Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mereka yang Dicap 'Setan Gundul'

Sebagian aktivis yang diculik pada 1998 dibebaskan, sebagian lain tak jelas nasibnya. Diduga merupakan operasi gabungan militer.

12 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mugiyanto lemas melihat ke luar jendela lantai dua Rumah Susun Klender, Jakarta Timur, yang ia kontrak bersama tiga temannya. Aktivis ini melihat enam pria menatap ke arah jendela dari bawah. Ia menyalakan lampu, lalu memadamkannya kembali. Mugiyanto merasa tak nyaman. Sebab, ketika masuk ke rumah, ia mendapati lantai berantakan. Koran, buku, dan berbagai dokumen berserakan.

Sebelum pulang pada Jumat sore, 13 Maret 1998, itu, Mugiyanto menelepon penghuni lain, Nezar Patria. Ia menyampaikan akan membawa pulang masakan Jepang, yang mereka anggap mewah ketika itu. Sesampai di rumah, Mugi heran tak menemukan tiga rekannya: Nezar, Aan Rusdianto, dan Petrus Bima Anugerah. "Saya heran, rumah kok kosong," kata Mugi, kini 39 tahun.

Mugiyanto yakin teman-temannya baru saja meninggalkan rumah. Ia melihat segelas air jeruk yang masih hangat di atas meja. Ia lalu menghubungi operator penyeranta, menanyakan posisi Nezar. Tak ada balasan. Beberapa saat kemudian telepon rumah berdering, ternyata dari Margiyono, rekan mereka. Mugi menanyakan keberadaan Nezar dan kawan-kawan, juga menceritakan kondisi rumah. "Seketika itu juga saya menyuruh Mugi kabur," ujar Margiyono.

Terlambat. Pintu digedor dari luar. Mugi membuka pintu. Sepuluh pria merangsek ke dalam. Dua orang mengenakan seragam loreng. Sisanya berpakaian sipil. Pria tua berkopiah menggandeng Mugibelakangan sang aktivis menge¡©nalinya sebagai ketua RT setempatmencoba menenangkan dan berpesan agar tak melawan. Mereka membawa Mugi dengan mobil Mitsubishi L300 ke markas Komando Rayon Militer Duren Sawit, Jakarta Timur.

Di kursi sebelahnya, seorang pria bertopi, berbadan kekar, dan tingginya sekitar 165 sentimeter juga diinterogasi di markas Koramil. Lelaki itu mengaku bernama Jaka, tinggal di dekat penjara Cipinang, Jakarta Timur. Dua pria berseragam tentara menginterogasi sambil menendang kaki Jaka. "Lepaskan saya, Pak. Saya cuma main di dekat rumahnya Mugi," kata Mugi, mengingat jawaban Jaka. Ketika itu, Mugi mengira Jaka korban salah tangkap.

Setengah jam kemudian, polisi militer membawa Mugi dan Jaka dengan mobil bak terbuka yang berbangku panjang. Mugi dan Jaka duduk saling membelakangi, masing-masing diapit dua polisi militer. Mereka dibawa ke markas Komando Distrik Militer Jakarta Timur di Jatinegara. Tangan mereka diborgol. Seorang pria berkulit putih, tegap, dan mengenakan batik menyambut di markas. Ia berdiri di samping sedan BMW bersama dua pria berpakaian tentara. "Cepat, turunkan mereka!" kata pria itu.

Perintah itu tak dituruti. Pengawalnya tetap duduk di atas mobil. Pria berbaju batik itu menghardik, "Kalian menghormati saya tidak? Ayo, segera turunkan mereka!" Kali ini perintah itu dituruti. Setelah membuka borgol keduanya, pengawal membawa mereka ke ruang tamu Kodim. Hanya lima menit, mereka dibawa keluar lagi. Ketika berjalan keluar, Jaka menggandeng Mugi seraya tersenyum, "Mugi, kamu selamat. Kita pulang ke rumahku."

Mugi sempat bungah ketika diajak naik mobil BMW itu. Namun, baru sepuluh detik duduk, ia disuruh keluar. Beberapa pria mengangkutnya ke mobil Toyota Kijang. Ia diperintahkan membuka baju untuk menutup matanya. Mugi kembali lemas. Ia mendengar para pria yang membawanya itu berbicara dengan kata sandi, seperti elang, harimau, dan rajawali.

Belakangan diketahui, Jaka yang bersamanya itu ternyata Kapten Djaka Budi Utama, personel Kopassus yang bersama 10 prajurit lainnya divonis bersalah menculik sembilan aktivis pada 1997-1998. Mugi dibawa ke markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Ia disekap di dalam sel, dipukuli, disetrum, sambil diinterogasi tentang keterlibatannya dalam Partai Rakyat Demokratik.

***

Mobil Toyota Kijang berhenti di perlintasan kereta api kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Seorang pemuda mengenakan kaus berkerah dengan kumis dan jenggot yang tampak baru dicukur, turun dari dalam mobil. Ia dibekali amplop berisi Rp 150 ribu dan tiket kereta Fajar Utama kelas bisnis tujuan Semarang. "Naiknya dari Stasiun Jatinegara," kata Raharjo Waluyo Jati. Pada 25 April 1998 itu, Jati dibebaskan setelah enam pekan disekap dan disiksa di tahanan markas Kopassus.

Jati ditangkap bersama Faisol Reza pada 12 Maret 1998 setelah makan siang di area Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Ketika itu, ia masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Mereka aktivis Komite Nasional Perjuangan Demokrasi, yang gencar menolak pertanggungjawaban Presiden Soeharto. Sehari sebelumnya, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima pertanggungjawaban Soeharto dan memilihnya kembali sebagai presiden untuk periode keenam.

Sehari sebelum dilepaskan, Jati sempat diberi "wejangan" agar tak menceritakan penculikan itu kepada siapa pun. Bila itu dilakukan, penculik mengancam akan menganiaya dia dan keluarganya. Selama perjalanan di dalam kereta, Jati dilarang banyak berbicara dan tak boleh melihat ke belakang. Ia juga diberi tahu akan terus diawasi hingga sampai rumahnya di Semarang. "Ada penculik yang mengikuti saya di dalam kereta," katanya. Faisol Reza dilepas dengan cara yang sama.

Pembebasan Mugi, Aan, dan Nezar tak semulus Jati. Ketiganya sempat dipindahkan ke beberapa tempat. Di antaranya markas Kodam Jaya di Cawang, Jakarta Timur. Setelah itu, mereka dibawa ke Polda Metro Jaya. Ketiganya dituduh merencanakan makar, dijerat dengan pasal subversif. Selama pemeriksaan, mereka ditahan di sel isolasi. Tentara kerap meneror mental dengan mengancam mereka akan kembali disiksa. Baru pada 5 Juni 1998, dua pekan setelah Soeharto mundur, mereka dilepaskan.

Empat aktivis lain yang diculik juga dibebaskan bertahap, yaitu Andi Arief, Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Haryanto Taslam. Andi, yang diculik paling akhir, diserahkan ke Markas Besar Kepolisian karena dituduh terlibat rencana pengeboman. Bom meledak di kamar sewaan mereka di Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, pada 18 Januari 1998.

Andi dijemput dari Cijantung setelah petinggi Badan Intelijen ABRI (BIA) menelepon Komandan Jenderal Kopassus. Dalam keadaan mata tertutup dan tangan diborgol, ia dibawa ke Polda Metro Jaya. Sebelumnya, ujar sumber Tempo, Kepala BIA saat itu, Mayor Jenderal Zaky Anwar Makarim, memberi tahu Kepala Polri Jenderal Dibyo Widodo soal posisi Andi Arief. "Kami diberi tahu status penyerahan saat itu," kata Nurfaizi, Kepala Badan Reserse Kriminal ketika diperiksa Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat yang dibentuk oleh Komnas HAM pada 2006.

Sejumlah aktivis lain yang diculik pada 1997-1998 tak jelas nasibnya hingga kini. Mereka adalah Yani Afri, Sonny, Herman Hendrawan, Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, dan Wiji Thukul.

Penyelidikan oleh Komisi Nasional HAM menyimpulkan, penculikan aktivis itu memenuhi unsur joint criminal enterprise, yaitu "melibatkan pelaku dari berbagai institusi, terencana, dan dieksekusi bersama-sama". Bukan hanya Tim Mawar bentukan Kopassus yang ketika itu dipimpin Mayor Jenderal Prabowo Subianto, Kepolisian, Badan Intelijen ABRI, dan Komando Distrik Militer Jakarta Timur dianggap ikut bertanggung jawab. "Para atasan masing-masing diperkirakan terlibat dan mengetahui penculikan," demikian tertera dalam laporan akhir tim ad hoc itu.

Kejahatan gabungan ini terlihat jelas pada saat penculikan Mugi. Ia dioper dari markas Koramil sampai Polda Metro Jaya. Menurut seorang pensiunan jenderal, penculikan merupakan salah satu pelaksanaan operasi pengamanan Sidang Umum MPR. Di kepolisian, yang ketika itu masih bergabung dengan ABRI, disebut Operasi Mantap Jaya. Salah satu bentuknya adalah "mengamankan" orang-orang yang dinilai berpotensi mengganggu stabilitas politik negara. "Para petinggi ABRI ketika itu, termasuk Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, mengetahui penculikan ini," katanya.

Operasi ini tak berjalan sendiri. Pasokan nama-nama target operasi diperoleh dari BIA, yang sudah memetakan para aktivis lewat agen-agen mereka. Daftar nama ini kemudian diserahkan ke Presiden Soeharto, lalu diserahkan ke semua petinggi ABRI, termasuk Kopassus.

Prabowo kepada majalah Panji pada 1999 mengaku menerima daftar nama itu. Ia mengatakan khilaf karena seharusnya tak ada penculikan. "Itu kesalahan teknis di lapangan," katanya.

Soeharto, ujar sumber Tempo, menyebut para aktivis yang namanya tercantum di daftar itu dengan sebutan "setan gundul". Operasi ini, sesungguhnya tak sempurna meski terlihat sistematis. Seharusnya, dalam operasi intelijen, targetnya mesti semua mati atau tetap hidup. Faktanya, mereka yang diculik Tim Mawar ada yang mati. Dalam kesaksian Pius, selama ditahan, ia sempat bertemu dengan Sonny dan Yani Afri, serta mendengar suara Deddy Hamdun di Cijantung. "Operasi ini menjadi kacau karena ada persaingan elite TNI," ucap sumber Tempo. Pensiunan jenderal tadi memberi informasi sama. "Ada operasi di dalam operasi," katanya.

Indikasinya bisa dilihat selama kesembilan aktivis itu ditahan di Cijantung. Para penculik kerap menanyakan keberadaan beberapa aktivis, termasuk Wiji Thukul, padahal mereka sudah lama menghilang. Para aktivis yang sudah dibebaskan pun, seperti Herman Hendrawan, Bima, Sonny, dan Yani Afri, yang sempat bertemu dengan aktivis lain, kembali menghilang. "Kelompok lain yang menculik mereka," ujar sumber Tempo.

Para pejabat militer yang bertugas ketika itu menolak diwawancarai. Sel gelap di markas Kopassus, tempat aktivis disekap dan disiksa, kini rata tanah. Di bekas bangunan kini dibuat taman kembang warna-warni. Kontras dengan hitam nasib aktivis yang tak jelas hingga kini.


Pertanyaan yang Tak Terjawab

HAMPIR dua windu penculikan para aktivis pada 1998. Tapi, bagi Mugiyanto, satu dari belasan korban, tragedi itu tetap menyisakan pertanyaan: "Dari mana instruksi penculikan itu?"

Mugi dulu aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi, yang berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik. Ia diambil dari rumah susun tempat ia tinggal, lalu diangkut ke markas tentara. Ia kini memimpin Ikatan Orang Hilang (Ikohi), organisasi nonpemerintah yang setiap pekan menggelar aksi Kamisan, menuntut kejelasan korban penculikan yang belum kembali.

Soal perintah penculikan pernah dijawab Mayor Bambang Kristiono, komandan Tim Mawar yang dibentuk Komando Pasukan Khusus untuk menculik aktivis. Dalam persidangan di Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta Timur pada 1999, Bambang mengatakan instruksi penculikan "datang dari hati nurani".

Pengakuan Bambang tercatat dalam dokumen persidangan. Di situ, Bambang mengatakan, Tim Mawar dibentuk pada Juli 1997 dan beranggota 11 orang. Ketika diperiksa, Bambang mengatakan ide penculikan datang dari dia. Alasannya, karena dia risau melihat "aksi aktivis radikal yang mengganggu stabilitas nasional".

Untuk menculik para aktivis bengal itu, Bambang membagi Tim Mawar menjadi beberapa satuan lebih kecil, terdiri atas tiga-empat orang. Operasi rahasia menggunakan metode hitam, dengan setiap posko berdiri sendiri.

Disebutkan, ada sembilan aktivis yang diambil paksa: Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Desmon J. Mahesa, Andi Arief, Nezar Patria, Mugiyanto, Aan Rusdianto, Faisol Reza, dan Raharjo Waluyo Jati. Mereka dibebaskan bertahap.

Mahkamah militer memecat dan menahan Bambang serta empat anggota timnya. Enam anggota lain dihukum penjara, tapi tidak disertai sanksi pemecatan.

Putusan peradilan itu, menurut mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Marzuki Darusman kala itu, janggal karena tak menjelaskan rantai operasi. Kejanggalan terasa karena dalam surat dakwaan hanya dibatasi pada tanggung jawab perorangan.

Dengan menerima pengakuan Bambang, pengadilan tak mengusut lebih jauh keterlibatan perwira tinggi lain. Tuduhan penyiksaan dan penganiayaan terhadap korban juga tidak diusut. Apalagi berusaha mencari 13 aktivis yang masih hilang. "Dengan kata lain, Tim Mawar hanya bertanggung jawab atas sembilan aktivis yang dibebaskan," ucap Mugi.

Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk petinggi ABRI pada 3 Agustus 1998 untuk mengusut keterlibatan para perwira menyimpulkan penculikan atas perintah dan setahu pimpinan Kopassus. Disebutkan, operasi itu bukan inisiatif anggota Tim Mawar. Dewan bahkan menyatakan Prabowo mengakui penculikan itu. "Prabowo salah menafsirkan perintah komando," kata Jenderal Subagyo, Ketua Dewan Kehormatan, pada saat mengumumkan hasil kesimpulan timnya.

Dewan tak menjelaskan alur komando operasi. Padahal, menurut seorang anggota Dewan Kehormatan ketika itu, pengusutan pada jalur komando akan merembet ke banyak jenderal.

Rekomendasi yang disampaikan Dewan Kehormatan ada dua: sanksi pensiun dini atau Mahkamah Militer untuk perwira yang terlibat. Namun pengadilan militer untuk para perwira kolonel ke atas tidak pernah digelar.

Prabowo Subianto menolak permintaan wawancara yang diajukan Tempo. Namun, dalam wawancara dengan majalah Panji pada 27 Oktober 1999, Prabowo menyebutkan penculikan sebenarnya bentuk menjalankan perintah pengamanan. Ia mengatakan tidak memerintahkan operasi itu.

Mantan Panglima ABRI Jenderal Purnawirawan Wiranto juga menolak berbicara tentang peristiwa tersebut. Ketika ditemui Senin pekan lalu, ia tak menjelaskan alasan Mahkamah Militer tak dilaksanakan. "Penyelesaiannya sudah cukup," ujar Ketua Umum Partai Hanura ini. "Penculikan berlawanan dengan konsep saya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus