Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berjaga tanpa Kawan Lama

Upaya konservasi badak Ujung Kulon yang dikerjakan WWF Indonesia sejak 1962 terhenti setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutus perjanjian kerja sama. Mereka tak bisa lagi bekerja di taman nasional.

1 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gajah Sumatera yang dijadikan tim patroli di Taman Nasional, Bukit Barisan Selatan, Lampung, Januari 2020../ Tempo/parliza hendrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Semua aktivitas WWF Indonesia di Taman Nasional Ujung Kulon harus dihentikan setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutus perjanjian kerja sama.

  • Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Anggodo mengatakan hengkangnya WWF Indonesia dari Ujung Kulon bisa membuat pengelolaan taman nasional pincang.

  • Program WWF Indonesia merawat Pahu, badak Sumatera betina yang ditemukan di lubang jebak di dekat Sungai Tunuq, Kalimantan Timur, juga terancam.

PAGAR kabel logam terentang panjang membelah hutan belantara di bagian tengah Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Pada kawat teratas pembatas setinggi 1,7 meter, tergantung papan kuning berisi peringatan adanya aliran arus listrik. Pembatas itu memisahkan hutan Ujung Kulon dengan wilayah Desa Ujungjaya, permukiman paling barat di tanah Jawa. “Panjangnya sekitar 8 kilometer, dari utara ke selatan,” kata Rifki Saefudin, anggota tim patroli Javan Rhino Study and Conservation Area-Yayasan Badak Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagar itu menjadi bagian dari program konservasi badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) di Ujung Kulon. Hewan bercula satu itu satu dari lima spesies badak yang tersisa di dunia. Ujung Kulon pun menjadi rumah bagi banteng Jawa (Bos javanicus), yang statusnya juga dilindungi. Selain Rifki dan timnya, patroli gabungan dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon rutin mengawasi habitat badak di wilayah itu. “Gantian berjaga setiap 15 hari,” ucap Rifki pada Rabu, 22 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sering menjelajah hutan hingga berkilo-kilometer, tim patroli jarang sekali berjumpa dengan badak. Mamalia itu memiliki indra penciuman dan pendengaran tajam. Mereka selalu kabur jika mendeteksi kehadiran manusia. Akibatnya, tim patroli biasanya cuma mendapati jejak kaki, bekas garukan cula, dan kolam lumpur tempat hewan itu berkubang. “Aktivitas badak lebih banyak terekam camera trap yang dipasang di hutan,” ujar anggota patroli dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Muhammad Ganda Saputra.

Rekaman camera trap alias kamera yang diaktifkan dengan sensor gerak itulah yang membantu tim peneliti mengenali empat anak badak Jawa baru pada 2018. Pada September tahun lalu, melalui citra kamera, ada lagi empat anak badak Jawa yang teridentifikasi. Kini populasi badak di wilayah seluas 105 ribu hektare itu mencapai 72 ekor. Jumlah ini adalah yang tertinggi sejak pendataan pada 1967, 1980, 1983, dan 2007, yang mencatat 64 badak.

Balai Taman Nasional Ujung Kulon bekerja sama dengan sejumlah lembaga konservasi, seperti Yayasan Badak Indonesia dan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, untuk memantau badak. Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Anggodo mengatakan data camera trap membantu akurasi penghitungan populasi badak Jawa. Peluang melihat satwa yang aktivitasnya lebih banyak pada pagi dan malam hari menjadi lebih tinggi. “Kami ada 120 camera trap, bantuan dari WWF Indonesia,” tutur Anggodo kepada Tempo, Selasa, 21 Januari lalu.

Ujung Kulon menjadi tonggak awal program konservasi WWF di Indonesia. Tim peneliti WWF mulai meneliti badak Jawa pada 1962. Saat itu, badak Jawa nyaris punah dengan populasi diperkirakan hanya 20 ekor. Pada 1996, lembaga itu resmi menyandang status sebagai yayasan Indonesia. Dua tahun kemudian, mereka meneken perjanjian kerja sama dengan Kementerian Kehutanan untuk program konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya hingga 2023.

Pagar yang dibangun di area yang dijaga tim Java Rhino Study and Conservation Yayasan Badak Indonesia, di Taman Nasional Ujung Kulon./ Tempo/Gabriel Wahyu Titiyoga

Kolaborasi itu bubar pada Oktober tahun lalu, setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutus kerja sama. Semua aktivitas WWF Indonesia di lahan kementerian, termasuk di Taman Nasional Ujung Kulon, harus dihentikan. “Hubungan kami sangat baik, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa karena ini keputusan pusat,” ujar Anggodo.

Hengkangnya WWF Indonesia dari Ujung Kulon, menurut Anggodo, bisa membuat pengelolaan taman nasional pincang. Selain melakukan penelitian dan pemantauan habitat badak, selama ini WWF Indonesia ikut membantu biaya operasional tim patroli. Tahun lalu, anggaran operasional patroli hanya untuk dua bulan. Namun Balai mendapat bantuan dana untuk sepuluh bulan sisanya dari mitra kerja, terutama WWF Indonesia.

Saat ini, Balai memiliki anggaran Rp 19 miliar. Sebanyak 70 persen di antaranya untuk membayar gaji pegawai. Dana yang dialokasikan untuk kegiatan pengawasan badak cuma cukup buat dua bulan. Anggodo akan terus mencari solusi, termasuk mengintensifkan kerja sama dengan Yayasan Badak Indonesia. “Sayang juga kemitraan berkurang sementara anggaran terbatas,” ujarnya.

Program WWF Indonesia merawat Pahu, badak Sumatera betina yang ditemukan di lubang jebak di dekat Sungai Tunuq, Kalimantan Timur, pada November 2018, juga terancam. Pahu bisa ditangkap setelah pelacakan selama enam bulan. Sebelumnya, keberadaan badak bercula dua itu cuma terpantau lewat kamera. Kesuksesan mendapatkan Pahu membuka peluang penelitian dan konservasi badak Sumatera di Kalimantan, yang populasinya sangat kritis dan diperkirakan tersisa 15 ekor. Pahu kini dirawat di Suaka Badak Kelian, Kalimantan Timur, di bawah pengawasan tim gabungan yang disokong WWF Indonesia.

Ketua Badan Pembina Yayasan WWF Indonesia Kuntoro Mangkusubroto mengatakan penghentian kerja sama dapat membawa dampak serius pada upaya konservasi satwa langka seperti Pahu. Selama ini, tim ahli badak, perawat, dan dokter hewan WWF Indonesia selalu memonitor kondisi Pahu sejak ia tertangkap hingga direlokasi sejauh 150 kilometer ke Suaka Badak Kelian. WWF Indonesia pun menanggung biaya perawatan Pahu, yang mencapai Rp 10 miliar setahun. “Mendapatkan satu saja sulit sekali, sekarang kami terpaksa meninggalkannya,” kata Kuntoro, Selasa, 28 Januari lalu.

Pemutusan kerja sama dengan Kementerian Kehutanan juga membuat Rusmani, anggota tim mitigasi konflik satwa WWF Indonesia di Lampung, gundah. Kementerian sudah melarang seluruh kegiatan WWF Indonesia di dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dia tak bisa lagi membantu penanggulangan konflik antara kawanan gajah liar dan masyarakat di sekitar kawasan seluas lebih dari 355 ribu hektare itu. WWF Indonesia memiliki tim untuk menggiring gajah kembali ke taman nasional. Rusmani puluhan kali melakukannya sejak 2011. WWF Indonesia terpaksa merumahkan sekitar 20 pekerja, antara lain pawang gajah dan asistennya.

Rusmani tak bisa berbuat banyak untuk membantu evakuasi dan mitigasi konflik ketika 12 gajah merangsek ke perkampungan di sekitar jalan lintas Sanggi-Bengkunat, Lampung, Ahad, 12 Januari lalu. Kawanan gajah liar itu menghancurkan tanaman produksi masyarakat di sekitar taman nasional. Rusmani hanya bisa memberikan saran kepada teman-temannya agar kawanan gajah itu bisa diarahkan masuk ke habitat mereka di taman nasional dengan kerugian sekecil mungkin. Gajah itu akhirnya dihalau menggunakan petasan. “Saya sedih tidak bisa lagi masuk ke taman nasional karena adanya pelarangan,” tuturnya, Selasa, 14 Januari lalu.

Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Ismanto mengatakan dasar kerja sama dengan WWF Indonesia adalah adanya ancaman perburuan, perambahan, dan konversi lahan ilegal di kawasan itu. Menurut dia, penghentian kerja sama dengan WWF Indonesia tak berpengaruh pada target konservasi di taman nasional. “Ada dan tidak ada mitra, kami tetap dapat merealisasi tugas pokok dan fungsi kami,” ucapnya.

Dengan pemutusan kerja sama, Ismanto menambahkan, aset WWF Indonesia menjadi barang milik negara, antara lain 110 kamera dan dua rumah pohon. Tim WWF Indonesia juga tidak diizinkan bekerja di dalam taman nasional. Namun dia tak dapat memastikan siapa yang akan melanjutkan tugas WWF Indonesia. “Dimungkinkan kerja sama dengan pihak lain untuk konservasi. Kami akan lebih selektif.”

Menurut Anggodo, WWF Indonesia bisa saja melakukan kegiatan di taman nasional, tapi mitra mereka yang harus mengajukan permohonan izin ke pengelola taman nasional. Logo WWF Indonesia juga tak boleh dipampang lagi. Meski kerja sama resmi disetop, tim Balai Taman Nasional Ujung Kulon masih berkonsultasi secara informal dengan WWF Indonesia mengenai penelitian badak. “Kami masih berteman. Masak, mau diputus juga,” tuturnya.

DODY HIDAYAT, GABRIEL WAHYU TITIYOGA (UJUNG KULON), PARLIZA HENDRAWAN (LAMPUNG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus