Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang yang sempurna pada pengujung musim dingin. Suhu tak kurang dari 20 derajat Celsius dan matahari bersinar terang. Pada hari yang hangat, Rabu pekan lalu, warga Heliopolis, distrik elite di Kairo, memenuhi tempat makan di Jalan Omar bin Khattab. Sejumlah restoran dan kafe waralaba—Coffee Bean, Chillis, Starbucks, dan lain-lain—melayani makan siang anak-anak muda itu. Tak ada yang mau duduk dalam bayang-bayang gedung, ratusan orang itu menjaring sinar matahari di tempat terbuka seluas dua lapangan tenis. Dari pakaian yang dikenakan atau sepatu bot modis para perempuan yang mengurai rambutnya, jelas mereka dari kalangan menengah atas.
Tiba-tiba, dari pengeras suara, seorang pria menyerukan pengumuman yang diulang dua kali: ”Siang ini akan digelar demonstrasi untuk mendukung Presiden Husni Mubarak di Midan Tahrir. Anda diharapkan hadir untuk memberi dukungan.” Ada yang tersenyum, ada yang tertawa mendengar pengumuman itu. Lalu mereka kembali menyantap sushi kenyal dan steak berlumur saus jamur. Di pengeras suara, kelompok musik Maroon 5 yang rencananya datang ke Kairo pada April nanti kembali berdendang.
Mereka mungkin tak peduli dengan ajakan seperti itu, tapi tidak demikian dengan puluhan ribu orang yang datang bergelombang menuju Tahrir, satu jam kemudian. Sebagian besar datang dengan berjalan kaki, tapi ada juga yang naik mobil, bahkan kuda dan unta. Dari poster di tangan dan yel-yel dari mulut mereka terbaca dukungan kepada Mubarak dan kecaman terhadap para demonstran penentang pemerintah yang sudah sepekan di Tahrir. Terselip pula kecaman terhadap Mohamed el-Baradei, ”pemimpin” para penentang pemerintah.
”Na’am li-Mubarak. Ya untuk Mubarak,” adalah tulisan paling populer di atas poster. Kalimat ini biasanya muncul saat referendum ”memilih” presiden. Karena kandidat cuma satu (Mubarak), rakyat hanya diminta mencontreng kolom ”ya” dan ”tidak”. Maka, Partai Nasional Demokrat, partai pemerintah yang kantor pusatnya di Tahrir kini sudah hangus itu, selalu berkampanye dengan satu kata: ”Ya.” Ada juga poster yang meminta Baradei kembali ke luar negeri.
Di akhir malam, para pendukung pemerintah tak hanya mengangkat poster dan memuntahkan kata-kata, tapi juga melempar batu dan molotov serta memuntahkan peluru ke arah demonstran antipemerintah. Sepuluh orang tewas, lebih dari 600 terluka dalam bentrokan itu.
Tak ada yang menyangka kedatangan mereka. Malam sebelumnya, para demonstran antipemerintah sudah melihat kemenangan di depan mata. ”Kejatuhan Mubarak hanya soal waktu,” demikian tulis Sharif Kouddous di Twitternya. Tapi, setelah kedatangan pendukung pemerintah, keyakinan itu memupus. Mereka tak lagi takut pada polisi yang sudah lama mundur, atau tentara yang berjanji tak melepas tembakan. Para pemuda itu kini khawatir pada demonstran lainnya yang sedang mengepung mereka.
Siapakah mereka yang datang tiba-tiba, seperti pasukan hantu di film The Lord of the Rings ini? Sekilas, dari penampilan mereka, tampaknya para pendukung pemerintah ini berasal dari kalangan menengah bawah. Berbeda dengan pakaian para penyantap makan siang di Heliopolis, penampilan para pendukung Mubarak ini amat sederhana. Bahkan tampak lebih sederhana daripada penampilan para demonstran penentang pemerintah yang kebanyakan mahasiswa itu.
Komposisi mereka juga berbeda. Tak seperti demonstran penentang yang sebagian besar pria dan muda, para pendukung ini terdiri atas pria dan wanita, bahkan anak-anak. Melihat mereka memenuhi jalanan seperti melihat rombongan keluarga yang menikmati car free day.
Sebagian besar dari mereka datang dari kawasan padat penduduk seperti Bulaq el-Dakkour atau Abbasia. Tapi banyak juga yang berasal dari provinsi di luar Kairo. ”Kami datang karena para penentang pemerintah sudah keterlaluan. Presiden sudah bilang tak akan mencalonkan lagi. Apa lagi yang mereka tuntut?” kata Mahmud Abdul Hadi, 34 tahun, petani dari Provinsi Fayum. ”Mubarak adalah simbol Mesir, bagaimana mungkin dia diganti?” kata Mohannid Ashor, pegawai pemerintah dari Boulaq.
Bagaimana mereka bisa bergerak tiba-tiba? Tampaknya bukan dari perjalinan di jejaring sosial Internet. ”Eh dah (apa itu) Twitter?” kata Abdul Hadi kepada rekan di sampingnya yang juga mengangkat bahu. Kalaupun mereka tahu, apa gunanya? Beberapa hari sebelumnya, pemerintah memutus jalur ke dunia maya.
Agak susah menebak bagaimana mereka digerakkan, karena di lapangan tidak ada komandan yang memimpin dan memberi perintah seperti halnya Pam Swakarsa di Jakarta pada masa reformasi 1998. Yang jelas, ada pembagian bendera kecil Mesir yang terbuat dari plastik bertangkai hijau. Berbeda dengan poster-poster penentang Mubarak yang terlihat dibuat spontan, banyak poster pendukung yang dibuat bagus dengan pencetak digital.
Mohamad Anter, editor di koran oposisi El-Shorouq, punya jawaban yang agak mengejutkan. ”Mereka orang bayaran,” kata jurnalis yang meliput langsung kejadian di Tahrir itu. ”Sejumlah sumber saya mengatakan dengan jelas hal itu.” Menurutnya, kalaupun tak dibayar langsung, mereka diberi janji surga untuk mendapatkan pekerjaan dan bantuan lainnya. ”Mereka dari kalangan bawah yang tak punya pekerjaan.”
Laporan CNN menyebutkan, saat Midan Tahrir berkobar, beberapa demonstran pro-Mubarak disandera lawannya. Sebagian dari mereka ketakutan, memohon dibebaskan dan mengaku telah dibayar pemerintah. Sebagian yang lain didapati membawa perlengkapan dan identitas yang hanya dimiliki oleh polisi, seperti kartu anggota, pentungan, dan pistol. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri membantah kartu anggota polisi telah disita dari massa pendukung Mubarak. ”Jika ada, itu adalah curian atau palsu,” katanya di televisi nasional.
Reham Said, demonstran anti-Mubarak, mengatakan dia melihat pria dengan seragam polisi masuk ke hotel dalam perjalanan ke Midan Tahrir. Dia kemudian keluar memakai pakaian sipil dan bergabung dengan orang-orang pro-Mubarak. ”Ini pengkhianatan,” kata Reham kepada CNN.
Al-Jazeera mendapat informasi dari beberapa orang yang menonton pengunjuk rasa. ”Kamu tahu mereka dibayar untuk ini, kan?” tanya seorang wanita bernama Nahedah, ketika kelompok massa dari Agouza lewat. ”Mereka memperoleh 50 pound Mesir (Rp 77.000) untuk hari itu, dan mereka berdemonstrasi.” Namun Al-Jazeera tidak bisa memastikan tuduhan ini, karena dua demonstran yang dimintai konfirmasi membantahnya.
Memang sulit membuktikan tuduhan itu. Apalagi melihat semangat para pendukung Mubarak saat bentrok dengan penentangnya. Karena itu Kemal Hassan, penentang Mubarak yang ditemui saat ”libur” dari demonstrasi pada Kamis pekan lalu, punya jawaban yang berbeda dengan Anter. ”Rakyat Mesir itu emosional. Semua pria Mesir itu mudah menangis, gampang terharu. Setelah mendengar pidato Mubarak tempo hari, mereka gampang diprovokasi untuk turun ke jalan,” katanya saat ditemui di sebuah kafe tradisional di Jalan Ahmad Sukarno. ”Sebentar lagi, setelah emosi turun, mereka juga akan reda.”
Lalu bagaimana dengan penembakan dari arah jembatan layang ke arah para demonstran di Tahrir, Kamis dinihari? Apakah itu spontanitas orang yang emosional? ”Kalau itu berbeda. Saya yakin mereka adalah pasukan keamanan nonmiliter yang berpakaian sipil. Siapa yang punya senjata api kalau bukan mereka? Kairo bukanlah Asyout (provinsi di selatan Mesir, yang membolehkan kelompok suku memiliki senapan berburu).”
Beberapa kilometer dari kafe di Jalan Sukarno itu, pada Kamis siang, di atas jembatan 6 Oktober, orang-orang berpakaian sederhana kembali berbondong-bondong menyeberangi Sungai Nil menuju Tahrir. Mereka menenteng tas plastik besar berisi berbagai makanan. Tak ada sushi dan steak saus jamur. Dari kantong plastik yang terawang hanya terlihat eish, roti tradisional kasar yang akhir-akhir ini harganya naik berlipat-lipat, hingga 50 sen pound Mesir (Rp 2.500). Mereka tak sebanyak hari sebelumnya, tapi jelas lebih dipersiapkan.
Qaris Tajudin (Kairo), Ninin Damayanti (CNN, Al-Jazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo