Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pembelotan di Roma

Duta Besar Korea Utara di Roma menghilang dari kedutaan. Dari keluarga diplomat terpandang yang paham akan lingkaran dalam Kim Jong-un.

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kantor Kedutaan Besar Korea Utara di Roma, 3 Januari 2019./REUTERS/Alessandro Bianchi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu lagi pejabat Korea Utara membelot. Duta Besar Korea Utara untuk Italia, Jo Song-gil, dikabarkan kabur dari kantor kedutaan di Roma bersama istri dan anaknya. Masa tugas Jo seharusnya berakhir pada akhir November 2018, tapi ia menghilang sejak awal bulan itu.

Surat kabar Korea Selatan, JoongAng Ilbo, melaporkan Jo telah meminta suaka politik ke sebuah negara di Barat. Media itu menyatakan pemerintah Italia sudah melindunginya di suatu tempat yang aman, tapi khawatir akan langkah berikutnya.

Diplomat Korea Utara terakhir yang membelot sebelum Jo adalah Thae Yong-ho, yang meninggalkan kantornya di London pada 2016 setelah dipanggil pulang ke Pyongyang. Thae menyebutkan salah satu alasannya membelot adalah demi masa depan anak-anaknya yang lebih baik.

Menurut data pemerintah Korea Selatan, sekitar 30 ribu orang Korea Utara telah membelot sejak Perang Korea berakhir pada 1953. Banyak pembelot menyatakan mereka kabur karena negerinya menjalankan sistem politik yang keras dan kemiskinan merajalela.

Jo Song-gil berasal dari keluarga diplomat terpandang di Pyongyang dan punya informasi penting tentang lingkaran dalam rezim Kim Jong-un, Pemimpin Tertinggi Korea Utara. Para ahli menyatakan Jo mungkin sudah kabur ke Amerika Serikat dan memegang banyak informasi tentang bagaimana Korea Utara menyelundupkan barang-barang mewah masuk ke negeri yang terisolasi itu.

Kementerian Luar Negeri Italia mengaku tak tahu menahu soal permohonan suaka dari Jo ke Italia. Namun, “Untuk kepentingan diplomatik, saat ini Kementerian telah mengumumkan penggantian duta besar. Penggantinya telah datang,” kata sumber dari Kementerian kepada The Telegraph¸ awal Januari lalu.

Jo menjabat duta besar di Roma sejak Oktober 2017. Lelaki 48 tahun itu datang setelah Italia mengusir duta besar sebelumnya, Mun Jong-nam, sebagai protes atas uji coba nuklir yang dilakukan Korea Utara sebulan silam yang dinilai melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jo kuliah di Italia selama 2006-2009 dan dikenal lancar berbahasa Prancis, Italia, serta Inggris. Dia ditugaskan ke kedutaan di Roma pada Mei 2015.

Rah Jong-yil, mantan kepala intelijen Korea Selatan yang bertugas memantau Korea Utara, mengatakan kedutaan Roma adalah kedutaan besar paling penting di Eropa bagi Pyongyang. “Sebagian karena di sinilah tempat Pyongyang berunding untuk mendapat bantuan dari Program Pangan Dunia PBB dan dari negara inilah Pyongyang memperoleh sebagian besar barang mewah yang mereka inginkan,” tuturnya kepada The Telegraph. “Kedutaan Korea Utara mengatur pengiriman mobil, yacht, bahan bangunan seperti marmer, dan makanan mahal seperti ikan, bahkan es krim.”

Rah memperkirakan pembelotan Jo telah dirancang beberapa waktu sebelumnya. Dia diduga kabur ke Negeri Abang Sam melalui pangkalan udara Amerika di luar Frankfurt, Jerman.

Menurut Rah, Jo adalah orang kepercayaan rezim Kim. Dia putra Wakil Kepala Departemen Organisasi dan Pengarahan Partai Buruh Korea. Departemen ini berisi orang-orang pilihan dan bertugas menerapkan ajaran serta keputusan Pemimpin Tertinggi Kim.

Para pembelot menggambarkan departemen ini sebagai satu-satunya entitas yang sesungguhnya paling penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan negeri itu. Beberapa pembelot bahkan menilai Kim sebenarnya hanya boneka para pemimpin di departemen tersebut.


Keluarga para pembelot biasanya akan dikirim ke kamp kerja paksa dalam periode beragam. Namun, Rah menambahkan, mengingat senioritas, pengetahuan Jo tentang lingkaran dalam rezim, dan dampak pembelotannya, bisa jadi hukuman untuk keluarganya lebih berat.


Thae Yong-ho, wakil duta besar yang membelot dari Kedutaan Besar Korea Utara di London pada 2016, mengatakan bapak Jo telah meninggal. Mertua Jo, Ri To-sop, adalah ambasador di Thailand pada 1990-an dan pernah menangani urusan protokol diplomatik keluarga Kim di Kementerian Luar Negeri.

“Saya dulu bekerja bersama Jo di departemen yang sama di Kementerian Luar Negeri Pyongyang untuk waktu yang lama, tapi tak pernah membayangkan bahwa dia akan mencari suaka politik. Kabar ini mengejutkan saya,” ujar Thae kepada Channel A, media Korea Selatan.

“Saya juga pernah bekerja beberapa tahun dengan mertuanya, diplomat veteran terkenal yang pernah menjadi konsul jenderal di Hong Kong pada 2000-an,” Thae menambahkan.

Menurut dia, istri Jo adalah dokter lulusan sekolah kedokteran terkenal di Pyongyang. Jo dan istrinya sama-sama menikmati- kehidupan istimewa sebagai anggota keluarga elite kaya. Mereka tinggal di apartemen terbaik di Pyongyang.

Thae terakhir kali bertemu dengan Jo sebelum penugasannya ke Inggris pada 2013. Saat itu Jo punya satu anak, yang ia bawa bersamanya ketika bertugas di Italia. Fakta bahwa Jo bisa membawa keluarganya ke Roma menunjukkan posisinya sebagai elite yang dipercaya Pyongyang. Sebab, sejak Kim berkuasa pada 2011, negara komunis itu mewajibkan para diplomat yang bertugas ke luar negeri meninggalkan anak-anak mereka di Pyongyang. Thae menyebut kebijakan ini sebagai strategi “tawanan” dan menjadi salah satu alasan dia membelot.

“Kim akan sangat marah karena (pembelotan Jo) ini, khususnya karena dia sedang bersenang-senang atas keberhasilan diplomasi internasionalnya belakangan ini. Dia kehilangan muka dan keluarga besar Jo di Korea Utara bisa bernasib buruk,” kata Rah Jong-yil.

Keluarga para pembelot biasanya akan dikirim ke kamp kerja paksa dalam periode beragam. Namun, Rah menambahkan, mengingat senioritas, pengetahuan Jo tentang lingkaran dalam rezim, dan dampak pembelotannya, bisa jadi hukuman untuk keluarganya lebih berat.

Toshimitsu Shigemura, profesor di Waseda University, Tokyo, yang berfokus mengamati masalah Korea Utara, menilai Jo harus berhati-hati sekarang karena Pyongyang punya rekam jejak gelap dalam menangani musuh serta pembelot. Pada 2012, An Hak-young, agen Korea Utara, dihukum empat tahun penjara oleh pengadilan Korea Selatan karena merencanakan pembunuhan terhadap Park Sang-hak, aktivis demokrasi Pyongyang yang membelot ke Seoul.

Sebelumnya, Patrick Kim, pastor Korea Selatan yang membantu para pembelot Utara kabur lewat Cina, dibunuh dengan jarum beracun. Kasus yang paling terkenal adalah pembunuhan Kim Jong-nam, saudara tiri Kim Jong-un, dengan gas beracun di Kuala Lumpur.

Dunia sekarang sedang menunggu perkembangan politik Korea Utara. Dalam pidato tahun baru, Kim Jong-un mengulangi lagi komitmennya terhadap pelucutan senjata nuklir dan menyatakan ingin bertemu dengan Presiden Amerika Donald Trump kapan pun. Tapi ia mengingatkan, negaranya akan mengambil prakarsa lain jika Amerika terus menjalankan taktik sanksi dan tekanannya.

Kim dan Trump direncanakan bertemu kembali untuk membahas nuklir Pyongyang. Namun, di tengah rencana perundingan ini, berbagai media melaporkan bahwa Kim kini sedang menghadapi masalah dalam negeri, khususnya dari dua pilar penting negara itu: kaum elite dan militer.

Media Korea Selatan melaporkan Kim sedang membersihkan lingkaran elitenya, bahkan memecat pengawalnya karena korupsi. Beberapa laporan menyebutkan pejabat militer menjalankan bisnis narkotik karena keistimewaannya bergerak lebih bebas di negeri itu daripada masyarakat sipil.

Menurut Asia Times, status militer yang membanggakan di negeri itu juga merosot setelah Kim menggeser fokus kebijakannya dari angkatan bersenjata ke perbaikan ekonomi pasar. Bahkan ada laporan bahwa jumlah pejabat militer yang meminta izin pengunduran diri meningkat. Motivasi di balik permintaan itu adalah agar mereka dapat berpartisipasi di pasar swasta lantaran Korea Utara melarang militer terlibat dalam bisnis. Dalam hal ini, Kim menghadapi masalah berat, baik di luar maupun di dalam negeri.

IWAN KURNIAWAN (JOONGANG ILBO, THE TELEGRAPH, CHANNEL A, ASIA TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus