Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai macam masalah terus membelit buruh migran. Pertengahan Februari lalu, kita dikejutkan oleh kasus Siti Aisyah, tenaga kerja wanita asal Banten, yang dituduh terlibat dalam skandal pembunuhan kakak tiri pemimpin Korea Utara, Kim Jong-nam, di Kuala Lumpur, Malaysia. Meski Malaysia dan Korea Utara kini sudah menurunkan tensi hubungan diplomatik, Siti Aisyah tetap terancam dihukum mati.
Membayangkan Siti Aisyah terlibat dalam kasus besar itu sendirian tanpa melibatkan sindikat besar di belakangnya jelas menumpulkan akal sehat. Apa yang dialami Siti tak berbeda dengan nasib buruh migran lain seperti Dwi Wulandari, Merry Utami, juga Mary Jane-buruh migran perempuan asal Filipina yang terjerat kasus sindikat narkotik di Indonesia. Mereka adalah korban minimnya perlindungan negara.
Masalah yang dihadapi buruh migran dewasa ini, terutama kaum perempuan, semakin kompleks. Selain diancam hukuman mati di berbagai negara, mereka jadi korban perdagangan manusia, jual-beli organ tubuh, pemerkosaan, penyiksaan, penipuan, kapal tenggelam, hingga deportasi. Hak-hak dasar mereka sebagai pekerja, seperti gaji, jam kerja yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hari libur, akses komunikasi, dan hak untuk berorganisasi, kerap dirampas. Buruh migran bekerja dalam kondisi teramat sulit hingga kerap disebut korban perbudakan modern. Padahal, pada 2016, remitansi dari hasil keringat-dan tak jarang tetesan darah-buruh migran Indonesia mencapai Rp 119 triliun.
Meski komitmen pemerintah untuk menangani kasus semakin baik, upaya konkret buat melindungi buruh migran dari masalah, mencegah mereka dari pelanggaran hak asasi manusia dan hak mereka sebagai pekerja, belum tampak secara nyata. Eksekutif dan legislatif gagal menyediakan payung hukum untuk melindungi buruh migran. Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, yang sejak 2010 yang menjadi agenda prioritas legislasi, belum tuntas hingga hari ini.
Revisi undang-undang tentang buruh migran tersebut menjadi penting karena regulasi ini memang bermasalah sejak awal. Selain tidak dilandasi dengan naskah akademik, isi undang-undang ini tak lebih dari salinan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 104A Tahun 2002.
Bukan hanya itu. Dari total 109 pasal yang ada dalam undang-undang ini, hanya 8 pasal yang mengatur perihal perlindungan buruh migran. Semua pasal lainnya berisi aturan tentang bisnis penempatan buruh migran, yang menempatkan perusahaan pengerah tenaga kerja swasta (PPTKIS) sebagai subyek hukumnya. Karena itu, undang-undang ini tampaknya lebih melindungi pengusaha daripada buruh migran.
Inilah pangkal kenapa praktik migrasi tenaga kerja di Indonesia hampir menyerupai legalisasi perdagangan orang. Ironisnya, meski kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, regulasi ini sering tumpul ketika berhadapan dengan para mafia. Adanya dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam soal ini tidaklah berlebihan.
Sayangnya, saat ini pembahasan revisi undang-undang itu mengalami deadlock. Kemacetan pembahasan dipicu oleh perbedaan pandangan antara Panitia Kerja Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah mengenai kedudukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). DPR menilai badan ini seharusnya bertanggung jawab langsung kepada presiden. Sedangkan pemerintah menginginkan badan ini bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Tenaga Kerja. Aroma tarik-ulur kepentingan yang sama sekali tak relevan bagi kepentingan buruh migran begitu kental dalam hal ini.
Kalaupun kebuntuan itu bisa dipecahkan, pembahasan revisi peraturan ini tak serta-merta bakal jadi kabar baik bagi buruh migran. Pasalnya, tim ahli pemerintah untuk pembentukan undang-undang ini juga mengikutsertakan unsur pemilik PPTKIS. Keberadaan mereka dalam tim berbau konflik kepentingan, karena merekalah yang selama ini justru menikmati dan punya kepentingan besar dalam bisnis pengiriman buruh migran ini.
Masyarakat sipil dan terutama buruh migran tentu harus terus mendorong agar revisi undang-undang ini dapat menutup celah pengambilan keuntungan oleh swasta dalam penempatan buruh migran. Beberapa isu krusial yang harus ada dalam revisi itu adalah:
(1) Perlunya harmonisasi atau penyesuaian isi undang-undang dengan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers, yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012. Konvensi itu berisi jaminan penegakan hak asasi manusia bagi buruh migran selama bermigrasi;
(2) Optimalisasi peran pemerintah pusat dan daerah (terutama kabupaten hingga desa) untuk menyediakan layanan publik terpadu dalam penyelenggaraan migrasi tenaga kerja yang meliputi: pendataan, pemberian informasi migrasi, pelayanan dokumen, pendidikan pra-migrasi, asuransi, medical check-up, dan layanan bantuan hukum;
(3) Jaminan perlindungan bagi buruh migran yang rentan, termasuk pekerja rumah tangga migran, dan anak buah kapal (ABK); (4) Pembentukan Komisi Perlindungan Buruh Migran sebagai lembaga yang kuat dan independen dalam melindungi buruh migran; (5) Penyediaan mekanisme bantuan hukum untuk memastikan akses atas keadilan bagi korban, termasuk pengacara pro bono di berbagai daerah basis buruh migran;
(6) Ketentuan sanksi pidana yang memiliki efek jera;
(7) Pengawasan selama proses migrasi sejak pra, selama bekerja, dan purna;
(8) Jaminan atas kesejahteraan buruh migran melalui program purna-migrasi;
(9) Optimalisasi peran pemerintah daerah-dari provinsi hingga desa-untuk memberikan layanan bagi buruh migran;
(10) Penguatan peran masyarakat sipil dalam advokasi hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya.
Semua usul perubahan di atas diharapkan dapat menggeser paradigma migrasi yang eksploitatif menjadi migrasi buruh yang menghormati hak asasi manusia.
Contoh yang baik bukannya tak ada. Dua tahun lalu, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2015. Regulasi yang berbasis pada konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perlindungan hak buruh migran itu mengatur tentang jaminan hak buruh migran, penegasan peran pemerintah kabupaten hingga desa, serta pengakuan akan keberadaan migrasi swadaya. Perda ini menjadi oasis bagi buruh migran yang mendambakan perlindungan.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah pusat yang cenderung reaktif terbukti tidak efektif. Kebijakan moratorium penempatan pekerja rumah tangga migran ke 21 negara di Timur Tengah setelah eksekusi mati Siti Zaenab dan Karni, misalnya, jelas tidak mencapai tujuannya. Alih-alih mencegah masalah, justru sebaliknya. Berdasarkan pemantauan Migrant Care di Bandar Udara Soekarno-Hatta, masih banyak penempatan buruh migran perempuan ke Timur Tengah.
Menuntaskan persoalan migrasi buruh migran membutuhkan penelusuran dari akarnya. Sebagian besar TKI perempuan berasal dari desa-desa termiskin di Indonesia. Bekerja di luar negeri adalah satu-satunya harapan buat mereka, meski penuh risiko. Sejak di desa, mereka jadi korban para calo yang menjadi kepanjangan tangan korporasi untuk merekrut buruh murah.
Dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, ada harapan baru untuk perlindungan TKI. Desa kini memiliki legalitas yang lebih kuat untuk menjalankan layanan yang menjamin kesejahteraan warga. Inilah esensi perubahan paradigma perlindungan tenaga kerja kita di luar negeri. Ke depan, semua inisiatif perlindungan harus dimulai dari bawah, dari hulu, dari level desa, agar peran negara menjamin hak asasi warganya benar-benar terasa. l
Anis Hidayah, Aktivis Migrant CARE
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo