Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRI Wiyanto sedang berpatroli di perairan Kepulauan Seribu ketika melihat seonggok mayat terapung di laut lepas. Pagi itu petugas keamanan laut ini sendirian mengendarai perahu motor jagawana, menyusuri kawasan cagar alam Pulau Rambut yang tak berpenghuni.
Ia segera mengangkat jenazah yang mulai membengkak itu, mengangkutnya menuju pulau terdekat, Untung Jawa. "Saya tarik dan saya masukkan ke perahu," katanya ketika diwawancarai Tempo lima tahun silam. Ketika mayat ditemukan, penduduk pulau sedang menyaksikan televisi yang menyiarkan pembakaran massal di Jakarta pada pertengahan Mei 1998.
Tak lama berselang, Tri menerima laporan dari dua rekannya yang berpatroli di perairan Pulau Burung, juga di kawasan Kepulauan Seribu. Mereka menemukan dua mayat laki-laki terapung di dekat pantai pulau yang juga dikenal sebagai surga burung itu.
Tri menuju lokasi penemuan mayat yang juga sudah membengkak, lalu membawanya ke Pulau Untung Jawa. Setelah dimandikan dan disalatkan, ketiga jenazah yang dibungkus itu terpal dikubur di tepi pantai.
Wawan, penduduk Untung Jawa, menuturkan penghuni Pulau Untung Jawa memang kerap menemukan mayat mengapung di laut. Lazimnya, mayat yang ditemukan dikubur di pantai. Tapi, berbeda dengan penemuan mayat lain, tiga jenazah itu "mengusik" mereka.
Penyebabnya, tiga bulan kemudian, tentara bersenjata lengkap datang dengan dua perahu. Tim dari Pusat Polisi Militer itu merapat di dermaga Pulau Untung Jawa. Dalam rombongan ini juga ada ahli forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat.
Tentara itu memerintahkan penduduk membongkar kuburan tiga mayat temuan petugas patroli keamanan cagar alam Pulau Rambut. Jenazah yang telah terkubur tiga bulan itu dimasukkan ke kantong dan diangkut dengan perahu.
Menurut Tri, di dada jenazah pertama terlihat lubang "seperti bekas tembakan". Lelaki ini gemuk, berwajah bulat, dan tingginya sedang. Ketika ditemukan, jenazah mengenakan kaus putih bertulisan Hammer dan celana panjang krem. Cincin putih melingkar di ibu jari tangan. Pada ikat pinggangnya tergantung kantong plastik berisi harmonika merah, tiga tablet sejenis obat penenang, dan jam tangan anak-anak.
Zulhasmar Syamsu, ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang datang bersama tim Pusat Polisi Militer, menyebutkan ciri-ciri jenazah yang kurang-lebih sama. "Tapi tidak ada lubang di dada kiri," ujarnya. "Di pergelangan tangannya ada bekas kekerasan akibat benda tumpul."
Djaja S. Atmadja, ahli forensik dan DNA dari rumah sakit yang sama, membuat rekonstruksi dua dari tiga wajah mayat. "Tingkat kemiripan dengan orangnya bisa sampai 90 persen," kata Djaja.
Tim forensik kemudian memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengidentifikasi tiga jenazah melalui hasil rekonstruksi. Keluarga Wiji Thukul dan Petrus Bima, dua aktivis yang hilang dan belum ditemukan hingga kini, juga diundang.
Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, menyatakan keluarga penyair itu tidak pernah menerima undangan Pusat Polisi Militer untuk mengidentifikasi jenazah. D.T. Utomo Rahardjo, ayah Petrus Bima, juga menyatakan hal yang sama. Ia berharap segera menerima kejelasan nasib putranya. "Kami setiap hari berdoa," ujar Utomo, pensiunan karyawan rumah sakit di Malang, Jawa Timur, pekan lalu.
Eva Arnaz, artis era 1980-an, datang untuk mencari suaminya, Deddy Omar Hamdun, yang hilang pada akhir 1997. Eva, menurut Djaja, tidak mengenali identitas tiga mayat itu.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelidiki penculikan aktivis dan mahasiswa 1997-1999 pada 2006. Penemuan tiga mayat itu kembali mengusik tim investigator lembaga ini. Empat anggota tim lalu meluncur ke Untung Jawa.
Ciri-ciri lebih detail ketiga jenazah diungkapkan seorang investigator kepada Tempo pekan lalu. Tiga mayat itu ditaksir berusia 20-40 tahun. Dua mayat, kata dia, terikat ketika ditemukan. Pada satu mayat lainnya terdapat lubang di dada.
Sebulan kemudian, tim investigator kembali ke pulau itu guna melakukan penyelidikan pro justicia. Dua orang penemu jenazah dimintai keterangan, yang dicantumkan dalam berita acara pemeriksaan.
Tim investigator datang ke RSCM untuk bertemu dengan tim forensik. Seorang anggota tim sempat mengusulkan tes DNA terhadap tiga mayat, dan membandingkan hasilnya dengan data-data keluarga 13 aktivis yang masih hilang. Usul ini tak pernah ditanggapi. "Mungkin Komnas mengejar waktu penyelesaian penyelidikan," kata anggota tim itu.
Penemuan jenazah di perairan Kepulauan Seribu juga mengundang perhatian Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras. Dua lelaki paruh baya datang ke kantor itu, menyatakan para nelayan di sekitar Pulau Kelapa menyaksikan perahu motor membuang benda semacam drum ke laut pada malam hari.
Di ujung pembicaraan, dua tamu itu mengajak Kontras bekerja sama mencari aktivis yang masih hilang. Kontras menolak ajakan itu. Tapi organisasi ini memutuskan menelusuri informasi mereka. Tim segera diberangkatkan ke Pulau Kelapa.
Kontras telah lebih dulu meminta informasi dari sejumlah aktivis yang diculik dan telah dibebaskan pelakunya, yakni Tim Mawar dari Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat.
Tomi A., yang ketika itu bekerja untuk Kontras, menuturkan tim berangkat dari dermaga Marina Ancol, Jakarta Utara, pukul 05.30. Mereka tiba di Pulau Kelapa empat setengah jam kemudian. Menurut Tomi, orang-orang tak dikenal menguntit tim ini sejak dari Marina Ancol.
Tak disangka, dua pria pemberi informasi—yang tawaran kerja sama pencariannya ditolak—sudah menunggu di dermaga. Mereka terlihat marah. "Kontras dianggap tidak memenuhi janji untuk melibatkan mereka dalam proses pencarian orang hilang." Tomi kini bekerja sebagai jurnalis.
Tim menginap di satu rumah penduduk, lalu menelusuri pulau berpenduduk 6.000 jiwa itu. Beberapa nelayan mengaku kepada tim bahwa mereka melihat kapal membuang benda seperti drum pada malam hari. "Hal itu tidak lazim," Tomi mengutip penjelasan nelayan.
Tim menyimpulkan tidak ada jejak aktivis yang hilang di Pulau Kelapa. Mereka menyeberang ke Pulau Panjang. Di sini tim menemukan bangunan seperti shelter yang catnya kelihatan masih baru. Tapi kusen jendela bangunan ini telah lenyap, pecahan kaca berserakan di lantai. Penduduk Pulau Kelapa tidak mengetahui fungsi bangunan ini.
Landasan pacu pesawat sekitar 400 meter ada di pulau tak berpenghuni itu. Kotak nasi dan sendok plastik patah bertebaran di tanah. "Menandakan beberapa hari sebelumnya ada orang datang ke pulau ini," ujar Tomi.
Tim Kontras menerima informasi dari penduduk bahwa sebulan sebelumnya ada beberapa orang berpakaian militer tiba. Sejumlah nelayan mengatakan pernah melihat kuburan di pulau itu beberapa bulan sebelumnya.
Peneliti dari Kontras berencana menyelam di perairan untuk mencari jejak. Namun kedalaman laut mencapai 30 meter, yang hanya dapat ditelusuri penyelam profesional. Rencana ini tak dilanjutkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo