Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun yang lalu, presenter Sarah Sechan membuat pengumuman mengejutkan. Melalui akun Instagram-nya, pembawa acara Sarah Sechan di stasiun televisi Net TV ini menyatakan undur diri dari media sosial. "Saya ingin lebih menikmati setiap momen dalam hidup saya, bukannya sibuk memikirkan pendapat orang lain.... Hidup di media sosial sangat melelahkan," demikian sepenggal tulisan Sarah dalam unggahan terakhirnya di Instagram @sarahsechan pada Maret 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun berlalu, Sarah mengaku kini hidupnya jadi lebih berkualitas. "Kini saya bisa memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang lebih berarti," ujarnya pada Kamis lalu. Sekarang dia tak lagi merasa harus berfoto bersama teman-temannya demi menunjukkan kebersamaan, atau memotret makanan sebelum menyantap hidangan di hadapannya. Lebih dari itu, Sarah merasa kehidupannya sekarang lebih tenang dan nyaman. "Saya mendapatkan kembali privasi yang sempat hilang, dan momen yang saya lewatkan terasa lebih berharga."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keinginan Sarah berhenti aktif di media sosial (Instagram dan Twitter) bermula ketika ia bosan melihat isi lini masanya yang melulu berisi swafoto, makanan dan minuman, atau barang-barang yang baru dibeli oleh orang-orang yang ia ikuti di akunnya. "Belum lagi curhatan pribadi di caption-nya, saya tidak mau jadi seperti itu." Dia khawatir, jika suatu saat kehabisan ide untuk diunggah, ia akan mengikuti "tren" di lini masanya.
Setelah berpikir lebih dalam, Sarah juga merasa keberadaan media sosial menjadi pintu bagi orang-orang yang tak ia kenal masuk ke kehidupannya lebih jauh. "Orang-orang akan merasa jadi bagian dari hidup kita, lalu membuat mereka merasa berhak berkomentar apa pun tentang saya, bahkan hal negatif sekalipun."
Sebetulnya Sarah tak benar-benar berhenti memanfaatkan jejaring sosial di dunia maya. Ia masih punya akun Facebook yang dikunci, hanya diisi orang-orang yang ia kenal baik. Isi akun Instagram-nya yang punya jumlah pengikut 158 ribu diganti dengan foto-foto Shoku, anjing miliknya. "Seekor anak anjing tentu lebih menarik dan menghibur ketimbang seorang perempuan berusia 44 tahun yang mengunggah foto makanannya, kan?" Sarah berseloroh.
Sedangkan di Twitter, Sarah bersikap pasif. Padahal jumlah pengikutnya sudah mencapai 2,6 juta akun. Akunnya di Twitter digunakan untuk sekadar mencari informasi karena, sebagai seorang presenter, ia merasa wajib mengikuti perkembangan informasi.
Hal yang menarik, kata Sarah, sejak ia memilih "berpuasa" digital dan bersikap lebih pasif di media sosial, kualitas hubungan sosialnya jadi lebih meningkat. Contoh paling sederhana, ujarnya, saat memberikan ucapan selamat kepada seseorang, ia akan menelepon atau bertemu langsung. "Interaksi menjadi lebih akrab, sama seperti sebelum zaman media sosial."
Bukan hanya Sarah Sechan, beberapa pesohor Tanah Air juga pernah melakukan hal serupa. Ada Eva Celia, aktor Dimas Aditya, dan Kevin Julio Chandra. Gerakan "berpuasa dari media sosial" bahkan diutarakan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Imbauan untuk mengurangi penggunaan media sosial ini muncul setelah merebaknya skandal kebocoran data Facebook pada April lalu. "Saya sangat menyarankan agar kita sekali-sekali berpuasa media sosial. Enggak ada ruginya kok."
Rudiantara juga meminta pengguna lebih berhati-hati mengunggah data di Internet. "Jangan semua disampaikan," katanya, Mei lalu. Selain faktor keamanan, Rudiantara mengatakan puasa media sosial juga bisa mengurangi munculnya hal-hal negatif menjadi viral. "Sifat interaksi media sosial yang tak langsung membuat orang kerap kebablasan, sehingga penggunaan kata-kata kasar dan tidak sopan semakin banyak." Seharusnya, kata dia, pengguna bersikap seperti di dunia nyata saat menggunakan situs jejaring sosial.
Pernyataan "berhenti" dari media sosial juga disampaikan penyanyi Eva Celia. Ia mengumumkan melakukan detoks media sosial selama beberapa waktu pada akhir tahun lalu di Instagram-nya. Alasan Eva waktu itu adalah munculnya perasaan terlalu bergantung pada teknologi digital. "Media sosial menjadi distraksi besar terhadap hubungan saya dengan orang lain, bahkan diri saya sendiri." Bahkan Eva mengaku pernah sampai melupakan prioritasnya akibat keasyikan di dunia maya.
Aktor Dimas Aditya bahkan sampai dijuluki "manusia purba" lantaran ia terang-terangan menyatakan anti-media sosial. Ia sudah tidak pernah membuka Path, Twitter, Facebook, dan Instagram lima tahun terakhir. Aktor dalam film Pengabdi Setan dan Sang Kyai itu juga tak mengaktifkan berbagai messenger, seperti Line, WhatsApp, BBM, dan Kakaotalk, di gawainya.
Alumnus Jurusan Public Relations Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia ini membatasi pergaulannya di jejaring sosial karena sempat mendapat pengalaman buruk. Saat namanya mulai dikenal orang, ia mengaku sempat diteror di Twitter.
"Gue merasa harus ada privasi yang gue jaga," kata Dimas, yang pernah menjadi gadget freak dan sering lupa makan atau melakukan kegiatan lain hanya karena terlalu sering memperhatikan aktivitas teman-temannya di dunia maya.
Dimas memang memiliki iPhone dan tetap membeli kuota Internet untuk kebutuhannya. Namun ia lebih sering menggunakannya untuk mengakses berita atau isu yang sedang berkembang dibanding memperhatikan teman-temannya yang sedang mengeluh atau memamerkan kegiatannya di media sosial.
Puasa media sosial juga bisa disebabkan keterpaksaan. Aktor Kevin Julio Chandra pada Juni lalu terpaksa rehat bermain media sosial akibat harus menjalani operasi lasik pada matanya. Sebelum dan setelah menjalani prosedur untuk memperbaiki silindris dan minus pada kedua matanya itu, Kevin dilarang membuka-buka ponselnya. "Padahal dulu kebiasaan sebelum tidur," ujarnya seperti dikutip dari Antara.
Selebritas dunia juga pernah menjadi berita akibat keputusan hiatus dari dunia maya. Pada 2016, model Kendall Jenner melakukan detoks dunia maya dengan cara keluar dan tak mengaktifkan akun Twitter serta Instagram-nya. Dalam penjelasannya di program talk show The Ellen DeGeneres Show, dia mengaku keinginan itu muncul begitu saja. "Membuka ponsel adalah hal yang pertama saya lakukan di pagi hari, dan terakhir sebelum tidur di malam hari. Saya merasa lelah, dan ingin rehat sejenak."
Adapun pesepak bola muda Inggris, Harry Kane, memilih menghilang sejenak dari keriuhan Internet karena ingin fokus saat menghadapi kompetisi Piala Dunia 2018 lalu. "Terlalu banyak membaca isi media sosial membuat saya sulit berkonsentrasi dan banyak pikiran," ujar Kane. Dia merasa permainan sepak bolanya bisa lebih baik jika dia dalam kondisi tanpa beban dan pikiran. Strategi Kane cukup berhasil, meski gagal membawa tim nasionalnya menembus final Piala Dunia, Kane menjadi pencetak gol terbanyak di perhelatan tersebut.
Kesadaran untuk stop mengumbar kehidupan pribadi di Internet juga timbul pada masyarakat umum. Salah satu yang melakukannya ialah Zulkarnaen. Sama seperti Sarah, pria 31 tahun ini mengaku kualitas hubungan sosialnya jadi lebih baik. Karena tak lagi mengikuti kabar teman-temannya di media sosial, Zulkarnaen mengaku setiap momen ngumpul dengan sejawatnya jadi lebih seru. "Bukan sekadar basa-basi, tapi memang jadi ingin tahu kabar mereka."
Manfaat lain yang ia rasakan adalah munculnya banyak hobi dan kegiatan baru di waktu senggangnya. Mengulik cita rasa kopi atau melakukan perjalanan jauh menggunakan sepeda motor seorang diri menjadi kegemaran terbarunya. "Kalau hari libur, tiba-tiba suka iseng, jalan-jalan ke mana saja," ujar pria 31 tahun yang bekerja sebagai tenaga pemasaran salah satu produsen mesin kopi di Jakarta ini kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Sudah setahun Zulkarnaen menonaktifkan semua akun media sosialnya. Dari Twitter, Path, Facebook, hingga Instagram. Semua aplikasi media sosial di ponsel berlambang buah apel tergigit miliknya dihapus. Padahal, sebelumnya, semua program itu selalu setia menemani. Setiap ada kesempatan, ia pasti selalu mengecek lini masa aneka media sosialnya itu. Kebiasaan tersebut bertambah parah pada malam hari. Setiap sebelum tidur, ia pasti menjelajahi isi media sosial hingga mengantuk.
Tapi, alih-alih kantuk yang datang, Zulkarnaen mengaku makin sulit memejamkan mata. Akibatnya, dia sering begadang dan bangun kesiangan di hari kerja. Dia mengaku kinerjanya menurun dan malas-malasan. Setiap ada waktu luang, dia pasti membuka ponsel untuk bermain media sosial. Karena merasa ada yang tak beres, pelan-pelan dia meninggalkan kebiasaan itu. "Ujung-ujungnya, saya merasa semua isi media sosial itu tidak bermanfaat."
Perasaan itu bertambah besar saat periode kampanye dan pemilihan Gubernur DKI Jakarta pertengahan 2017 lalu. Saat itu, kata Zulkarnaen, isi lini masa semua media sosial yang ia miliki terkait dengan politik. Suasana panas itu membuatnya muak. "Akhirnya saya hapus akun di Facebook dan Twitter." Terbebas dari dua media sosial itu, Zulkarnaen mencoba tak mengakses Instagram selama beberapa hari. "Ternyata enak juga, pikiran lebih segar, kebiasaan begadang jadi berkurang."
Gangguan tidur dan rasa malas yang muncul pada Zulkarnaen akibat kecanduan mengakses media sosial mirip dengan gejala gangguan yang disebabkan kebiasaan atau kecanduan, seperti dinyatakan dalam International Statistical Classification of Diseases (ICD). Dalam daftar yang dikeluarkan badan kesehatan PBB (WHO) pada pertengahan Juni lalu itu, lembaga ini tak menyebut kecanduan media sosial sebagai penyakit gangguan mental. Pada daftar ICD tersebut, WHO justru menyatakan kecanduan "video gim" (game) sebagai penyakit gangguan mental untuk pertama kalinya.
Dikutip dari web resmi WHO, kecanduan game didefinisikan sebagai pola perilaku bermain, baik permainan online maupun offline (game digital atau video game), dengan beberapa tanda: tidak dapat mengendalikan keinginan bermain game; lebih memprioritaskan bermain game dibanding minat terhadap kegiatan atau aktivitas lainnya; dan seseorang terus bermain game meski ada konsekuensi negatif yang jelas terlihat.
WHO juga menyatakan, kecanduan game dianggap sebagai disorder bila pola perilaku tersebut sangat kuat dan berdampak baik terhadap pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan, maupun area penting lainnya, dan terlihat jelas selama setidaknya 12 bulan.
Meski begitu, psikiater dan spesialis kejiwaan dari Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjand, Prianto Djatmiko, menyatakan psikiater harus berhati-hati dalam menentukan kriteria gangguan yang dialami seseorang. "Harus diperiksa secara menyeluruh dulu," ujarnya kepada Tempo, Kamis lalu. "Dirilisnya ICD oleh WHO itu perlu diimplementasikan dan diadaptasi di Indonesia, tapi perlu kajian mendalam dengan pendekatan multidisiplin."
Dalam ilmu psikiatri, kata Prianto, ada batasan kriteria untuk menyebut suatu aktivitas sudah dalam tahap merugikan pelakunya. Misalnya, seseorang menghabiskan waktu hanya untuk aktivitas tersebut, sembari meninggalkan kewajiban pokok sehari-hari yang lebih penting. "Bisa saja Internet atau media sosial membuat seseorang menjadi seperti itu." Dalam kondisi lebih parah, ujarnya, seseorang akan merasa tergantung secara fisiologis. "Timbul gejala-gejala putus penggunaan, seperti pengguna narkoba yang sakaw."
Prianto mengaku pernah menangani pasien yang sudah dalam taraf kecanduan hingga mengalami ketergantungan pada Internet dan video game. "Ada, tapi kasusnya masih jarang." Untuk penanganannya, kata dia, pasien pun tak bisa asal dibawa ke psikolog atau psikiater. "Harus sesuai usianya. Kalau anak-anak dan remaja, ada bidang khusus yang menangani."
Manfaat berhenti berkutat dengan media sosial juga dirasakan Adam Ghazali, 32 tahun, karyawan swasta yang berkantor di Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Adam sudah empat tahun tak lagi membuka-buka Facebook dan aplikasi sejenis. Pemicunya sederhana, dia lupa kata kunci untuk masuk ke akunnya. Bermula dari lupa "password", Adam merasa hidupnya lebih tenang saat tak mengetahui kabar teman-temannya di Internet.
Empat tahun lalu, pria yang tinggal di Bogor ini sudah merasa lini masa media sosial hanya jadi ajang memamerkan hal-hal yang tak penting. Dia sudah merasa jengah sejak saat itu, dan mendapatkan momentum untuk "menyepi" dari keriuhan Internet setelah menikah. "Saya ingin membangun komunikasi yang sehat dan berkualitas dengan istri."
Adam dan istrinya akhirnya membuat komitmen: ponsel hanya boleh digunakan di rumah untuk keperluan penting atau pekerjaan, bukan untuk sarana hiburan. "Komitmen ini semakin kuat saat istri melahirkan anak pertama." Pada akhirnya, kata Adam, telepon seluler yang ia miliki hanya digunakan untuk sebatas mengirim pesan elektronik, bertransaksi e-banking, berkomunikasi, dan membaca berita seperlunya.
Ingin memiliki waktu yang lebih berkualitas dengan keluarga juga menjadi alasan Miradin Syahbana menghapus akun-akun media sosialnya. Padahal pria yang berprofesi sebagai jurnalis olahraga di Bandung ini sempat ketagihan bermain Facebook. "Bahkan dulu saya berkenalan dengan istri saya melalui Facebook." Setelah menikah pada 2010 lalu, ia menutup akunnya. Kepopuleran media sosial lain, seperti Instagram, Path, atau Twitter, tak menarik perhatiannya. "Saya hanya suka Facebook karena fiturnya lebih lengkap, tapi belakangan jadi garing juga." DIKO OKTARA | MITRA TARIGAN | ANTARA | GOAL.COM | PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo