Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menyusuri Jejak Unit 731

Salah satu laboratorium tempat uji coba senjata biologi dan kimia milik Tentara Kekaisaran Jepang di Tokyo kini menjadi museum. Cabang Unit 731 dulu ada kemungkinan didirikan di Indonesia.

29 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Kota Kawasaki, sebelah selatan Tokyo, terselip di antara gedung-gedung Universitas Meiji kampus Ikuta, terdapat satu bangunan kecil yang pernah berperan penting pada masa Perang Dunia II. Dikenal dengan nama Laboratorium Noborito, gedung ini dulu dikelola oleh Lembaga Riset Pencegahan Epidemi Tentara Kekaisaran Jepang. Kantor pusat lembaga ini dulu terletak di sebelah selatan kampus Universitas Waseda di Shinjuku.

Noborito merupakan salah satu laboratorium penelitian yang dimiliki Tentara Kekaisaran Jepang dan berfungsi sebagai lembaga penelitian yang terfokus pada riset dan pengembangan senjata biologi dan kimia. Karena sifatnya yang sangat rahasia, tidak banyak informasi yang keluar tentang kegiatan yang dilakukan di lembaga penelitian yang terpencil di atas bukit ini.

Namun, setelah Universitas Meiji membeli kawasan ini dan membangun kampus fakultas pertanian di sana, secara perlahan informasi dan data tentang laboratorium penelitian militer ini terkuak. Saat ini, Universitas Meiji menjadikan salah satu bekas bangunan laboratorium itu sebagai museum yang menyimpan data penting tentang kegiatan Tentara Kekaisaran Jepang dalam Perang Dunia II yang belum banyak terungkap.

Tempo berkesempatan mengunjungi museum itu pada Mei lalu dan menyaksikan beberapa koleksi museum yang berkaitan dengan aktivitas laboratorium. Misalnya, diperagakan peralatan pemurnian air yang pernah dipakai di Distrik Pingfang, Manchuria; juga informasi tentang percobaan balon udara pembawa kuman yang dikirim ke Amerika Serikat; pameran bermacam peralatan spionase yang mengandung racun; serta beragam eksperimen yang memanfaatkan bisa ular.

"Museum ini dibuka untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat bahwa, pada masa perang, Jepang pernah terlibat penelitian senjata biologi dan kimia. Diharapkan kegiatan itu tidak lagi jadi rahasia dan publik bisa mempelajarinya," ujar perempuan muda petugas Museum Noborito di bagian informasi.

Laboratorium Noborito bukan satu-satunya tempat uji coba senjata biologi dan kimia milik tentara kekaisaran. Pada 1980, seorang sejawaran bernama Seiichi Morimura menulis novel berjudul The Devil's Gluttony berdasarkan kesaksian yang ia dapat tentang riset senjata biologi Jepang pada masa Perang Dunia II. Buku tersebut mengungkap kegiatan Unit 731, salah satu fasilitas penelitian terbesar yang dikelola Tentara Kekaisaran Jepang.

Dalam novel itu, Morimura menggambarkan kemampuan militer Jepang dalam riset serta percobaan senjata biologi dan kimia yang setara dengan apa yang dilakukan rezim Nazi Jerman dan militer Uni Soviet. Buku itu kemudian menjadi perdebatan karena Morimura mengungkap informasi mengejutkan bahwa Unit 731 melakukan percobaan langsung kepada manusia dan hewan untuk menguji prototipe senjata biologi.

Unit 731 (Nana-San-Ichi Butai) awalnya bernama Bo'eki Kyusuibu (Unit Pencegahan Epidemi dan Pemurnian Air). Unit ini dipimpin oleh Shiro Ishii, dokter militer Jepang yang sangat ambisius. Awalnya unit ini ada di Tokyo sebagai bagian dari Lembaga Riset Pencegahan Epidemi Tentara Kekaisaran Jepang. Baru pada 1932, setelah Jepang menduduki Manchuria, Bo'eki Kyusuibu dipindahkan ke Manchuria. Pusat kegiatan Unit 731 terletak di daerah pedalaman Manchuria.

Selain di Cina, Unit 731 mendirikan stasiun penelitian di Singapura dan ada kemungkinan di Thailand dan Indonesia. Meskipun secara resmi dikatakan tugas utama Unit 731 adalah mengelola kebutuhan air bersih dan kesehatan anggota militer Jepang di wilayah pendudukan, di kawasan seluas 144 hektare itu ternyata Shiro Ishii dan Unit 731 melakukan pengembangan dan uji coba senjata biologi dan kimia.

Sejarawan Amerika, Sheldon Harris, mengungkapkan hal yang lebih menyeramkan yang diperolehnya dari kesaksian Jenderal Otozoo Yamada, Letnan Jenderal Ryuji Kajitsuka, dan Letnan Jenderal Takaatsu Takashi, yang ada di antara arsip tahanan perang Uni Soviet. Dari kesaksian itu diperoleh pengakuan bahwa ilmuwan di Unit 731 melakukan percobaan terhadap manusia dan hewan secara langsung dan tak langsung melalui air atau tanaman yang sengaja mereka racuni.

Shiro Ishii adalah tokoh kunci di belakang Unit 731. Ishii lulus sekolah kedokteran Universitas Kekaisaran Kyoto pada 1920. Setelah lulus, ia langsung bergabung dengan Tentara Kekaisaran Jepang. Didukung oleh kepandaiannya melayani atasan, karier militer Ishii langsung naik. Pada 1924, ia dikirim kembali ke almamaternya untuk mengambil spesialisasi bakteriologi, serologi, patologi, dan pencegahan penyakit. Gelar doktor bidang mikrobiologi diraihnya pada akhir 1926 atau awal 1927.

Meskipun awalnya militer tidak tertarik pada usul Ishii tentang pengembangan senjata biologi, setelah lulus Ishii meneruskan minatnya dalam riset senjata biologi. Pada 1928, ia mengunjungi Eropa, Amerika, dan Asia Tenggara untuk memperdalam pengetahuan tentang perang biologi dan kimia. Setelah dua tahun berkeliling ke beberapa negara, Ishii kembali ke Jepang dan langsung menemukan perubahan sikap militer Jepang yang mulai menganggap penting senjata biologi. Dengan dukungan pejabat tinggi militer, Ishii mendirikan Laboratorium Riset Pencegahan Epidemi.

Di laboratorium tersebut, Ishii ingin mengembangkan dua jenis senjata biologi, yaitu Tipe A (fungsi penyerangan) dan Tipe B (fungsi pertahanan). Namun ia tak bisa menguji coba lapangan karena orang Jepang sendiri bisa terkena dampak langsung percobaan itu. Saat Jepang berhasil menduduki Manchuria, Ishii melihat kesempatan yang terbuka lebar untuk menguji hasil laboratorium di lapangan. Secepatnya ia minta ditugaskan ke Manchuria dan mendirikan stasiun yang dinamakan Pabrik Beiyinhe.

Di Beiyinhe, Ishii mulai menguji bakteri kolera yang dijadikan senjata biologi. Dukungan politik dan dana yang besar memungkinkan Ishii memperluas cakupan risetnya dengan mendirikan kompleks laboratorium yang lebih besar di Distrik Pingfang, Manchuria. Setelah pembangunan fasilitas laboratorium di Pingfang selesai pada 1939, seluruh aktivitas Unit 731 dipusatkan di tempat ini.

Berdasarkan kesaksian mantan pekerja dan peneliti di Unit 731 yang menjadi dasar penyelidikan Sheldon Harris dan sejarawan Hal Gould, terungkap bahwa Ishii dan peneliti di Unit 731 melakukan percobaan terhadap manusia. Percobaan itu diberi kode maruta (balok kayu), yang menguji teknologi pengantar yang paling efektif untuk menyebarkan kuman antraks, tifus, paratifus, disentri, dan kolera dalam skala yang sangat luas. Unit 731 juga melakukan percobaan untuk menguji beragam reaksi tubuh manusia dan hewan apabila terpapar pada virus dan bakteri yang mematikan.

Untuk melakukan percobaan itu, Unit 731 membangun fasilitas pengembangbiakan bakteri yang sangat besar dan fasilitas pembuatan prototipe bom bakteri. Manusia yang dijadikan sarana percobaan ini diambil dari tawanan perang, orang Cina yang dituduh sebagai penjahat dan mata-mata. Ishii berhasil meyakinkan petinggi militer bahwa percobaan terhadap manusia dan hewan ini penting dan harus dilakukan untuk mempersiapkan dan memperkuat daya tahan tentara Jepang.

Militer Jepang bukan satu-satunya yang melakukan percobaan senjata biologi dan kimia pada masa Perang Dunia II. Jerman, Inggris, Amerika, dan Uni Soviet juga memanfaatkan bakteri, kuman, virus, dan cairan kimia untuk membuat prototipe senjata. Namun kegiatan Unit 731 menjadi persoalan berbeda karena, pada 1933, Jepang menarik diri dari keanggotaan Liga Bangsa-Bangsa, sehingga segala bentuk riset dan percobaan yang dilakukan Shiro Ishii dan Unit 731 tidak lagi tunduk kepada Protokol Jenewa.

Dalam situasi bebas semacam ini, penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh Unit 731 di Manchuria ataupun oleh cabang di Asia Tenggara dalam bidang biokimia dan medis langsung dimanfaatkan oleh Tentara Kekaisaran Jepang untuk mendukung aktivitas mereka di daerah pendudukan. Tragedi serum tetanus di Klender dan Surabaya patut diduga terkait dengan program sains dan teknologi yang dikelola oleh Lembaga Penelitian Tentara Kekaisaran Jepang. Untuk membuktikan atau menyangkal dugaan itu, pengungkapan sumber sejarah yang dapat dipercayai sangat diperlukan.

Fadjar I Thufail (Jepang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus