CINTA alam cinta cewek, ada cara membaginya menurut versi Anthon Luntungan, 29 tahun. Sudah menjadi pecinta alam sejak SMP di Jakarta, ia masih mengembangkan hobinya waktu kuliah di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Sulawesi Utara, yakni membentuk Klub Equil Mapala Unsrat -- dan mengetuainya. Selesai meraih gelar sarjana ekonomi, lalu menjadi dosen di sana, Anthon tetap aktif sebagai pembina klub pecinta alam ini. Sampai pada suatu hari cintanya terbagi dua: yang satu tetap untuk alam lingkungan, dan yang lain untuk Pinkan Tangkudung, mahasiswi tingkat akhir jurusan sosial politik. Usai pernikahan di gereja Katolik ''Raja Damai'' Tikala, Manado, dua pekan lampau, pasangan pengantin ini meluncur dengan sebuah mobil. Bukan ke restoran atau hotel berbintang, tapi langsung menuju sebuah desa di kaki Gunung Soputan. Di Desa Toure, Kecamatan Tompase, Minahasa, ini rombongan pengantin dielu-elukan warga desa. Mereka diarak keliling desa diiringi musik bambu. Lalu ada pesta. Makan minum disediakan gratis oleh penduduk. Padahal, pasangan ini bukan berasal dari sana. ''Ini sebagai ucapan syukur kami atas jasa Anthon membina desa kami,'' kata Z.A. Nokalu kepada Phill M. Sulu dari TEMPO. Menurut kepala desa itu, Anthon dan klubnya sudah lama membina desa kecil ini hingga taraf hidup mereka meningkat. Bimbingan yang diberikan meliputi sektor pertanian, olahraga, kesenian, lingkungan hidup, dan teknologi desa. Tapi pesta sore itu belum merupakan puncak. Anthon telah menyebut maskawinnya adalah pesta di hutan. Jadi, usai dari situ mereka pun menapaki rute pendakian di Gunung Soputan. Pengantin ini tetap dalam pakaian resmi, si pria dengan jas dan dasi, sementara yang perempuan mengenakan gaun panjang putih yang berjela-jela. Mereka melakukan pendakian diiringi sekitar 300 pemuda pecinta alam. Debu dan keringat berbaur dengan parfum pengantin. Barisan menyemut ini tiba di sebuah lembah hutan pinus, 10 km dari Desa Toure. Di sini sudah disiapkan kamar khusus pengantin, berupa tenda yang dikelilingi tenda-tenda pecinta alam berbagai klub di Sulawesi Utara. Pesta dimeriahkan dengan api unggun, pisang goreng, dan hidangan mi yang mereka bawa masing-masing. Lalu pemotongan tar pengantin yang diramu dari biskuit. ''Saya telah mewujudkan semboyan back to nature, dan berhasil menerapkan ilmu ekonomi pada istri saya: kawin tanpa biaya,'' kata Anthon. Keesokan harinya pengantin ini turun gunung tanpa sempat mandi atau gosok gigi. Bahkan pengantin wanita masih mengenakan gaun kebesarannya yang merangkap baju tidur di tempat dingin yang rasanya mencucuk tubuh itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini