Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tanpa Panda di Manggala

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengakhiri perjanjian kerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia yang berdampak pada kerja-kerja konservasi di 30 wilayah. Selain alasan di balik pemutusan yang tak terlalu jelas, ada konflik para aktivis lingkungan yang mewarnai keputusan tersebut.

1 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutus kerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia yang sudah berjalan 58 tahun.

  • Surat pemutusan hubungan tidak berisi penjelasan yang definitif, upaya WWF Indonesia meminta penjelasan tidak pernah direspon.

  • Akibat pemutusan hubungan kerja sama ini, program konservasi di 30 wilayah di seluruh Indonesia terancam.

MEMAKAI kaus hitam bergambar panda di dada kanan dan teks “Planet Needs You” di dada kiri, Kuntoro Mangkusubroto melangkah lamban tapi pasti memasuki ruang Emerald 3 Hotel Fairmont Jakarta pada Selasa, 28 Januari lalu. Panda adalah hewan endemis Cina yang menjadi logo World Wide Fund for Nature (WWF)--organisasi konservasi terbesar di dunia yang berdiri pada 1961.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di belakang Ketua Badan Pembina Yayasan WWF Indonesia itu, beriringan Ketua Badan Pengurus Alexander Rusli dan Direktur Konservasi Lukas Laksono Adhyakso. Keduanya memakai kaus yang sama dengan Kuntoro. “Ini cara kami menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para donor dan duta-duta besar negara sahabat,” kata Kuntoro, 72 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertanyaan itu seputar pemutusan kerja sama mengelola area konservasi antara WWF Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 10 Januari 2020. Di depan belasan wartawan, Kuntoro menerangkan sikap lembaganya atas terbitnya surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menamatkan perjanjian kerja sama konservasi sejak 1998 itu. “Kami menghormati tapi banyak pertanyaan, kami bertanya tapi tak ada jawaban,” ujar Kuntoro.

Salah satu pertanyaan yang tak terjawab, kata Kuntoro, adalah soal kerja sama yang dalam dokumen perjanjian tertulis berlaku selama 25 tahun mendadak diputus per 5 Oktober 2019. “Sampai detik ini, kami belum tahu apa kesalahan kami karena sejak tahun lalu kami minta bertemu dengan Menteri tapi tidak pernah diberi kesempatan,” ucap Kuntoro, yang pernah menjabat Menteri Pertambangan dan Energi pada 1998-1999. “Kami menyesalkan mengapa (diputuskan) sepihak. Apa tidak bisa dirembuk dulu agar kami dapat memperbaiki diri?”

Pernyataan Kuntoro merujuk pada dua surat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang datang dalam satu amplop pada 7 Oktober 2019. Surat bertanggal 4 Oktober 2019 itu memutuskan kerja sama konservasi karena WWF tidak menanggapi surat bertanggal 28 Maret 2019 yang berisi pemberitahuan evaluasi kerja sama sejak 1998 tersebut. “Sudah kami cek data masuk pada Maret, tak ada surat bertanggal 28 itu,” kata Direktur Komunikasi WWF Indonesia Elis Nurhayati.

Konfrensi pers pimpinan Yayasan WWF Indonesia di Fairmont Hotel, Jakarta Pusat, Selasa, 28 Januari 2020./ TEMPO/Khory

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, yang menandatangani surat itu, tak membalas pertanyaan Tempo. Seorang anggota staf Tata Usaha Sekretariat Jenderal yang disodori surat 28 Maret itu mengidentifikasi nomor S.29/MENLHK-SETJEN/ROKLN/KLN.0/3/2019 berasal dari Biro Luar Negeri. Ia hanya mengakui mengeluarkan surat tanggal 4 Oktober. “Mohon berkomunikasi dengan Biro Humas,” ujar seorang anggota staf Biro Luar Negeri.

Faktanya, menurut Lukas Laksono Adhyakso, WWF Indonesia tidak dilibatkan dalam evaluasi seperti bunyi surat 28 Maret 2019. Selain itu, kata dia, laporan hasil evaluasi tidak pernah ia terima. “Kami sulit mengetahui di mana salahnya meskipun dalam surat-surat berikutnya disebutkan hal-hal yang sifatnya subyektif, seperti overclaim kami terhadap pekerjaan dan disrespectful,” ujar Lukas, yang sejak 17 Desember 2019 menjabat pelaksana tugas chief executive officer (CEO) WWF Indonesia, menggantikan Rizal Malik. Rizal kini ditunjuk WWF Internasional untuk memimpin sebuah inisiatif baru di Asia-Pasifik.

Dalam Keputusan Menteri Nomor SK.32/Menlhk/Setjen/KUM.1/1/2020 itu disebutkan empat poin hasil evaluasi terhadap kerja WWF Indonesia yang menjadi dasar pemutusan kerja sama. Pertama, WWF Indonesia memperluas ruang lingkup perjanjian 1998. Kedua, WWF Indonesia melakukan kegiatan di bidang perubahan iklim, penegakan lingkungan hidup dan kehutanan, serta pengelolaan sampah yang tak memiliki dasar hukum yang sah. Ketiga, melanggar prinsip kerja sama dan kerja lapangan serta melakukan klaim sepihak tak sesuai dengan fakta. Keempat, melanggar substansi kerja sama melalui kampanye media sosial dan publikasi laporan yang tidak sesuai dengan fakta.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno mengkonfirmasi empat hal itu. Menurut dia, pekerjaan WWF sudah melampaui pekerjaan yang tertuang dalam perjanjian 13 Maret 1998. “Dulu hanya dengan KSDAE, sekarang kerja sama juga dengan PHPL (Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari) dan lain-lain,” kata Wiratno pada 10 Januari lalu. “Komunikasi mereka juga harus ditingkatkan dan hasil-hasil kerja perlu disinkronisasi.”

Lukas mengakui komunikasi WWF tidak lancar dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta para pejabat di bawahnya, terutama dalam satu setengah tahun terakhir. Pemicunya adalah surat Wiratno kepada Rizal Malik pada 16 Oktober 2018 yang membatalkan perjanjian kerja sama antara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua dan WWF Indonesia Program Papua yang ditandatangani sehari sebelumnya.

Lukas menduga KLHK menilai WWF terlalu berlebihan mengklaim pekerjaan karena dalam perjanjian itu disebut luas kawasan konservasi 7,67 juta hektare. “Itu luas total, bukan kami mengklaim memilikinya,” ucapnya.

Elis Nurhayati menambahkan, dalam surat Wiratno ini disebutkan bahwa kerja sama Papua cacat prosedur dan tidak memenuhi mekanisme kerja sama di Kementerian. KLHK menegaskan bahwa urusan konservasi tidak bisa didelegasikan kepada daerah sehingga apa yang dilakukan WWF dianggap melampaui kewenangan. Alexander Rusli menyangkalnya. “Mana berani WWF Indonesia tanda tangan sesuatu kalau tidak sesuai dengan prosedur,” ujarnya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di Subang, Jawa Barat, Maret 2016./ Dok. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Menteri Siti Nurbaya menolak menjawab alasan pasti pemutusan kerja sama dengan WWF itu, terutama benarkah pemicunya soal kerja sama Papua. Sewaktu ditemui Tempo di Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sepulang mendampingi Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengunjungi korban banjir bandang di Lebak, Banten, pada 30 Januari lalu, ia mengatakan hanya akan menjawab soal tambang ilegal di Lebak. “Saya tidak mau komentar soal lain,” ucapnya.

Ketika Ahmad Faiz Ibnu Sani dari Tempo menanyakan polemik kementeriannya dengan WWF Indonesia, Menteri Siti hanya tersenyum, melambaikan tangan, lalu masuk ke mobil dinasnya. Siti memang tak mau meladeni wawancara soal ini. Panggilan telepon serta surat dan pesan pendek yang berisi daftar pertanyaan soal alasan utama di balik pemutusan kerja sama dengan WWF selama dua pekan yang dikirim Tempo ke kantornya di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, tak ia balas.

Secara samar-samar, Emmy Hafild--kolega Siti di Partai NasDem--mengkonfirmasi dugaan kerja sama Papua yang membuat Menteri Siti memutuskan kerja sama dengan WWF. “Ini cerita lama, LSM Indonesia yang merupakan cabang LSM internasional tanda-tangan MOU dengan pemerintah terus cari duit di luar dengan mengklaim ‘mempunyai’ wilayah pengelolaan. Apalagi Papua provinsi yang sensitif, perjanjian itu dibatalkan dan Kepala BKSDA diganti,” tulis Emmy di akun Facebook miliknya.

Tempo menemui Emmy--mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)--untuk memperjelas informasi itu. Emmy menerangkan panjang-lebar soal alasan di balik pemutusan hubungan tersebut. Namun dia meminta seluruh pernyataannya tak dikutip setelah ia menerima terusan daftar pertanyaan Tempo untuk Menteri Siti, satu jam setelah wawancara. “Ambil saja dari Facebook saya,” katanya.

Ada juga isu kebakaran di wilayah konsesi restorasi ekosistem PT Alam Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo, Jambi, yang jadi pemicu Menteri Siti menerbitkan keputusan itu. Menurut Elis Nurhayati, dari 35 ribu hektare konsesi PT Alam Bukit Tigapuluh, area yang terbakar seluas 100 hektare, yang merupakan kawasan yang dirambah dan dibalak secara masif untuk ditanami kelapa sawit dan karet secara tidak sah oleh pihak lain. Pemegang saham mayoritas PT Alam Bukit Tigapuluh adalah PT Panda Lestari, yang merupakan anak usaha Yayasan WWF Indonesia.

Dalam artikel “WWF reacts after agreement ended, ministry counters” di situs Foresthints.news, 30 Januari 2020, Wiratno mengingatkan WWF berfokus memperbaiki reputasinya dengan melengkapi sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan di konsesinya. “Perusahaan WWF juga diwajibkan memulihkan area bekas terbakar mengingat saat ini konsesi WWF tersebut dalam status dikenakan sanksi oleh Kementerian,” ujar Wiratno. Pernyataan Wiratno merujuk pada area PT Alam Bukit Tigapuluh.

Wiratno tidak merespons pesan Tempo yang mengkonfirmasi pernyataannya di Foresthints. Tapi Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Djati Witjaksono Hadi mengatakan bahwa pernyataan Wiratno, “Disiapkan oleh tenaga ahli komunikasi Ibu Menteri.”

Pemimpin redaksi web yang berisi kegiatan dan pernyataan-pernyataan pejabat KLHK ini adalah Elfian Effendi. Ia mantan Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia. Namanya mencuat di kalangan aktivis lingkungan setelah sebuah pesan WhatsApp di grup “Darurat WWF” tersebar luas. Menurut mereka yang tahu, penulis pesan untuk Alexander Rusli dan Nazir Foead itu adalah Elfian. Isinya soal penempatan calon pelaksana tugas chief executive officer (CEO) atau penasihat WWF yang disetujui Menteri Siti.

Badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten./ Stephen Belcher/wwf.id

Elfian menjawab pertanyaan Tempo seputar pesan itu, tapi menolak dikutip. Adapun Alexander membenarkan jika Elfian dan beberapa orang lain disebut mencoba menjadi jembatan antara WWF dan KLHK karena mereka bergerak di banyak lembaga swadaya masyarakat, selain dulu pernah di WWF. Apakah Elfian disebut-sebut menjadi calon CEO WWF? “Bukan dia, tapi kombinasi orang-orang tidak jelas,” kata Alex. “Saya lebih suka yang jelas, hitam-putih, supaya tahu cara bernegosiasi.”

Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut yang pernah menjabat Direktur Konservasi WWF Indonesia, hanya mau menanggapi pertanyaan Tempo mengenai dampak pemutusan kerja sama konservasi antara KLHK dan WWF Indonesia. Nazir menyayangkan kejadian tersebut. “Padahal tantangan keberlanjutan lingkungan hidup makin kompleks. Idealnya semua pihak bersinergi, bekerja sama,” ujarnya.

Dampak pemutusan kerja sama ini memang sudah terasa di lapangan. Menurut Kuntoro Mangkusubroto, dari total 130 proyek WWF Indonesia, ada 30 proyek yang terkena dampak langsung pemutusan itu. Proyek-proyek yang kandas itu berada di 19 kawasan konservasi seperti Taman Nasional Ujung Kulon di Banten, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Lampung, dan Suaka Kelian di Kalimantan Timur, yang menjadi tempat perawatan satu-satunya badak Sumatera yang ditemukan di Kalimantan. “Biaya perawatan satu badak setahun itu Rp 10 miliar,” kata Kuntoro.

Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Anggodo mengatakan, untuk 2020, anggaran balai berkisar Rp 19 miliar, 70 persennya habis untuk gaji pegawai. “Ada kemungkinan anggaran operasional hanya cukup untuk dua bulan lagi. Sisanya kami penuhi lewat kerja sama dengan mitra lain karena WWF sudah tidak ada lagi,” ujar Anggodo, yang ditemui di kantornya pada 21 Januari lalu. Taman Nasional Ujung Kulon adalah proyek konservasi pertama WWF Internasional dalam identifikasi dan perlindungan badak yang dimulai pada 1962.

Di Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, semua kegiatan WWF Indonesia dengan balai terhenti sejak 5 Oktober 2019, termasuk tim patroli gajah. Menurut Job Charles, Manajer Lanskap Sumatera Selatan WWF Indonesia, sejak Desember 2019, mereka merumahkan 20 pawang gajah atau mahout, asisten, dan tenaga lain. “Kami pun terpaksa menghentikan pemberian income bagi puluhan orang yang membantu kami di taman nasional,” kata Charles.

Menurut Lukas Laksono Adhyakso, jumlah anggota staf WWF yang berkaitan dengan satwa liar sekitar 170 orang. Ia sedang berupaya agar dampak pemutusan hubungan kerja seminimal mungkin, terutama yang menyangkut personel dan kerja konservasi. “Ada beberapa strategi yang kami lakukan: menawarkan ke KLHK untuk mengambil staf tersebut karena konservasi membutuhkan keahlian khusus, kami juga tawarkan ke organisasi yang serupa dengan kami,” ucap Lukas.

Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia adalah lembaga konservasi satwa liar dan habitatnya seperti WWF Indonesia. Menurut Country Director Indonesia Program Noviar Andayani, WCS Indonesia juga memiliki program di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan karena ada gajah yang menjadi salah satu spesies prioritas mereka. “Kami kehilangan salah satu kawan lama yang terkuat. WWF itu teman berantem yang enak di lapangan,” ujar Noviar.

WCS, yang berkantor pusat di New York, Amerika Serikat, juga dikabarkan tengah dievaluasi KLHK atas kerja-kerja konservasi mereka, terutama kerja sama yang melibatkan lembaga lain, seperti polisi dan Kejaksaan Agung, dalam mitigasi satwa liar. Tapi Noviar menyangkalnya. “Tidak ada surat teguran, tapi ada yang mengingatkan. Kami aktif berkomunikasi dengan KSDAE, meminta maaf dan segera memperbaikinya,” katanya.

Menurut Wiratno, selain LSM yang berbentuk yayasan Indonesia, ada sebagian yang masih menginduk ke lembaga pusat mereka di luar negeri. “Mereka ini bisa mengakses dana-dana dari Amerika Serikat untuk Indonesia, di luar dana yang dijanjikan bagi pemerintah,” ujar Wiratno. Terhadap lembaga yang masih menginduk ke organisasi asing, kata Wiratno, ada sebuah tim lintas kementerian yang sedang mengevaluasinya.

Center for International Forestry Research (CIFOR) yang berkantor di Bogor, Jawa Barat, juga pernah mendapat teguran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut artikel web jurnal Nature edisi 10 Desember 2019, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan KLHK Raffles Panjaitan memanggil peneliti CIFOR, David Gaveau, ke kantornya pada 4 Desember setelah peneliti ini mempublikasikan risetnya soal kebakaran hutan dan lahan di tujuh provinsi pada 1 Januari-31 Oktober 2019 seluas 1,64 juta hektare.

Angka itu 40 persen lebih tinggi ketimbang hasil penghitungan KLHK. “Angka itu tidak masuk akal,” ucap Raffles seperti dikutip Nature.com. Setelah pemanggilan itu, analisis Gaveau dicabut dari situs CIFOR pada 6 Desember 2019. “Kebiasaan CIFOR menyerahkan penelitian ke pengawasan proses peer-review, tapi praktik itu tidak sepenuhnya ditaati. Kami menyesali kekeliruan ini dan meminta maaf kepada pembaca,” kata Robert Nasi, Direktur Jenderal CIFOR.

Soal tuduhan WWF menjadi cabang WWF Internasional, Kuntoro Mangkusubroto menjelaskan bahwa lembaga ini menjadi entitas mandiri dalam bentuk yayasan pada 1996. Dalam setahun, kerja-kerja konservasi WWF Indonesia menghabiskan Rp 350 miliar. Semua dana tersebut dari para donatur yang berasal dari perusahaan, lembaga donor, dan perorangan. “Mereka semua bertanya soal kejadian ini,” ujarnya. “Kami jelaskan, kami minta maaf dan akan melaksanakan putusan itu sebab dalam bahasa Indonesia agak sombong, we are reputable institution.”

Sebetulnya, kata Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, kerja sama antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan sipil, khususnya pegiat lingkungan hidup, sangat penting. “Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau atau dikerjakan pemerintah. Selain itu, ada proses checks and balances karena birokrasi kita terbukti masih sangat kompleks dan buruk,” ucapnya. “Masyarakat sipil bisa membantu dalam proses-proses itu.”

DODY HIDAYAT, GABRIEL WAHYU TITYOGA, ERWAN HERMAWAN, NUR ALFIYAH, AISHA SHAIDRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus