaca/petugas meteorologi. ramalan sering meleset karena peralatan tua atau karena wilayah terlalu luas. ada juga pilot yang tak memanfaatkan hasil ramalan. (sd)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR Maret cuaca sering tampak cerah. Biasanya ini pertanda musim kemarau mulai datang -- meskipun di beberapa wilayah tanah air justru musim hujan mulai muncul. Karena itu, musim hujan atau kemarau, cuaca harus diramalkan terus. Hasil ramalan pun harus terus menerus dikirim ke berbagai pihak yang memesannya. Di negara-negara maju ramalan cuaca telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang berkaitan dengan perhubungan, pertanian, pariwisata, perindustrian, tanah dan sebagainya. Tapi di Indonesia, masih lebih banyak digunakan untuk penerbangan. Para meteorolog memang hanya memberi data-data keadaan cuaca. Pemanfaatannya tergantung pada pemesan. Dalam hal penerbangan, misalnya, keputusan ada di tangan pilot untuk terbang atau tidak dalam satu keadaan cuaca tertentu. "Jika ketinggian awan di satu lapangan udara kurang dari 100 meter, biasanya pilot tak berani mendarat," ungkap Kepala Stasiun Meteorologi Pelabuhan Udara Polonia, Medan, J.S Suharsono "tapi itu berarti Jawatan Meteorologi harus memberi petunjuk kepada pilot lapangan terbang, mana yang sedang bercuaca baik dan dapat didarati." Menurut Suharsono, meramalkan cuaca di daerah tropis seperti di Indonesia, jauh lebih sulit dibanding daerah sub tropis. "Di daerah tropis temperatur dan tekanan udara berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lainnya," tambah Suharsono "sedangkan di kawasan sub tropis, seperti Jepang, Australia udara hanya satu jenis." Sebab itu, menurut laki-laki kelahiran Malang ini, janganlah mengharapkan ramalan cuaca itu akan tepat seluruhnya. Dan karena itu pula, tambahnya, tak perlu heran jika satu bagian wilayah Indonesia sedang dilanda kemarau, sementara wilayah lainnya digenangi banjir. Dikencingi Lebih-lebih lagi karena peralatan yang ada di berbagai stasiun observasi cuaca umumnya sudah tua -- sering pula macet. "Sehingga untuk wilayah Indonesia yang luas ini, sulit dikaver secara lengkap," ujar Suharsono lagi. Pengalaman pahit para peramal cuaca (biasa disebut forecaster) justru bila ramalan mereka meleset. "Sering dicacimaki," cerita Suharsono "bahkan ada juga pilot yang datang sambil marah-marah." Di darat, para peramal cuaca bekerja dengan bantuan barometer dan termometer yang setiap saat menunjukkan tekanan dan suhu udara waktu itu. Selain itu di stasiun-stasiun observasi umumnya terdapat pula alat yang disebut Evaporimeter, yaitu sejenis kolam yang rata-rata berukuran 1 x 1 meter, selalu berisi air. Gunanya untuk melihat penguapan air agar diketahui data tentang curah hujan. Sebuah alat lain, Tup Animometer namanya, dipergunakan untuk mengukur kecepatan dan arah angin. Di beberapa stasiun observasi cuaca terdapat juga teleks SSB untuk mengirim dan menerima data. Radio Sonde adalah alat pengukur keadaan udara yang diluncurkan ke atas permukaan bumi melalui sebuah balon gas. Dengan ketinggian sampai 30 km dari tanah, radio tadi akan mengirimkan catatan tenung temperatur, tekanan udara dan kelembaban di atas sana kepada alat penerima di bumi. Setiap hari, satu stasiun observasi paling sedikit 2 kali meluncurkan Radio Sonde. Jika dihitung-hitung, setiap kali peluncura dapat menelan biaya sekitar Rp 60.000. Setelah menunaikan tugasnya, radio dan balon tadi akan langsung rusak dan jatuh entah di mana. Semua data yang ditunjukkan alatalat tadi langsung dicatat oleh petugas yang melayaninya. Kemudian dikirim ke Badan Meteorologi & Geofisika di Jakarta dan instansi-instansi yang memerlukannya. Lucunya, seorang petani di rastagi, Sum-Ut, pernah menemukan Radio Sonde yang telah rusak itu. "Ketika ia melapor ke polisi, ia malahan ditahan dengan tuduhan memiliki barang terlarang," ungkap Suharsono. Telah bekerja di Jawatan Meteorologi selama 23 tahun, Suharsono tak banyak mengalami hal luar biasa. Yang penting, katanya, instansi ini dikenal sebagai jawatan yang kering. "Padahal kami ini seperti pelita," kata bapak dari 3 orang anak itu, "diharuskan menyala terus, sementara minyak selalu kurang." Tapi suatu ketika pernah juga terjadi hal yang menjengkelkan. Anak buah Suharsono pernah memasang mangkuk pengukur curah hujan di suatu tempat. Seseorang yang iseng rupanya telah mengencingi mangkuk itu sehingga penuh. Akibatnya, kesalahan besar terjadi pada ramalan. "Semestinya curah hujan hanya sekitar 2 mili, karena mangkuk itu penuh air kencing, dalam ramalan disebutkan curah hujan sampai 5 mm," cerita Suharsono yang lulus Akademi Meteorologi Bandung tahun 1957. Tukidi, 48 tahunj pegawai Meteorologi & Geofisika Penerbangan Wilayah Tanjungperak, Surabaya, langsung mengeluh tentang tugas-tugasnya. "Bayangkan," tuturnya "hampir tak ada waktu untuk istirahat -- pagi kerja, siang kerja, malam kerja." Tampaknya ia sudah bosan pada kerjanya. Tapi ia juga tampak pasrah. "Habis mau apa lagi, saya harus bertahan sampai pensiun," tambah laki-laki yang belum dikaruniai anak itu. Albatros AURI Ia sendiri belajar soal-soal meteorologi dan geofisika dari tugasnya sehari-hari. Selama 15 tahun masa kerjanya, secara rutin tugasnya adalah memeriksa semua peralatan yang terletak di sebuah lapangan seluas 9 x 9 meter di belakang kantornya. Di tanah lapang yang berpagar kawat berduri itu terletak semua peralatan yang setiap saat menghasilkan data cuaca. Kantor Tukidi juga bertugas mengkoordinasikan kantor Geofisika di Lapangan Terbang Juanda dan Meteorologi & Geofisika Maritim Surabaya. Selain memberi laporan ke Badan Meteorologi & Geofisika (pusat) di Jakarta, Tukidi juga melayani permintaan keadaan cuaca dari kapal-kapal laut dan udara. "Umumnya dari kapal-kapal asing," tambah Sarwode dari Balai Meteorologi Maritim "kapal-kapal Indonesia hampir tak pernah." Menurut Sarwode, di stasiun-stasiun observasi yang ada di Surabaya, setiap bulan rata-rata ada 500 permintaan ramalan cuaca, terutama dari instansi penerbangan. Tapi tak jarang pula pilot mengabaikan data cuaca. Sarwode tak ingat persis, "tapi tahun 1960-an, karena cuaca buruk pesawat TNI-AU Albatros pernah menabrak Gunung Bromo, padahal sebelumnya sudah diingatkan cuaca sedang buruk," ungkapnya. Sejak lama alat pengukur cuaca di Pelabuhan Udara Ngurah Rai, Bali, rusak. Akibatnya, Ngurah Puger, petugas meteorologi di lapangan itu, harus bekerja keras. Karena ia harus mengamati cuaca langsung dengan mata telanjang. Untuk melayani lalu-lintas penerbangan yang cukup sibuk di Ngurah Rai, setiap « jam, Puger harus memicingkan matanya ke langit terbuka, lalu berlari-lari ke kantornya untuk memberi laporan ke peminta. Itu dilakukan ayah dari 5 orang anak itu selama 24 jam. Untung ia sudah bertugas di bidang meteorologi selama 20 tahun, sehingga dangan mudah dapat menganalisa cuaca dari hasil penglihatannya. "Repotnya, kalau ada pilot pesawat yang minta keadaan cuaca pada ketinggian di atas 2.000 kaki," tutur Ngurah Puger, 42 tahun "sedangkan kemampuan pandangan mata saya maksimal 2.000 kaki." Tak mengherankan selain bekerja dengan mandi keringat, Puger juga harus menelan caci-maki karena ramalannya meleset. "Malah ada yang tak mau percaya lagi," keluhnya. Di Jakarta, pagi, siang dan sore hari, laporan-laporan dari seluruh stasiun meteorologi diterima dan langsung diolah. Di kantornya di Badan Meteorologi dan Geofisika, Jalan A. Rahman Hakim, Jakarta, Waan Tarmin selalu sibuk di belakang mejanya. Tangannya tak henti-henti memberi tanda-tanda pada lembaran-lembaran kertas yang berserakan di hadapannya. Suatu saat ia menggurat selembar kertas bergambar peta Indonesia, memberi tanda arah angin di wilayah Kalimantan. Pada saat yang lain, Tarmin, 25 tahun, meneliti sebuah kertas yang menunjukkan keadaan awan di seluruh dunia. Sebuah alat bernama APTS (Automatic Pictures Transmission System) tiap 3 jam menerima gambaran awan di seluruh kawasan dunia yang dikirim dari Tokio. Melalui kode-kode yang diterima APTS, diketahui tipis tebal dan ketinggian awan di 5 benua, lalu dipindahkan pada sebuah kertas cokelat bergambar peta bumi. Di ruangan lain, beberapa petugas sedang mengamati hasil laporan dari stasiun-stasiun meteorologi seluruh Indonesia. Laporan ini diterima tiap pagi, siang dan sore, melalui teleks atau SSB. Setelah diteliti, dengan kode-kode tertentu laporan-laporan tadi dicantumkan dalam secarik kertas yang bergambar peta Indonesia -- dan diketahuilah arah angin atau keadaan awan di suatu wilayah Indonesia. "Setiap hari sekitar data cuaca masuk ke sini," kata Purwanto, teman sekerja Tarmin. Selain sebagai pusat penerima dan pengirim data-data cuaca, stasiun di Jakarta juga meramalkan cuaca. Beberapa peralatan dengan mudah dapat terlihat di atas kantor di Jalan A. Rahman Hakim itu. Tapi selain alat-alat yang umumnya terdapat di stasiun-stasiun lain, di sini juga terdapat Sunshine Recorder (untuk melihat penyinaran matahari), deteksi polusi (untuk mengukur tingkat polusi di permukaan bumi), Globe Telecommunication System (alat untuk tukar-menukar data cuaca dengan stasiun-stasiun seluruh dunia). Beberapa peralatan, seperti radar pengukur keadaan cuaca dan kandungan air, dipasang di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma. Di seluruh Indonesia, terdapat 60 buah stasiun cuaca utama (basic dan 117 buah stasiun biasa (non-basic). Stasiun utama mampu mengkaver cuaca pada iklim yang berbeda-beda dan hasilnya harus dilaporkan ke stasiun-stasiun internasional. Sedangkan stasiun biasa hanya mampu mendeteksi iklim sekitarnya dan hanya diwajibkan mengirim laporan cuaca Badan Meteorologi & Geofisika (pusat) di Jakarta. Sayang, bahwa saat ini dari 117 buah stasiun biasa, hanya 45 buah yang telah berfungsi -- sisanya sedang dalam penyelesaian. "Meskipun dengan peralatan selengkap itu, masih sulit didapat ramalan cuaca yang tepat," tutur Kepala Sub. Bidang Analisa Pusat Meteorologi & Geofisika, Soeharsono. Selain itu, tambah Waan Tarmin, perlu diketahui juga beberapa istilah yang sering muncul dalam ramalan-ramalan cuaca Misalnya, cuaca baik. Ini bukan berarti sama sekali tidak ada hujan -- tapi 0% hingga 10% daerah itu ada kemungkinan hujan. Hujan lokal, artinya 11% hingga 40% daerah itu diramalkan akan dituruni hujan. Sedangkan hujan tidak merata: 41% hingga 70% wilayah akan terkena hujan. Lebih dari itu, berarti hujan merata. Purwanto, rekan kerja Waan Tarmin, mempunyai kesan, "beberapa pilot Indonesia masih kurang memahami manfaat ramalan cuaca." Ia mengingatkan kecelakaan pesawat Fokker 27 Garuda di Gunung Bromo pada 1978. "Sebelumnya memang pilotnya sudah minta data cuaca," ungkap Purwanto yang ketika itu masih bertugas di stasiun cuaca di Ngurah Rai, Denpasar "tapi setelah data kami siapkan, pilot tak mengambilnya." kibatnya, pesawat itu menabrak gunung. Begitu juga dalam kecelakaan helikopter di Bedugul, Bali, pada 1978. "Pilotnya memang sudah ragu, karena itu sebelumnya ia minta data cuaca -- tapi kemudian tak diambil," kisah Purwanto lagi. Karena itu, lulusan Akademi Meteorologi Jakarta tahun 1974 itu, menyimpulkan "Kalau pilot kita benar-benar memegang disiplin, kecelakaan akibat cuaca buruk akan jarang terjadi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus