Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tertambat Kabut Gunung Salak

Medan berat menyulitkan evakuasi korban Sukhoi. Kemiringan lereng hampir tegak lurus.

14 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM Sukhoi Superjet 100 meninggalkan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Ismiyati Sunarto menelepon ibunya, Sutini. Kepada sang ibu, Rabu siang pekan lalu, ia mengabarkan hendak terbang dengan pesawat baru buatan Rusia itu. "Ibunya sempat melarang karena ini pertama kali Ismi naik pesawat," kata Sikun Hadisunarto, ayah Ismiyati, di rumahnya, Serang, Banten, Kamis pekan lalu.

Ismiyati satu dari 45 penumpang Sukhoi yang menabrak tebing Gunung Salak, 21 menit setelah lepas landas, pada penerbangan gembira alias joy flight itu. Lulus dari Sastra Jepang Universitas Pendidikan Indonesia setengah tahun lalu, ia melamar pekerjaan menjadi guru. Gagal, ia lalu melamar ke Trans TV dan diterima sebagai reporter.

Bersama Aditya Sukardi, juru kamera stasiun televisi yang sama, Ismiyati ditugasi meliput uji coba Sukhoi untuk penumpang sipil, yang rencananya dibeli Kartika Airlines itu. "Karena tugas kantor, Ismi akhirnya diizinkan ibunya naik pesawat," kata Sikun.

Keluarga Didik Nur Yusuf, fotografer majalah khusus dirgantara, Angkasa, merasakan hal yang sama. Sebelum berangkat ke Halim untuk menjepret pesawat penumpang baru buatan Rusia itu, Didik berkata kepada istrinya, Nurleila, tidak akan naik pesawat. "Ia bilang hanya akan standby," kata Nurleila.

Entah kenapa, Didik akhirnya memutuskan ikut terbang. Ini agak janggal karena di antara kerabat dan kawan-kawannya Didik pernah bersumpah tak akan ikut penerbangan pesawat baru. Selama 20 tahun bertugas, ia tak pernah melakukannya.

Dua hari setelah kecelakaan, pada Jumat pagi, nasib Ismiyati, Aditya, dan Didik belum terang. Begitu juga penumpang lain. Tim Search and Rescue memang telah sampai ke lokasi jatuhnya pesawat di ketinggian 5.800 kaki dan mulai mencari korban. Di antara puing Sukhoi, mereka menemukan jenazah korban.

Ridwan Hakim, mahasiswa pencinta alam dari Universitas Indonesia, yang bergabung dalam tim SAR, menemukan kartu tanda penduduk di dalam dompet hitam yang tergeletak di dekat salah satu jenazah, atas nama Nur Ilmawati. Berdasarkan manifes, Nur Ilmawati tercatat sebagai pegawai Sky Aviation.

Selain KTP, ada paspor atas nama Ganis Arman. Masih di area yang sama, ada pula laptop, kamera digital, dan iPhone dalam kondisi baik. "Tapi tak jelas semua itu milik siapa," ujarnya Jumat sore pekan lalu. Satu jenazah yang bisa diidentifikasi pada Jumat kemarin adalah Kornel Sihombing, Kepala Divisi Integrasi Bisnis PT Dirgantara Indonesia. Identitas Kornel tercantum dalam KTP yang terselip di dompetnya.

Ridwan termasuk yang pertama tiba di lokasi jatuhnya pesawat. Bersama tim SAR dari marinir, ia menuruni tebing yang curam dengan meniti tali. Bersama sejumlah anggota tim yang lain, Ridwan kembali ke pos Balai Embrio Ternak di kaki Gunung Salak setelah mengevakuasi 12 jenazah. Tim menghentikan evakuasi ketika gelap mulai merayap.

Gunung Salak memang tak bersahabat di kala malam. Ditemukan pada Kamis sore, lokasi jatuhnya pesawat baru bisa dide­kati oleh Ridwan dan kawan-kawan pada Jumat pagi. Tim memutuskan tak melanjutkan pencarian pada Kamis sore meski lokasi jatuhnya pesawat sudah terlihat dari jarak satu kilometer.

Gunung yang menjulang di antara Sukabumi dan Bogor itu memiliki beberapa puncak. Pesawat menabrak tebing Puncak Salak I—puncak terjangkung Salak, dengan tinggi 2.211 meter. Adapun tim mendaki lewat jalur Puncak Salak III atau Puncak Sumbul. Dari Puncak Salak III itulah tim bisa melihat titik jatuhnya pesawat.

Kamis sore, tim SAR gabungan memutuskan bermalam di Puncak Salak III, yang tingginya 1.911 meter. Keesokan paginya, tim memutuskan naik ke Puncak Salak I hingga ketinggian 2.086 meter. Medan yang curam membikin langkah terasa berat. Hujan bisa membanjur gunung sewaktu-waktu. Kabut tebal bisa turun meski hari masih terang.

Dari Puncak Salak III ke Puncak Salak I, tim membuka jalur baru. Melingkari tebing, mereka harus memangkas perdu yang merintangi jalan. Setiba di sana, tim langsung menuruni tebing sejauh 250 meter. Di ketinggian 5.800 kaki atau 1.767 meter, pada titik koordinat 6 derajat 43 menit 8 detik Lintang Selatan dan 106 derajat 43 menit 15 detik Bujur Timur, puing Sukhoi berserakan di tebing Batu Tapak.

Dengan kemiringan 85 derajat, evakuasi lewat udara sulit dilakukan. Helikopter bisa tersapu angin. Lokasi pendaratan helikopter paling dekat ada di Cipelang, yang berjarak sekitar empat jam dari pos Balai Embrio Ternak di Cijeruk—pos terdekat ke reruntuhan pesawat. Adapun dari pos Embrio di ketinggian 1.188 meter itu ke Batu Tapak butuh waktu sekitar enam jam.

Hingga Jumat pekan lalu, evakuasi dilakukan lewat jalur darat secara estafet. Jenazah dibawa ke pos Embrio, lalu ke helipad. Dari sana, dengan helikopter, jenazah diterbangkan ke Halim. Menurut Komandan Komando Resor Militer 061 Badak Putih Kolonel A.M. Putranto, yang juga koordinator tim SAR gabungan, bisa saja di dekat Batu Tapak dibangun helipad darurat, asalkan tak ada masalah turbulensi.

Penemuan ke-12 jenazah tadi membikin syok keluarga yang menunggu di Halim. Tangis pecah di ruang tunggu ketika Badan SAR Nasional mengumumkan penemuan itu.

Mereka yang bukan famili korban yang telah diketahui identitasnya berharap anggota keluarganya masih hidup. Petrus Susaptadi, misalnya, tetap menanti kepulangan istrinya, Maria Marcela, koordinator pramugari Sky Aviation, yang ikut dalam penerbangan nahas itu. Demikian pula kedua anak mereka: Bella, 12 tahun, dan Billy, 5 tahun. Kata Petrus, "Mereka berharap Mama pulang."

Anton Septian, Subkhan (Jakarta), Tri Suharman, Arihta Surbakti (Bogor), Wasi'ul Ulum (Serang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus