Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menyusuri Kota Bawah Tanah Silesia

MENYIMPAN cerita dan sejarah, bekas tambang bawah tanah di Polandia dijadikan atraksi turis. Terowongan tidak hanya disulap supaya nyaman dikunjungi, tapi juga tetap dipertahankan keautentikannya demi memberikan pengalaman seperti pada masa lalu. Pada Desember lalu, Tempo menyusuri bekas tambang batu bara Guido di Zabrze dan bekas tambang garam Wieliczka di dekat Krakow—yang dalamnya ratusan meter di perut bumi.

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Agnieszka Wroblewska/kopalniaguido.pl

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKIN ke bawah, makin saya merasa ditelan bumi. Lift meluncur ke kedalaman 170 meter di bawah tanah dengan kecepatan sekitar 5 kilometer per jam. Di dalam elevator terasa sesak. Delapan orang berdiri di ruangan 1 x 1,5 meter ini di bawah cahaya redup dari bohlam kecil di para-para lift.

Gemuruh yang berasal dari gesekan lift dengan relnya memekakkan telinga. Elevator tak berdinding rapat. Hanya terali besi berlapis ram sebagai tabirnya. Angin dingin dari terowongan mengusap tengkuk bersamaan dengan leluasanya gemuruh menerobos ke dalam lift.

Sekitar dua menit kemudian, kami tiba di tujuan. Penglihatan kembali pulih berkat penerangan dari rangkaian lampu di langit-langit terowongan. Setelah menghitung anggota rombongan, Agnieszka, kalau saya tak salah mencatat namanya, mengajak kami ke sebuah ruangan. Pemandu tur itu langsung berceloteh dalam bahasa Polandia. Ia agaknya sedang menjelaskan fungsi bangsal yang sepertinya ruang pertemuan tersebut.

Kapel Santa Barbara di bekas tambang batu bara Guido di Zabzre, Polandia. kopalniaguido.pl

Saya tak memahami ucapan Agnieszka. Bukan karena perempuan itu bicara terlampau cepat, tapi kami tak berbahasa Polandia. Satu setengah jam lalu saya bersama empat orang Indonesia tiba di tambang batu bara Guido yang terletak di Zabrze ini—sekitar 20 kilometer di barat Katowice, ibu kota Provinsi Silesia di Polandia selatan. Kami bermaksud menyusuri terowongan tambang yang sudah tak aktif itu.

Kami datang begitu saja dari Katowice—tempat bermukim selama beberapa hari terakhir—tanpa reservasi pada sore itu. Jam masih pukul setengah lima, tapi matahari pada musim dingin Desember lalu tenggelam lebih cepat. Di luar, langit sudah gelap.

Bila tak ada pesanan sebelumnya, pengelola Guido hanya menyediakan tur dengan pemandu berbahasa Polandia. Seorang petugas di konter tiket menyarankan kami kembali esok hari bila ingin mengikuti tur dalam bahasa Inggris. Tapi besok kami berencana pergi ke tempat lain. Kami memutuskan ikut tur pukul 6 sore. Kebetulan ada lima slot yang kosong di rombongan sejumlah turis Polandia.

Setelah kami membayar tiket 50 zloti atau sekitar Rp 180 ribu per orang, si petugas memberikan cara agar kami bisa memahami ucapan pemandu. Ia mencetakkan segala informasi mengenai tambang itu. “Tapi informasi dalam bahasa Inggris hanya ada buat di kedalaman 320 meter,” katanya. “Untuk di kedalaman 170 meter, kami belum menerjemahkannya dari bahasa Polandia.”

Kereta gantung di terowongan tambang batubara Guido, Zabzre, Polandia. TEMPO/Anton Septian

Tur rencananya menjelajahi terowongan di kedalaman 170 meter dan ditutup dengan menelusuri lorong tambang di level 320 meter di bawah tanah. Apa boleh buat. Sepanjang Agnieszka mencerocos di kedalaman 170 meter, saya mencoba menebak-nebak apa yang dia katakan dengan melihat benda-benda yang ditunjuknya.

Penambangan di kedalaman 170 meter dimulai pada 1870, 15 tahun setelah tambang Guido dibuka. Awalnya penambangan dilakukan di kedalaman 30 meter. Tapi lapisan ini lebih banyak diselimuti pasir dan batu patahan tektonis. Penggalian diputuskan makin dalam, ke level 80 meter, menembus lapisan akuifer pada kedalaman 117 meter, hingga mencapai 170 meter. Setelah air dikeringkan, batu bara mulai dikeruk.

Nama Guido mengikuti nama pemilik tambang, Guido Henckel von Donnersmarck, bangsawan sekaligus salah seorang industrialis paling kaya raya pada zamannya. Waktu itu Silesia adalah bagian dari Kerajaan Prusia, yang kemudian melebur dengan Kekaisaran Jerman. Von Donnersmarck berteman dengan kanselir pertama Kekaisaran Jerman, Otto von Bismarck.

Agnieszka mengajak kami ke sejumlah lorong. Sebagian besar ruangan dipertahankan sebagaimana aslinya. Lampu-lampu, misalnya, tetap dengan bentuk lamanya dan bercahaya muram. Tiang penyangga terowongan pun tak berubah. Sebagian menggunakan baja rel tak bercat. Sebagian lain ada yang cuma balok kayu. Serpihan batu bara kadang berserakan di gang-gang.

Di salah satu gang yang lebar, Agnieszka menunjukkan sebuah kandang. Sebuah kuda boneka seukuran aslinya digantung dengan rantai yang berpangkal pada langit-langit istal. Belakangan saya tahu, Agnieszka sedang menunjukkan bahwa, sebelum pengangkutan di dalam terowongan memakai sistem conveyor, kuda dipakai untuk menarik muatan.

Suasana pub di bekas tambang batu bara Guido di Zabzre, Polandia. TEMPO/Anton Septian

Agnieszka menunjukkan bagaimana pada awal abad ke-20 para penambang bekerja. Ia menyorotkan proyektor tersembunyi yang menayangkan video rekonstruksi. Di lorong lain, ia memperlihatkan bagaimana para pekerja meledakkan dinding terowongan dengan dinamit. Jelegur! Suara dari speaker tersembunyi bersipongang di terowongan.

Tujuan utama di level 170 meter adalah Kapel Santa Barbara, yang luasnya mungkin 7 x 15 meter. Kapel ini dibangun para pekerja tambang seiring dengan penggalian di kedalaman tersebut dan masih berfungsi hingga sekarang.

Santa Barbara salah seorang dari Empat Belas Penolong Kudus. Ia santa pelindung para penambang. Sebaris kalimat yang tertulis di atas pahatan patungnya di altar salah satu sudut kapel memperlihatkan bagaimana santa itu begitu dipuja: “Sancta Barbara ora pro nobis”. Santa Barbara, doakanlah kami.

Orang suci tersebut begitu populer di Silesia. Provinsi ini penghasil batu bara terbesar di Polandia, negara produsen si emas hitam terbesar ketiga di Eropa. Polandia amat bergantung pada batu bara. Sekitar 80 persen energi negara itu berasal dari batu bara. Pemerintah Polandia mencanangkan penggunaannya berkurang hingga 50 persen pada 2040.

Di sekitar Katowice ada 14 tambang. Kota ini pernah dijuluki sebagai “Ibu Kota Batu Bara Eropa”. Pada awal abad ke-20, permukiman untuk penambang bahkan dibangun di Nikiszowiec, salah satu distrik di Katowice. Hingga kini arsitekturnya masih lestari. Bata-bata merah yang menyusun flat di tiga blok distrik itu juga tak diganti dengan material lain.

Sekarang tambang yang beroperasi tinggal dua. Produksi tambang Guido mulai menurun pada 1930-an. Tambang ditutup pada 1960, tapi kembali digunakan untuk uji coba peralatan tambang pada 1967 sampai akhir 1980-an. Terowongan level 170 meter dibuka untuk wisatawan pada 2007, yang disusul pembukaan level 320 meter setahun kemudian.

Setelah melewati kapel, kami kembali ke lift tempat kami pertama kali tiba di level 170 meter melalui lorong lain. Agnieszka menyilakan kami satu per satu naik ke elevator. Ia akan menuntun kami turun ke kedalaman 320 meter.

Diiringi decit lift dan gemuruh yang sama, kami terus menjauhi permukaan. Cahaya kembali redup. Di dalam lift, anggota rombongan tak bersuara. Ini menambah-nambah suasana muram. Saya membayangkan para penambang zaman dulu setiap hari turun ke perut bumi dengan lift itu, yang bentuknya memang dipertahankan seperti aslinya, meninggalkan hari yang terang di permukaan. Saya tatap wajah orang-orang di dalam lift. Yang tampak hanya siluetnya.

Lift melambat menjelang level 320 meter hingga akhirnya berhenti. Petugas jaga membunyikan lonceng sebelum membuka pintu elevator dari luar. “Teng! Teng! Teng!” Ini tanda bagi petugas di permukaan bahwa lift telah sampai.

Suhu di kedalaman ini 13-16 derajat Celsius, sama dengan di level 170 meter. Lumayan hangat dibanding suhu sepanjang siang tadi di Katowice, yang sekitar 5 derajat. Orang lokal yang saya temui di permukaan mengatakan ini suhu yang sejuk untuk musim dingin. Sehari sebelumnya, suhu mencapai nol derajat.

Lewat pengatur suhu pula oksigen dipompa dari permukaan. Ini membuat kami tetap bernapas lega selama menjelajahi terowongan.

Penambangan di kedalaman 320 meter dimulai pada 1890, setelah tambang dibeli Departemen Keuangan Prusia lima tahun sebelumnya. Tahun-tahun itu adalah puncak kejayaan tambang Guido. Pada 1885, produksinya mencapai 321 ribu ton—tertinggi selama tambang itu beroperasi.

Di sini kami diperlihatkan penggunaan alat-alat tambang yang lebih canggih, dari bor, ekskavator pencakar dinding, hingga conveyor yang lebih modern. Agnieszka menghidupkan sebuah mesin pencakar yang tersambung dengan conveyor peng-angkut batu bara ke tempat pengepulan. Bisingnya melebihi gemuruh lift.

Terowongan di level ini lebih berliku. Jalurnya melewati tangga yang terjal dan berkerikil. Pada kelokan lain, tangganya menurun dengan rembesan air dari dinding mengalir ke parit kecil di sebelah anak tangga. Agnieszka dengan bahasa isyarat meminta kami berpegang pada susuran.

Di ujung sebuah turunan, kami sampai di “stasiun” kereta gantung listrik. Ini atraksi yang paling ditunggu-tunggu di level 320 meter. Kereta gantung ini satu-satunya di dunia yang dipasang di perut bumi untuk turis. Petugas mempersilakan kami naik. Setelah berjalan sepanjang 3 kilometer di level 170 meter dan 320 meter, duduk dan meluruskan kaki di kereta adalah hal pertama yang saya ingin lakukan.

Terdiri atas sepuluh rangkaian gerbong, dengan setiap gerbong buat empat orang, sepur gantung ini melaju pelan. Kereta sedikit berayun-ayun dengan suara tak kalah berisik. Hanya sebentar saya bersandar, kereta telah sampai di akhir rute. Jarak dari ujung ke ujung rupanya sekitar 500 meter.

Hap! Kami melompat dari kereta. Agnieszka mengumpulkan kami, lalu mengajak masuk ke sebuah lorong.

Kawasan tambang batubara Guido, Zabzre, Polandia. TEMPO/Anton Septian

Saya pikir masih ada mesin tambang lain yang hendak dia tunjukkan. Rupanya dia mengajak kami ke Pump Hall. Ini pub paling dalam di dunia—320 meter di perut bumi. Begitu saya melangkah ke dalam, suasana tambang tak terasa lagi. Dindingnya dari bata merah dengan lampu redup warna-warni di sudut-sudutnya. Pub menyajikan kopi dan minuman beralkohol. Tapi andalannya adalah bir Guido, bir lokal. Pabriknya ada di Gliwice, kota sebelah Zabrze.

Sebenarnya ada satu tingkat lagi yang bisa dijelajahi, yakni tingkat 355 meter. Tapi kami tak ke sana. Selain tak ada waktu, tur ke terowongan terbawah ini agak ribet. Tak sembarang orang boleh masuk. Hanya turis dengan kondisi fit yang bisa mengikuti tur.

Di level ini, tak ada penerangan dari lampu teplok. Pencahayaan hanya mengandalkan senter di kepala peserta tur. Tangganya pun curam. Konon, saking senyapnya, selama di terowongan peserta bisa mendengarkan degup jantungnya sendiri.

Setelah menghabiskan 15 menit di Pump Hall, kami kembali ke permukaan. Perjalanan naik lebih jauh karena langsung menempuh 320 meter. Cahaya kembali redup ketika elevator mulai naik. Angin dingin mengusap tengkuk. Anehnya, samar-samar saya melihat wajah anggota rombongan lebih sumringah.

ANTON SEPTIAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anton Septian

Anton Septian

Redaktur Eksekutif Tempo. Sebelum ini Redaktur Eksekutif Tempo.co dan sebelumnya lagi Redaktur Eksekutif majalah Tempo. Pernah menjadi penanggung jawab kompartemen politik dan redaktur di Desk Investigasi majalah Tempo. Banyak meliput isu politik dan hukum serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Asia Journalism Fellowship 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus