Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGKASA di sekitar Jakarta sibuk pada Rabu siang pekan lalu. Petugas lalu lintas udara di Bandar Udara Soekarno-Hatta yang memandu Sukhoi Superjet 100 juga mengatur 12 penerbangan lain pada saat yang sama. "Ini jumlah yang cukup tinggi buat seorang petugas," kata I Gusti Ketut Susila, Presiden Indonesia Air Traffic Controllers Association, Jumat pekan lalu.
Pengatur lalu lintas udara dalam sorotan setelah kecelakaan Sukhoi Superjet 100, pada hari itu. "Izin" pengatur kepada pilot Aleksandr Yablonstev untuk turun dari ketinggian 10 ribu kaki ke 6.000 kaki di sekitar Gunung Salak, Bogor, dipertanyakan banyak orang. Logika awam mengatakan ketinggian itu tak aman karena ketinggian Gunung Salak lebih dari 7.000 kaki.
Pada jam-jam puncak seperti Rabu siang itu, udara seperti jalanan Jakarta yang ruwet. Pesawat selalu antre, berputar-putar di langit, sebelum bisa menyentuh darat. "Pada jam sibuk bisa 20-30 menit antre di udara," kata Ervin Adhitya, pilot sebuah maskapai penerbangan swasta.
Pilot Aleksandr Yablontsev memang tak perlu melewati "kemacetan" lalu lintas udara itu. Sukhoi Superjet yang ia kendarai melintasi wilayah aman, yang disebut training area. Area ini memanjang sejauh 20 nautical mile atau 37 kilometer ke selatan dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Gunung Salak berada di luar area pelatihan. Menurut Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara, ajang demo pesawat atau joy flight kerap menggunakan area pelatihan itu.
Kontrol udara tetap dilakukan oleh petugas di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Susila menyatakan lalu lintas udara semakin padat, sementara jumlah petugas terlalu sedikit. Idealnya, satu petugas melayani lima pesawat pada saat yang sama. Di Soekarno-Hatta, satu petugas pengatur bisa melayani hingga 15 pesawat. "Saking sibuknya, untuk minum saja petugas tidak bisa," katanya.
Tugas pengatur lalu lintas udara tak hanya memandu pendaratan dan lepas landas. Menurut Susila, petugas juga mengawal perjalanan pesawat melalui radar hingga masuk wilayah pengatur yang lain. Termasuk menjaga jarak antarpesawat atau memperingatkan jika ada obyek pengganggu penerbangan. Lengah sedikit, bahaya mengincar. Beban petugas meningkat terutama jika semua pilot minta didahulukan mendarat.
Para pilot menyadari tingginya tekanan petugas di terminal pengawas. Indikasinya, kata seorang pilot, petugas berbicara terlalu cepat sewaktu memberi perintah sehingga tak terdengar jelas. Kadang pula nada suara petugas meninggi seperti mengajak berkelahi.
Tak jarang petugas salah memberi perintah. Seorang pilot bercerita, petugas pernah keliru memberi perintah menurunkan ketinggian kepada pesawat yang sedang antre. "Seharusnya perintah diberikan ke pesawat lain, tapi malah diberikan ke saya," ujarnya. Kali lain, petugas salah memerintahkan perubahan posisi moncong pesawat. Seharusnya moncong pesawat berbelok ke arah 330 derajat atau arah jarum jam di angka 11, tapi petugas malah menyebutkan angka 300 derajat atau arah jarum jam di angka 10. "Untung segera ketahuan. Kalau tidak, nyasar-nya kejauhan."
Chappy Hakim juga mengkritik sistem pengaturan lalu lintas udara ini. Ia menilai peralatan dan kemampuan pengatur kendaraan di udara sudah ketinggalan zaman. Parahnya, jumlah pesawat kian banyak. "Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, Indonesia paling jelek."
Ervin Adhitya juga menilai alat yang digunakan Air Traffic Control Indonesia jauh di bawah standar peranti Singapura. Negara tetangga sudah menggunakan radar cuaca untuk mendampingi pilot. Jika ada awan kumulonimbus atau awan hujan, petugas setempat cepat-cepat menghubungi pilot dan mengarahkan ke tempat lain. Bagi penerbang, memasuki awan itu sama saja dengan mengarungi guncangan. Tapi di sini tak demikian. "Kadang malah diarahkan ke awan hujan," katanya.
Pramono, Rina Widiastuti, Ananda Putri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo