KENIKMATAN menumpang kereta api tak lama lagi akan meningkat. Dalam Pelita IV ini, PJKA akan melakukan perbaikan rel, sehingga kereta api mungkin melesat aman dalam kecepatan 100 km per jam. Rel juga akan dimuluskan, sehingga sentakan yang terasa di sebagian besar jalur kereta berkurang. Perbaikan itu akan dimulai bulan depan dengan sepuluh unit mesin yang baru dibeli dengan harga sekitar Rp 1,707 milyar. "Masyarakat menghendaki perjalanan semakin cepat, sehingga PJKA harus menyelenggarakan angkutan berkecepatan tinggi," tutur Direktur Instalasi Tetap PJKA, Ir. Soeharso. "Di Jepang, kereta sudah berlari lebih dari 120 km per jam, sedangkan di sini maksimum baru 80 km per jam, tambahnya. Kondisi jalur kereta yang ada di Jawa dan Sumatera memang masih membahayakan kuda besi PJKA itu berlari kencang. Rel terputus-putus setiap 85 meter. Bobot rel bantalan, dan batu-batu penyangga (balas) masih kurang berat. Akibatnya, rel, di sana-sini, amblas, melengkung ke atas, atau membengkok. Kontrol dan pemeliharaan rel dengan tenaga manusia - yang dilakukan pemborong pekerjaan jalan PJKA - kurang sempurna. Kini, secara bertahap, jalan kereta akan ditingkatkan mendekati standar internasional. Bobot rel akan diperberat dari 42 kg/meter menjadi 52 kg/m. Bantalan yang terbuat dari baja 50 kg, atau dari kayu jati 100 kg, hendak diganti dengan bantalan beton 200 kg. Rel juga akan disambung dengan las sehingga kereta bisa menggelinding tanpa terantuk-antuk - seperti di jalur yang sudah dicoba antara Kutoarjo dan Yogyakarta. Dan, yang lebih penting, semua pekerjaan itu tidak lagi akan ditangani langsung oleh tenaga manusia, melainkan mesin-mesin mahal serba otomatis. Selama ini, pengawasan dan perbaikan rel dilakukan regu-regu khusus yang dibentuk PJKA. Setiap regu terdiri dari enam orang berikut mandornya, yang bertanggung jawab sekitar 6 km - atau 1 km setiap orang. Kemampuan kerja mereka sekitar 5 m/hari, sementara hasil kerjanya hanya bisa diandalkan bertahan dua bulan. Kini, pekerjaan itu akan diserahkan kepada empat mesin - masing-masing bernilai Rp 140 juta - yang mampu meluruskan, meratakan, dan mengangkat rel. Mesin ini tidak menggunakan linggis, tetapi semacam jari penjepit. Cukup seorang operator menyetel supaya tenaga listrik dan hidrolik dikerahkan pada delapan penjepit untuk mengangkat rel. Bagian yang menyembul, amblas, atau bengkok ditekannya hingga lurus dan rata. Mesin yang cukup dijalankan dua operator ini mampu meluruskan rel sepanjang 400 m/jam, dan hasilnya bisa berjalan tujuh bulan. Sampai saat ini, penggantian rel biasanya dilakukan paling sedikit oleh 60 tenaga manusia dengan peralatan sederhana. Kelak, pekerjaan itu akan diserahkan kepada mesin hydraulic rail threader, yang dibeli Rp 19 juta. Ukurannya kecil, panjang 1,6 m - mirip mesin forklift pemunggah barang dan mampu menggendong rel seberat 20 ton. Tangan mesin, yang dijalankan satu orang itu, cukup cekatan untuk menyingkirkan rel bekas ke sisi badan jalan kemudian memasangkan rel baru yang dibawanya sendiri. Sebuah mesin lain lagi, yang bentuknya seperti bis storing, mampu meluncur 70 km/jam di atas rel. Sepasang peralatan las bisa diturunkannya lewat bagian belakang untuk mengelas sepuluh titik sambungan rel per jam. Hasil kerjanya sepuluh kali lebih cepat dari yang biasanya dilakukan sepuluh tenaga pengelas. Juga lebih rapi, karena tidak meninggalkan gumpalan las yang menonjol. Selain tiga jenis mesin untuk pekerjaan rel itu, masih ada lagi tiga mesin yang berkaitan dengan pekerjaan bantalan dan balas jalan kereta api. Mesin track relaving system berharga Rp 181 juta itu dapat dikirim ke tempat pemasangan jalan kereta dengan kecepatan 14 km/jam. Sementara mesin itu berjalan perlahan, 45 bantalan dengan bobot 9 ton diproses, sehingga begitu tiba di lokasi tinggal ditancapkan. Bantalan dan rel biasanya ditutup dan disangga dengan batu-batuan yang disebut balas (ballast). Penebaran balas dengan tenaga manusia selama ini sering kurang merata, sehingga rel jadi bengkok, amblas, atau menyembul. Tetapi, dengan ballast profiling machine yang berharga Rp 80 iuta, batu-batu bisa dipasang secara lebih rapat dan rapi. Mesin berbobot 15,5 ton itu mampu memprofil balas 400 m/jam. Untuk membersihkan batu, PJKA membeli mesin ayakan raksasa. Mesin paling panjang ini (32,8 m), juga paling mahal (Rp 622 juta), mampu menyedot balas sampai 25 cm di bawah bantalan. Lewat ban berjalan, balas diguncang-guncang, sehingga pasir dan kotoran yang melekat pada batu rontok ke dalam wadah penampung. Setelah bersih, batu-batu itu digelar lagi. Mesin ini dalam sejam mampu membersihkan balas selebar 3 m, panjang 1 km. Mesin-mesin berwarna kuning buatan pabrik Plasser & Theurer dari Austria itu, yang dipesan tahun 1982, sudah tiba di Balai Yasa Manggarai, Jakarta. Plasser menjamin kerusakan & suku cadang untuk tiga tahun. Diperagakan awal bulan ini, mesin-mesin itu sebenarnya bukan teknologi baru. "Kita ketinggalan dari sesama negara ASEAN. Malaysia sudah mempergunakannya sejak 1978," tutur Kepala Bagian Jalan dan Bangunan Exploatasi Barat PJKA, Abdullah Sapari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini