Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Potret buram yang tetap ceria

(s.l): university of california, 193 resensi oleh: nurdien h kistanto

27 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARSINAH kini boleh disebut menjadi simbol perjuangan hak-hak buruh wanita Indonesia. Kematiannya dianggap tak lepas dari aksinya sebagai aktivis buruh yang memperjuangkan perbaikan nasib teman-temannya. Dalam berbagai aksi mogok dan unjuk rasa buruh, masalah hak- hak buruh wanita acap menjadi pemicunya. Misalnya, soal upah yang kelewat rendah, cuti haid, cuti hamil, dan lembur. Dan sejak Indonesia memasuki era industri dua puluh tahun ini, kasus-kasus aksi buruh sering mendapat liputan luas media massa. Namun, rupanya tak banyak tulisan mengenai buruh -- apalagi buruh wanita -- yang didasarkan pada penelitian yang mendalam. Paling-paling, hasil penelitian Anne Ruth Willner di pedesaan Jawa Timur dalam bentuk disertasi untuk gelar Ph.D. di Universitas Chicago, From Rice Field to Factory: The Industrialization of a Rural Labour Force ini Java (1961). Atau hasil penelitian Celia Mather mengenai buruh di Tangerang yang kemudian ditulis dalam jurnal tahun 1980-an. Lain halnya buku ini. Diane Lauren Wolf, kelahiran San Francisco, mengambil fokus sedikit berbeda. Ia meneliti dinamika kehidupan para wanita muda yang menjadi buruh pabrik di daerah Ungaran, Jawa Tengah. Ia meneliti buruh 12 perusahaan seperti pabrik tekstil, pemintalan, biskuit, roti, pembotolan Coca-Cola, asam sitrat, pecah belah, bus, meja kursi, mi, dan konveksi di tiga pedukuhan. Penelitian yang dilakukan tahun 1981-1983 itu kemudian menjadi disertasinya untuk Ph.D. di Universitas Cornell. Disertasi yang diajukan tahun 1986 itu kemudian ditulis ulang untuk buku ini, setelah dilengkapi penelitian ulang ke lokasi tahun 1986. Buku ini merupakan rekaman dan analisa berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif tentang para wanita muda yang bekerja sebagai buruh industri. Kesimpulannya, bisa diduga, sebagian besar buruh wanita itu berasal dari keluarga tani tanpa tanah, atau bertanah amat sempit. Maka, mereka pun tergolong miskin, berpendidikan rendah, bahkan ada yang buta huruf. Mereka diupah sangat rendah. Rendahnya upah buruh wanita Jawa yang diteliti Wolf itu bukan saja dibandingkan dengan upah buruh di luar Asia, tapi juga dengan mereka di Asia Tenggara. Analisanya menjadi menarik setelah Wolf membandingkan daya beli mereka dengan upah yang didapat. Pada awal 1980-an, seorang buruh pabrik di Sri Lanka harus bekerja 2 jam 41 menit untuk bisa membeli 1 kg beras. Rekannya dari Malaysia cuma perlu bekerja 1 jam 15 menit, Muangthai 55 menit, Filipina 1 jam 10 menit, dan Hong Kong 55 menit. Buruh wanita Indonesia mesti kerja 4 jam. Sampai-sampai Wolf menarik kesimpulan bahwa upah buruh wanita di Jawa adalah terendah dari deretan yang paling rendah. Mereka pasrah dan menerima karena tak ada pilihan lain. Orang tua mereka pun mendukungnya. Alasannya, daripada menganggur di rumah. Dari penelitiannya, tak sedikit yang bahkan minta duit orang tuanya untuk ongkos ke tempat kerja. Begitu buramkah potret wanita buruh industri itu? Dipandang dari upahnya dan kacamata luar, mungkin gambarnya memang peot. Tapi, kalau diamati dari dekat, menurut lukisan Wolf, wajah mereka tampak ceria dan gembira. Dalam pandangan buruh sendiri, menurut pengamatan Wolf, mereka merasa statusnya terangkat setelah bekerja di pabrik, mendapat upah tetap, dan terlepas dari sektor pertanian. Kulit mereka pun bersih, pertanda bahwa status pekerjaannya lebih tinggi daripada rekannya yang buruh tani. Kecuali itu, para buruh wanita muda itu juga punya alasan meninggalkan rumah, bertemu teman-teman sebayanya dari desa lain. Mereka bisa bercinta dan nikah dengan sesama buruh atau sopir angkutan umum. Bekerja di pabrik juga menggeser gaya hidup mereka. Dandanan wajah, cat kuku, dan celana panjang yang mereka kenakan menandai munculnya daya beli baru. Semua ini mereka lihat sebagai ''gaya modern''. Banyak di antara para wanita buruh yang berumur di bawah 25 tahun mendambakan kebebasan memakai uang hasil keringatnya -- walau sedikit. Selebihnya, buku ini kaya akan kasus etnografis, pandangan teoretis, dan pengamatan bandingan yang enak dibaca dan perlu bagi para perencana pembangunan di Asia, peminat studi masalah wanita, peneliti, dan penulis masalah perburuhan dan industrialisasi. Membaca buku Wolf, yang kini asisten profesor sosiologi pada Universitas California di Davis, AS, ini seolah kita melihat potongan film tentang para wanita yang kurang beruntung dalam roda pembangunan. Nurdien H. Kistanto*)*)Department of Anthropology, The University of Sydney FACTORY DAUGHTERS GENDER, HOUSEHOLD DYNAMICS, AND RURAL INDUSTRIALIZATION IN JAVA Penulis: Diane Lauren Wolf Penerbit: University of California Pres, Berkeley, 1993, 323 halaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum