Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aiko Kurasawa*
Pada 26 Januari 1948, di Tokyo terjadi perampokan Bank Teigin (Teikoku Ginko) cabang Shiinamachi, Toshima, yang menewaskan 12 karyawan. Pelaku masuk ke bank dan mengaku sebagai ahli medis dari Kantor Kesehatan Kota Tokyo bernama Shigeru Matsui. Dia mengatakan hendak melakukan sterilisasi penyakit menular karena telah ditemukan seorang warga yang terjangkit tifus. Di Jepang, tifus tergolong berbahaya dan penderitanya harus diisolasi. Matsui mengambil obat cair dari dalam botol dan menyuruh semua karyawan meminumnya. Cara dia memakai pipet sangat lancar dan kelihatan berpengalaman. Dia sendiri minum lebih dulu, lalu 16 karyawan bank mengikuti. Tak berselang lama, semua yang minum mulai merasa sakit dan 12 orang di antaranya kemudian tewas. Matsui lalu mengambil semua uang di kasir dan melarikan diri.
Mula-mula polisi mencurigai pelaku mestilah orang yang paham betul kefarmasian. Shigeru Matsui, yang namanya dipakai si pelaku, adalah nama seseorang yang memang betul ada. Tapi Shigeru Matsui tidak mungkin menjadi pelaku perampokan dan pembunuhan di Bank Teigin itu. Polisi menyangka pelakunya salah satu orang dekatnya. Dari memorandum (catatan) seorang detektif polisi yang masih tersimpan, diketahui bahwa tim reserse mencurigai keterlibatan bekas anggota Unit 731, unit riset dan pengembangan senjata biologi dan kimia milik angkatan bersenjata Jepang. Letnan Jenderal Shiro Ishii, mantan Direktur Unit 731, juga berpendapat bahwa pelakunya kemungkinan besar seorang ahli medis tentara Jepang.
Namun, entah apa yang terjadi, akhirnya yang ditangkap dan dijadikan tersangka adalah seorang pelukis bernama Sadamichi Hirasawa. Alasannya, dia kebetulan menyimpan kartu nama Shigeru Matsui. Menurut keterangan Matsui, dia pernah bertukar kartu nama dengan Hirasawa ketika bertemu di kapal yang menyeberang ke Hokkaido, dan kesaksian ini menjadi dasar penangkapan Hirasawa. Dia dituduh menggunakan kartu nama itu untuk mengaku sebagai Shigeru Matsui. Hirasawa membantah tuduhan itu dan masyarakat juga banyak yang tidak percaya penjelasan versi aparat, tapi akhirnya dia divonis hukuman mati. Peristiwa ini sampai sekarang merupakan salah satu skandal yang paling misterius di dunia hukum pidana Jepang.
Mengapa saya menerangkan peristiwa ini sebelum menceritakan peristiwa romusha di kamp Klender, Jakarta Timur? Karena riwayat Matsui sangat mengejutkan saya. Ahli medis yang mempunyai gelar PhD ini ternyata pernah ditugasi ke Indonesia oleh Angkatan Darat selama zaman pendudukan Jepang. Dia mulai bekerja di Singapura pada Desember 1942, lalu pindah ke Bukittinggi, Sumatera, pada April 1943. Saya yakin Matsui yang kartu namanya dipakai oleh perampok bank sama dengan orang yang dikirim ke Indonesia karena tulisan kanji yang dipakai untuk nama kecilnya, Shigeru, sangat langka dan persis sama.
Saya sendiri tidak yakin 100 persen, tapi katanya Matsui mengaku pernah menewaskan 200-an orang Indonesia selama di Sumatera dengan memberikan injeksi imunisasi. Dia bermaksud mengimunisasi, tapi terjadi kesalahan dalam memberikan vaksin yang ternyata masih mengandung kuman tetanus. Menambah keterkejutan saya adalah fakta bahwa Shigeru Matsui, sesudah kejadian itu, dipindahkan ke Institut Pasteur (Bo'eki Kenkyujo) di Bandung pada Juni 1944 sebagai kepala bagian penelitian, dua bulan sebelum peristiwa Klender.
Peristiwa Klender adalah tragedi yang menimpa 478 orang romusha dari Pekalongan dan Semarang. Kamp seperti ini bukan hanya ada di Klender, melainkan juga di Kemayoran dan Jalan Kartini, Jakarta Pusat. Selama di kamp, mereka mendapatkan beberapa jenis imunisasi, termasuk pes dan campuran tifus-kolera-disentri (TKD). Beberapa hari sesudah imunisasi, ke-478 romusha itu secara bertahap memperlihatkan gejala penyakit tetanus, dan 368 orang di antaranya kemudian meninggal.
Sudah diketahui bahwa vaksin imunisasi yang dipakai dan menewaskan ratusan orang romusha di kamp Klender itu dibuat di Institut Pasteur. Jika merujuk pada kasus di Sumatera, ada kemungkinan pada waktu itu Matsui dan rekan-rekannya sedang berusaha membuat vaksin imunisasi antitetanus. Dalam berbagai pertempuran, banyak prajurit Jepang terkena tetanus. Karena itu, pembuatan vaksin antitetanus dibutuhkan.
Di Surabaya, angkatan laut Jepang juga pernah membuat vaksin antitetanus. Sebanyak 17 orang terpidana mati asal Lombok dijadikan kelinci percobaan untuk mengetahui efek vaksin antitetanus itu. Setiap terpidana mati disuntik vaksin antitetanus tiga kali. Sesudah beberapa minggu, untuk mengetahui apakah tubuh mereka sudah kebal terhadap tetanus, disuntikkan toksin tetanus yang masih aktif. Percobaan ini gagal dan sebagai akibatnya 15 dari 17 pesakitan itu tewas.
Fakta bahwa banyak romusha meninggal karena tetanus sesudah diinjeksi vaksin yang dibuat di Institut Pasteur mendorong kami mencurigai bahwa toksin tetanus tercampur ke dalam vaksin antitifus atau antipes. Masalahnya, siapa yang memasukkan itu. Apakah ahli medis Institut Pasteur melaksanakan percobaan hasil temuannya dengan memakai tubuh romusha? Ataukah toksin antitetanus tercampur dengan vaksin antitifus merupakan kesalahan Laboratorium Eijkman, tempat penyimpanan sementara obat yang dikirim dari Bandung itu sebelum dipakai untuk romusha? Ataukah staf Laboratorium Eijkman dengan sengaja mencampurkan toksin antitetanus dengan vaksin antitifus seperti dituduhkan oleh pihak Jepang?
Memang saya tidak berani memberi jawaban, tapi hanya bisa mengemukakan beberapa hasil penelitian saya selama 20 tahun ini. Satu hal yang hendak saya jelaskan di sini adalah bahwa tragedi terjadi bukan hanya di Klender, melainkan juga di kamp romusha Kemayoran dan Jalan Kartini, meskipun jumlah korbannya relatif kecil. Kejadian di Klender pada Agustus 1944 itu pun bukan tragedi pertama. Sebelum itu, 177 (dari total 561) orang romusha yang sudah dikirim ke Palembang terkena penyakit ini di sana dan 128 di antaranya kemudian meninggal. Lalu 168 (dari total 633) orang yang dikirim ke Borneo terkena penyakit yang sama dan 97 orang meninggal. Juga 45 orang yang sudah dikirim ke Bintan dari kamp Kramat juga terkena tetanus.
Pada 6 Agustus 1944, kejadian di kamp romusha Klender dilaporkan ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP, sekarang Cipto Mangunkusumo) dan dengan segera pasiennya dibawa ke sana dan ditangani oleh beberapa dokter, termasuk guru besar Jepang, Profesor Kenji Tanaka, dari Perguruan Tinggi Kedoktoran Jakarta. Tapi beberapa hari kemudian dokter sipil dilarang masuk ke kamp romusha dan pemeriksaan dilakukan oleh pihak tentara, termasuk Bagian Medis AD (Rikugun Gun'i-bu) dan Unit Pencegahan Penyakit Infeksi dan Perolehan Air Bersih (Unit for Southern Army Epidemic Prevention and Acquisition of Clean Water, Bo'eki Kyusuibu) dari AD. Lalu kejadian itu dirahasiakan dan orang yang bersangkutan dilarang bicara.
Sejalan dengan itu, cerita keterlibatan Laboratorium Eijkman diciptakan oleh Bagian Medis AD ke-16 dan Kenpeitai. Letnan Nakamura, dokter AD Jepang dari Epidemic Prevention Unit, menyerahkan laporan rahasia (top secret) yang berjudul "On Deliberate Contamination with Bacteria by Means of Tetanus Germ" pada 8 Desember 1944. Dalam kesimpulannya, dia memutuskan bahwa kepala Laboratorium Eijkman, Profesor Achmad Mochtar, dan rekannya harus bertanggung jawab atas kejadian ini.
Karena kurangnya arsip dan saksi, kita tidak bisa memastikan apa peran Shigeru Matsui dalam Institut Pasteur. Tapi, dari pengakuan diri sendiri bahwa dia pernah menewaskan 200-an orang Indonesia di Sumatera, kita mencium sesuatu yang mencurigakan. Dan peristiwa perampokan dan pembunuhan di Bank Teigin diduga dimotori oleh salah satu orang yang dulu ikut uji coba obat di medan perang di Asia. Fakta bahwa penyelidikan (pengusutan) terhadap mereka dibatalkan di tengah jalan dengan menciptakan kambing hitam seorang pelukis juga menambah kegelapan peristiwa ini.
Profesor Emeritus Universitas Keio, Tokyo, Jepang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo