MENGAPA Pemerintah ingin menjual saham beberapa BUMN ke luar negeri? Sekalipun rencana go international beberapa BUMN sudah mulai dipersiapkan, sampai sekarang belum jelas apa tujuan Pemerintah menjual saham BUMN ke luar negeri. Untuk bayar utang? Untuk menutup defisit APBN? Untuk membiayai proyek- proyek BUMN itu sendiri? Untuk membantu BUMN lain yang merugi terus? Atau untuk membiayai beberapa proyek lain? Sulit dipercaya, sebuah pekerjaan besar seperti menjual saham BUMN ke luar negeri dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Di luar negeri, penjualan perusahaan negara kepada swasta sudah meluas. Hasil studi Bank Dunia yang dibukukan tahun lalu, berjudul Privatization: The Lessons of Experience, mengungkapkan bahwa, sejak 1980, lebih dari 6.800 perusahaan negara sudah menjual ke swasta sebagian atau seluruh sahamnya, termasuk 2.000 perusahaan di negara berkembang. Tujuannya pun berbeda-beda: untuk menutup defisit anggaran belanja pemerintah untuk mendapatkan sumber dana yang paling murah bagi BUMN bersangkutan dan karena alasan ideologis dan politis. Di beberapa negara, anggaran belanja pemerintah mengalami defisit cukup besar karena harus menutupi kerugian perusahaan negara. Antara 1989 dan 1990, misalnya, kerugian ini di Meksiko berjumlah 3% GDP, di Turki mencapai 4% GDP, di Polandia bahkan mencapai 9% GDP. Tujuan lain penjualan saham BUMN adalah memperoleh dana murah bagi BUMN bersangkutan untuk membiayai perluasan investasinya. Tapi tujuan ini pun dirumuskan setelah BUMN tersebut menganalisa keuangan perusahaan secara normal. Penjualan saham merupakan salah satu alternatif pembiayaan perusahaan (corporate financing), seperti pinjaman bank dan pengeluaran obligasi. Mungkin saja, setelah menganalisa untung ruginya, suatu BUMN berpendapat bahwa alternatif penjualan sebagian saham merupakan cost of capital paling murah dalam jangka panjang, dibanding alternatif lain. Sifat putusan yang diambil melulu merupakan putusan atas dasar perhitungan komersial. Di beberapa negara, BUMN diswastakan karena alasan ideologis dan politis. Pemerintah sadar mengambil putusan untuk menganut sistem ekonomi pasar, dan mengurangi perannya dalam kegiatan perekonomian. Di sini pemerintah percaya bahwa BUMN yang dijual kepada swasta, dan yang manajemennya diserahkan kepada swasta bisa, beroperasi lebih efisien, dan akan menguntungkan konsumen dan masyarakat. Di Indonesia, bila akan dilakukan penjualan sebagian saham BUMN kepada swasta, termasuk swasta luar negeri, harus mempunyai tujuan jelas. Sebenarnya, yang penting bukan di mana dan kepada siapa saham BUMN akan dijual. Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah kenapa Pemerintah merasa perlu menjual sebagian saham beberapa BUMN-nya. Kalau tujuannya meningkatkan penerimaan dalam APBN, ini wajar dan sah saja. Kalau memang demikian, proses penjualan saham BUMN ini harus jelas tercantum dalam proses perumusan APBN yang harus disahkan oleh DPR. Proyeksi angka penerimaan yang berasal dari penjualan saham ini harus dicantumkan dalam proyeksi angka APBN yang akan dibicarakan dengan DPR. Selama ini pos penyertaan modal pemerintah digunakan untuk menampung pengeluaran pemerintah untuk menambah modal BUMN. Di pos inilah seharusnya hasil penerimaan penjualan saham BUMN nantinya dicatat. Sistem APBN yang digunakan sekarang ini tidak mengidentifikasikan satu pos penerimaan dengan satu pos pengeluaran tertentu. Penerimaan dari pajak minyak dan gas bumi, misalnya, tidak dikaitkan dengan pos pembayaran cicilan utang. Seluruh penerimaan dikumpulkan dalam pos-pos penerimaan yang sudah ditentukan. Alokasi pengeluaran merupakan proses yang ditentukan secara terpisah, dan jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan penerimaan. Maka, apabila Pemerintah jadi menjual saham beberapa BUMN (di luar negeri), hasilnya akan ditampung sebagai bagian dari seluruh penerimaan. Berbeda dengan penerimaan SDSB, pos penerimaan dalam APBN (termasuk hasil penjualan saham BUMN) tidak dikaitkan dengan proyek- proyek khusus tertentu. Tapi kalau tujuan penjualan saham sebuah BUMN adalah untuk mendapatkan dana yang paling murah, untuk pembiayaan investasi BUMN yang bersangkutan, dan tak ada kaitannya dengan APBN, ceritanya menjadi lain. Ini merupakan urusan intern BUMN tersebut karena dana yang diperoleh akan digunakan oleh BUMN sendiri. Hanya, yang harus dipertanyakan adalah, benarkah penjualan saham ini merupakan alternatif pembiayaan yang lebih menguntungkan dibanding dengan alternatif lain, seperti penerbitan obligasi atau kredit bank. Beberapa BUMN, seperti PT Telkom dan PLN, saat ini tidak mengalami kesulitan dalam mencari dana murah. Beberapa lembaga keuangan di luar negeri, kabarnya, sudah antre, untuk menawarkan pinjaman kepada PT Telkom. Ini tak mengherankan. Lembaga-lembaga keuangan di luar negeri tahu betul bahwa kebutuhan Indonesia untuk prasarana ini sangat besar selama lima tahun mendatang. Lagi pula, pasar jasa ini di Indonesia masih merupakan monopoli. Hal ini cukup menggiurkan lembaga-lembaga keuangan untuk meminjamkan dana kepada beberapa BUMN di sini. BUMN ini mempunyai posisi tawar- menawar yang cukup kuat. Kalau alternatif pembiayaan ini merupakan hal yang paling murah, tentunya Pemerintah tak perlu ngotot untuk menjual sahamnya ke pihak luar. Sebab, kalau keuntungannya cukup besar dengan beban bunya yang rendah, buat apa menjual saham, dan lalu membagi keuntungannya dengan orang lain?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini