Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yusuf Nuryana
Berniat menggandakan dokumen di gerai fotokopi di Garut, Jawa Barat, Yusuf Nuryana malah membawa pulang selebaran lain di suatu hari pada 2010. Selembar kertas berisi informasi lowongan kerja di Brunei Darussalam itu datang di tengah usaha Yusuf mendapatkan modal membiayai pabrik tenun akar wangi (Chrysopogon zizanioides), Rahayu Akar Wangi, yang baru dia rintis beberapa bulan bersama sang istri, Cucu Yulia.
Yusuf butuh sedikitnya Rp 10 juta. Atas persetujuan istri dan orang tua, dia pergi ke kantor PT Aroyan Cahaya Mandiri di Jakarta, mengikuti alamat yang tertera di selebaran itu. "Perusahaan penyalur itu legal dan saya membayar Rp 2 juta untuk biaya administrasi," kata Yusuf, 40 tahun, dua pekan lalu.
Di negeri petrodolar itu, Yusuf menggantang mimpinya. Dia baru dapat mengirim gajinya ke Garut pada tahun kedua. Setahun pertama bekerja, upahnya dipotong untuk melunasi utang biaya keberangkatannya ke Brunei.
Meski kerjanya serba tak menentu, Yusuf tetap melakoninya. Dia pernah menjadi tukang cat. Selang tiga bulan, majikan Yusuf memindahkannya ke bagian instalasi listrik. Terakhir, dia bekerja di perusahaan mebel di Bandar Seri Begawan. "Di perusahaan ini, saya bisa mendapatkan uang lembur sehingga bisa bergaji Rp 5 juta sebulan," ujar warga Desa Hegarmanah, Kecamatan Bayongbong, Garut, itu.
Delapan bulan kemudian, majikan Yusuf menyetujui pengangkatannya sebagai pegawai tetap karena ia dianggap cakap mengurusi furnitur. Namun nahas baginya. Dua hari sejak pengangkatan itu, Yusuf mengalami kecelakaan kerja. Gigi-gigi gergaji otomatis mengiris empat jari tangan kirinya. "Bukannya dapat modal, suami saya justru seperti bunuh diri karena kecelakaan itu," ujar Cucu, 35 tahun.
Jejak kecelakaan tujuh tahun lalu itu masih membekas hingga kini. Garis jahitan melintang putih di punggung tangannya yang berkulit sawo matang. Sendi ruas jari tengah dan manis tak bisa menekuk, hanya dapat digerakkan di bagian pangkal. Dokter di Singapura yang mengobati Yusuf menyebutkan serat otot putih di kedua jari itu putus.
Dua bulan bolak-balik Brunei-Singapura untuk berobat, ayah enam anak itu akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia. Dibantu pengacara lokal, dia sempat mengajukan klaim asuransi kecelakaan sebelum pulang kampung. Namun sampai saat ini klaim sebesar 75 ribu dolar Brunei (setara dengan Rp 715 juta) itu belum cair, padahal tahun depan bakal kedaluwarsa.
Mujur tak juga menghampiri Yusuf sepulang ke Indonesia pada Maret 2013. Mudik ke "kota dodol" setelah belajar pembibitan akar wangi di Jakarta, Yusuf malah mendapati bisnis yang dipasrahkan ke istrinya hampir kolaps. Honor perajin tenun menunggak. Perusahaannya juga kena penalti Rp 20 juta karena gagal memenuhi pesanan ekspor.
Utang tersebut sedikit demi sedikit dilunasi dengan asuransi yang diberikan perusahaan pengirim Yusuf ke Brunei. Rekening di tabungan pun dikuras untuk membayar tunggakan. Yusuf mengumpulkan modal baru untuk menghidupkan lagi bisnis tenunnya dari menjual bibit akar wangi ke kantor-kantor pemerintah.
Pengacara lokal yang membantu Yusuf di Brunei juga bermurah hati meminjamkan duit untuk modal. Mereka bersepakat pembayaran pinjaman itu diambil dari klaim asuransi yang sedang mereka perjuangkan. Total pinjaman Yusuf ke pengacara Brunei itu Rp 15 juta.
Nasib Yusuf mulai membaik sejak berusaha melunasi utang. Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Garut mengadakan pelatihan bisnis bagi mantan tenaga kerja. Dalam forum ini, Yusuf tak hanya belajar mengelola bisnis secara profesional, tapi juga mendapat jejaring pemasaran produk tenunnya.
Tiga tahun kemudian, pemerintah menghibahkan alat tenun senilai Rp 50 juta kepada Yusuf. Dengan alat produksi yang bertambah, kapasitas produksi pabrik Yusuf ikut berkembang.
Di tengah banjirnya pesanan, muncul masalah baru. Bisnis tenun akar wangi itu terancam kekurangan bahan baku. Menurut Yusuf, Garut bersama Haiti dan Bourbon-pulau di Samudra Hindia yang kini dikenal dengan Pulau Reunion-adalah penghasil akar wangi terbesar di dunia. Sejak lindu mengguncang Haiti pada 2010, permintaan akar wangi beralih ke Garut. "Problemnya, akar wangi bukan diolah untuk kerajinan, tapi disuling menjadi minyak akar wangi," kata Yusuf.
Dampaknya, harga minyak akar wangi yang sebelumnya Rp 2,5 juta per kilogram melonjak menjadi Rp 4 juta. Harga bahan baku akar wangi pun ikut terkerek. Sebelum booming minyak akar wangi, harga satu kilogram bahan baku cuma Rp 17 ribu. Kini harganya melonjak hingga Rp 25 ribu. Akibatnya, kata Yusuf, para petani sekarang memilih menjual hasil panennya ke pabrik penyulingan minyak. Perajin tenun cuma mendapat apkiran.
Yusuf sudah punya ide mengatasi masalah itu, tapi belum mampu mewujudkannya. "Saya harus punya kebun akar wangi sendiri," katanya.
Yusuf sudah memiliki keterampilan membibit akar wangi yang diperolehnya saat bekerja di Ibu Kota. Namun dia belum punya modal untuk membeli kebun, yang luasnya minimal satu hektare. Harga tanah seluas itu di Garut sekitar Rp 60 juta. Dia berharap klaim asuransinya di Brunei segera dibayarkan sehingga tak lagi bergantung pada petani akar wangi.
Yusuf memilih solusi itu meski dia sadar bisnis minyak akar wangi sedang menjadi tren. Dia tak mau banting setir menyuling minyak akar wangi karena menenun akar wangi adalah keterampilan asli penduduk desanya. "Persaingan di bisnis tenun juga masih ringan karena pemainnya masih sedikit," ujarnya.
Toh, ketika kondisi serba terbatas, Yusuf bisa terus menjaga roda bisnisnya terus berputar. Di bengkel kerjanya yang memproduksi aneka suvenir, dari tas hingga tempat tisu berbahan akar wangi, terdapat 6 mesin tenun dengan 12 pekerja yang semuanya tetangga sekitar rumahnya.
Di bengkel kerja yang lebih mirip gudang itu, tangan-tangan cekatan menenun akar wangi yang dijalin dengan benang katun. Pada jam sibuk, bunyi kayu tenun yang beradu meramaikan suasana kerja di bangunan yang luasnya sekitar satu setengah kali lapangan badminton itu.
Kebanyakan pekerja di bengkel Yusuf adalah perempuan. Yusuf dan Cucu bertekad memberdayakan perempuan di desanya. "Salah satu tujuan bisnis kami adalah membuat perempuan berdikari dalam ekonomi keluarga," ujar Cucu.
Pemasaran produknya pun kini meluas tak hanya di Garut, tapi merambah ke Jakarta, Bogor, dan Bandung. Omzetnya mencapai Rp 12 juta sebulan.
Meski perusahaannya mulai menjanjikan, Yusuf masih menimbang peluang ekspor tenun akar wangi. Dia beralasan salah satu penyebab perusahaannya hampir tumbang saat ditinggal ke Brunei ialah aturan ekspor yang sangat ketat dan kaku. "Kapok membidik pasar ekspor. Kini fokus saja membesarkan pasar domestik," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo