Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jepang berusaha melindungi pasukan mereka dari ancaman tetanus. Mereka menggunakan 900 romusha di kamp penampungan di Klender, Jakarta Timur, sebagai kelinci percobaan untuk menguji vaksin buatan mereka. Dalam beberapa hari, ratusan romusha menderita dan meninggal akibat tetanus akut. Namun, ketika Sekutu di ambang kemenangan, Jepang membutuhkan kambing hitam atas kejadian ini. Mereka secara brutal menyiksa Achmad Mochtar, ilmuwan Indonesia terkemuka, bersama rekan-rekannya di Lembaga Eijkman di Batavia, hingga Mochtar menandatangani pengakuan atas pembunuhan massal yang tidak dilakukannya.
Pengakuan itu dipilih Mochtar untuk menukar nyawanya dengan kebebasan sejawatnya sesama ilmuwan. Jepang memancung Mochtar beberapa minggu sebelum perang berakhir. Buku War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine karya Sangkot Marzuki dan J. Kevin Baird ini membongkar peristiwa tragis itu. Kevin Baird adalah Direktur Unit Riset Eijkman-Oxford di Jakarta, sedangkan Sangkot Marzuki kini adalah Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman periode 1992-2014. Dody Hidayat dan Erwin Zachri dari Tempo mewawancarai Sangkot sebelum peluncuran buku ini di Jakarta.
Apa alasan menulis buku ini?
Awalnya personal. Sewaktu saya dipanggil pulang oleh Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie pada 1990 untuk menjadi Direktur Lembaga Eijkman, ibu saya—Putir Chairani Siregar (masih sanak dari Sanusi, Armjn, dan Lafran Pane)—memberikan sebuah buku karangan Mohammad Ali Hanafiah: Drama Kedokteran Terbesar. Dari situ saya tahu perihal Achmad Mochar. Sejak itu ada keinginan suatu waktu namanya harus dibersihkan. Di buku War Crimes in Japan-Occupied Indonesia ini saya ambil sebagian dari buku Drama Kedokteran Terbesar itu. Sekarang rasanya lebih baik ditulis kembali, karena ada masukan dari Dr Marzoeki dan dari Bahder Johan yang bagus sekali.
Berhasil mendapatkan kesaksian Marzoeki?
Ada. Jadi, begitu dia keluar dari tahanan pada 18 Agustus 1945, Marzoeki langsung menulis dengan tulisan tangan untuk mengeluarkan unek-uneknya dan pengalaman di penjara. Di situ ada daftar siksaan yang dilakukan Kenpeitai. Itu menarik karena siksaan itu mirip yang dilakukan Amerika Serikat di Guantanamo.
Mengapa Mochtar yang dijadikan kambing hitam oleh Jepang?
Pencarian vaksin antitetanus sudah menjadi kebijakan Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang karena sebentar lagi mereka akan menghadapi perang. Dalam pikiran mereka, peperangan itu adalah head-to-head. Jadi musuh utamanya adalah tetanus. Dugaan kami, Mochtar terlalu banyak tahu, mungkin dari apa yang dia dengar selama interogasi. Kalau tidak, mustahil dia "disimpan" sampai hampir enam bulan. Pemeriksaan kasusnya kan selesai pada Januari 1945, lalu semua anak buahnya yang ditahan dilepas. Jadi di situlah—mungkin pada akhir Desember 1944—dia menandatangani pernyataan pengakuan tersebut. Jepang sudah tahu akan kalah pada 4 Juli, maka Mochtar harus mati.
Kapan mulai menulis buku ini?
Saya menulis tidak fokus. Tiga tahun lalu, sewaktu kami mengirim banyak pelajar ke luar untuk mengambil PhD, ada pelajar yang ke Oxford University, dan Kevin, yang jadi supervisor, menyuruh menulis esai tentang Lembaga Eijkman. Anak itu datang kepada saya dan saya kasih buku Hanafiah itu. Kevin lalu membacanya, ternyata klik. Kevin sangat merasa tidak nyaman dengan kejadian itu. Sebagai bagian dari Eijkman-Oxford Unit, dia bertanya kepada saya, lalu saya bercerita. Kami kemudian ke Latifah Kodijat-Marzoeki, anak Dr Marzoeki. Kevin akhirnya yang lebih kerasukan. Kami selesaikan penulisan buku ini dalam dua-tiga tahun, walaupun draf pertama selama enam bulan.
Apakah ada kaitan antara Unit 731 dan insiden serum di Klender?
Dari buku karangan Peter Williams dan David Wallace, Unit 731: Japan's Secret Biological Warfare in World War II, disebutkan bahwa ada cabang Unit 731 di Bandung. Kedua penulis itu mengatakan melihat film dokumenter 16 milimeter yang memperlihatkan kunjungan pimpinan Unit 731 Shiro Ishii ke Singapura dan Bandung pada 1943. Kami cari film dokumenter itu, tapi tidak ketemu. Di Bandung, pertanyaannya di mana? Kita ketahui, di Bandung, ada Institut Pasteur yang dikuasai Jepang dan berganti nama menjadi Bo'eki Kenkyujo. Kalau bisa melihat film dokumenter itu, pasti bisa diidentifikasi lokasinya di Bandung.
Lembaga Eijkman memang bertugas memberi vaksin?
Bukan Lembaga Eijkman yang melakukan penyuntikan vaksin, melainkan dokter Soeleiman Siregar dari RSUP (kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dan dokter Achmad Arif dari Djawatan Kesehatan Kota. Mereka berdua disuruh ke sana, tidak bawa apa-apa. Vaksinnya datang dari Institut Pasteur yang disimpan di cold room Lembaga Eijkman sebelum dibawa ke Klender. Baik Arif maupun Soeleiman meninggal saat diinterogasi Kenpeitai.
Bagaimana status Achmad Mochtar sekarang?
Dia itu kalau dibilang tidak direhabilitasi tidak juga, karena diberi bintang jasa kelas 3 oleh Pak Harto. Menurut saya, dia lebih dari itu. Dia pemimpin Lembaga Eijkman, dia pembantu rektor di Ika Daigaku (sekolah kedokteran), orang Indonesia tertinggi di situ. Sebelum Jepang masuk, Eijkman sedang berada di puncak, 1938-1940, dan Mochtar menikmati puncaknya. Bahwa dia jadi Direktur Eijkman itu logis. Dia orang kedua saat itu, kepala laboratorium bakteri. Jadi, begitu Willem Karel Mertens (Direktur Eijkman) ditangkap, dia yang naik.
Secara kelembagaan, apa pengaruh kasus ini?
Bukan hanya bagi Lembaga Eijkman. Saya berpikir, kalau sekiranya Mochtar tidak dipancung, mungkin Lembaga Eijkman tidak mati. Mungkin ilmu pengetahuan Indonesia tidak habis begini....
Apa harapan dengan terbitnya buku ini?
Saya dan Kevin lebih berharap masyarakat umum memberi pengakuan. Kalau hal itu membuka jalan untuk pemberian penghargaan yang lebih tinggi daripada bintang jasa, itu lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo